Jumat, 17 Agustus 2012


Merah-Putih Rumah Ibu

 

Ibu... 

sore ini kupulang

sehabis berperang tanpa pedang

Kau tahu hari ini ku tak menang

namun senyummu secerah mentari siang

 

Anakku...

ini rumah kita

harta yang harus kaujaga

kalau aku telah tiada, ingatlah ibu di sini

saat kau belajar mewarnai hatimu sendiri

 

Ibu...

Kurindu dekapanmu

yang selalu bisikan ayat-ayat Pancasila

yang jadi tameng saat kuberperang 

Berperang tanpa pedang,

walau musuh menyerang tiada henti,

berlindunglah agar nurani dan budi tak dikuasai

egois, hedonis, dan konsumtif

Selasa, 31 Juli 2012

Menyebarkan Virus Kedamaian


Mendengar kata pondok pesantren, spontan yang terbesit di pikiranku adalah sekolah asrama yang tidak jauh berbeda dengan Seminari. Saat itulah aku merasa penasaran dan excited dengan tawaran live-in di pondok pesantren. Kami berdelapan datang berkunjung ke pesantren mahasiswa (PesMa) An-Najaah. Pengasuh PesMa An-Najaah mengumpulkan para santrinya di masjid mereka untuk mengadakan acara penyambutan. Bagiku, ini kesempatan istimewa yang mengesan di awal kami live in. kehangatan dan keramahan mereka senantiasa singgah di hatiku yang selalu bersemangat mengikuti dinamika kegiatan PesMa. Setelah live ini aku merasa bahagia karena menemukan sahabat dan guru yang penuh kasih pada siapapun tanpa memandang apa agamanya.

Barulah jam demi jam berlalu, aku tersentuh oleh suasana kekeluargaan yang begitu cair antar santri, pak ustad, dan pak kyai. Dalam acara shalat berjamaah, mengaji, bermain, dan belajar mereka sungguh membangun kekeluargaan. Mereka mengadakan shalat dan dzikir bersama setiap pagi di Masjid. Inilah yang kusadari dan kurefleksikan bahwa doa dan karya merupakan fondasi untuk membangun kepedulian, perhatian, kerjasama dalam satu kelurga. Shalat, mengaji dan belajar memang rutinitas para santri dan alangkah indahnya mereka saling mengupayakan kehidupan yang suci dan baik itu.

                Niat mereka untuk bangun  dan shalat subuh menunjukkan suatu semangat yang mau dipupuk sedari awal. Mereka memulai hari baru dengan menyapa Allah dengan bersyukur dan memohon rizki dari-Nya. Bagiku, ini mungkin bekal rohani yang dapat berdaya guna saat mereka munanaikan tugas dan tanggung jawab mereka sehari-hari. Kehidupan yang selalu bersandar pada Tuhan ini diungkapkan dengan ibadah yang tak hanya rohani tetapi juga sisi profan. Mereka meyakini Allah yang mencintai dan menyayangi mereka dan kebaikan Allah ini yang mereka bagikan pada kami. Situasi PesMa yang kualami memang persis yang dikatakan oleh Pak Kyai Roqib. PesMa ini mengusung pendidikan yang modern dan kultural. Berbagai alat modern dan informasi lewat internet maupun buku-buku bias diakses dengan mudah. Mereka diminta bijak menggunakan alat-alat komunikasi itu bahkan ada beberapa aturan yang harus mereka perhatikan. Anehnya, mereka kadang terlalu asyik dengan hape mereka hingga pagi buta. Aku amati beberapa santri menjadi sulit bangun di pagi hari untuk sholat subuh. Di sini terjadi ketegangan antara terbukanya kesempatan bagi santri memiliki dan menggunakan hape tetapi di sisi lain mereka cenderung kurang menghayati shalat subuh.

                Para santri yang mengikuti kegiatan mengaji mengulas beberapa ajaran fiqh atau pedoman hidup beragama Islam. Ada beberapa aturan Al-Quran yang ditafsirkan seturut konteks dan lingkup social. Bagiku, mereka mendapat beragam penafsiran dari aturan-aturan itu dan mereka berhak memilih mana yang baik buat kehidupan mereka pribadi dan orang-orang di sekitar mereka. Hanya saja aturan yang kulihat sangat banyak dan mungkin saja tidak membuat mereka sepenuhnya hafal dan menjalankan aturan-aturan itu. Setidaknya mereka mungkin perlu melihat dan menyadari esensi dari setiap aturan itu dibuat dan tujuan yang ingin dicapai dari aturan itu.

                Para santri PesMa An-Najaah sangat welcome dengan kehadiran kami. Mereka banyak bertanya tentang status kami sebagai frater dan agama katolik. Jika diamati dari pertanyaan mereka, nampaknya mereka belum begitu mengenal agama katolik karena mereka masih menyamakan katolik dengan Kristen protestan. Rasa saya, para santri perlu lebih mengembangkan dialog dan kerjasama dengan orang muda dari berbagai agama di Indonesia. Sikap mereka memang sudah terbuka dengan kami yang berlainan iman dan itu akan lebih optimal ketika mereka mendapat pengenalan ajaran agama. Harapannya mereka dapat menginternalisasi nilai dari agama lain ke dalam cara penghayatan iman Islam. Proses ini memang tidak mudah mengingat mereka masih perlu mendalami ajaran-ajaran Islam yang tak sedikit. Aku merasa yakin bahwa mereka dapat menjadi agent of peace.

***

                Pertanyaan yang masih mengganjal

  • Pluralisme yang dijunjung tinggi di aliran Islam NU memang mengagumkan, mengapa masih sering dipandang negative oleh kelompok islam garis keras?

  • Sejauh mana Gereja Katolik mengikis stigma kristenisasi yang sering diisukan oleh mereka yang curiga dengan sikap kooperatif dengan umat beragama lain?

 

Kamis, 21 Juni 2012

Beautiful Peace

 

“Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah. Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan” (Mgr. Soegijapranata)


Situasi Indonesia menggambarkan dua kenyataan yang berbeda yakni kekayaan dan kemiskinan. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan warisan budaya dan sumber daya alam. Sementara itu, Indonesia dihuni oleh puluhan juta rakyat miskin. Dua realita ini patut kita banggakan dan kita refleksikan. Kemajemukan budaya dan agama-kepercayaan mewariskan kearifan lokal dan harmonisasi yang apik. Inilah yang disadari dari kearifan lokal dan harmonisasi yang apik di tanah air Indonesia. Para pendiri bangsa bertekad menjaga warisan itu dengan mutiara kehidupan “Bhineka Tunggal Ika”-Keberagaman yang menyatu.

Indonesia bagaikan ibu pertiwi kita yang mengasuh dan mengasihi anak-anaknya. Kita yang membawa keunikan dari budaya dan agama diajarkan suatu falsafat hidup yakni Pancasila. Kita sebagai bangsa Indonesia harus terus belajar mewujudkan ajaran-ajaran Pancasila. Kita dapat merasakan cinta dari ibu pertiwi ketika kita mau memuji dan bersyukur pada Allah yang mahaesa, menghargai kemanusiaan dengan adil dan beradab, menjaga persatuan, dan membangun masyarakat yang demokratis. Kita berharap bahwa bangsa kita dapat mengatasi segala persoalan bangsa ini dengan petuah sakti “Pancasila”. Kita ingin mempersembahkan segala daya dan upaya kita untuk saudara-saudari yang berasal dari agama dan budaya yang berbeda, khususnya mereka yang masih mengalami kemiskinan. Ibu pertiwi kita ingin melihat anak-anaknya hidup rukun, bahagia, dan sejahtera. Untuk itu, alangkah indahnya kebersamaan yang menyatu dalam perbedaan agama dan budaya.

Biarlah perbedaan itu nampak sebagaimana Allah Trinitas adalah Allah yang satu. Paham Allah Trinitas hanya diyakini oleh orang-orang Katolik tetapi bukan berarti Allah Trinitas ini milik orang Katolik. Semua orang beriman menyembah Dia yang menciptakan, mengadakan, dan mengatur kehidupan kita kapanpun dan dimanapun kita berada. Saya menawarkan suatu analogi di mana Allah bagaikan Bapak segala bangsa. Allah hadir untuk setiap umat beragama dan percaya kepada-Nya. Entah bagaimana setiap agama memahami Allah, kita adalah anak-anak-Nya. Karena itu, kita pastinya menghormati dan menjalankan apa yang disabdakan-Nya dalam kitab suci kita. Dia membagikan anugerah keselamatan itu secara adil kepada kita semua.

Allah Trinitas merupakan kesatuan dari tiga pribadi illahi yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Allah Trinitas ini masuk dalam sejarah keselamatan manusia. Dengan caranya, Allah menunjukkan kerjasama untuk terus berusaha menyelamatkan manusia dari kuasa dosa. Seolah-olah Allah menguji iman kita dengan perbuatan dosa yang sungguh keji sehingga  melukai relasi kita dengan-Nya. Bagaimanapun juga, Allah ingin kita dapat merasakan kasihNya yang mau menyelamatkan kita. Kesatuan hubungan dan relasi harmonis yang ditunjukkan oleh Allah Trinitas menginspirasi hidup kita. Relasi yang bisa kita wujudkan bersama yaitu semangat gotong royong yang menjadi kekhasan bangsa kita. Kita harus bergotong royong bersama untuk menjaga kerukunan beragama dan menolong saudara-saudari kita yang malang karena kemiskinan. Dialah Allah, Bapak kita telah mengasihi ibu pertiwi kita Indonesia dan kita sebagai anak-anaknya bersatu dalam semangat gotong royong.

 


 

 

Selasa, 19 Juni 2012

Tiga Aroma dalam Secangkir “TEH”



Rasanya sulit untuk menjawab apa perbedaan skripsi dan kamu walaupun kamu sudah memberi tahu dimana perbedaannya. Sebenarnya kesulitan yang kurasakan adalah siapa yang akan menjadi cinta terakhirku. Mungkin lebih baik dan lebih mudah membuatkan secangkir teh untuk dia. Dan, teh ini cocok banget diminum sambil menikmati serabi khas Solo yang pernah kamu beri.

                Teh ini kubuat dengan cita rasa yang berbeda dari teh-teh sebelumnya. Mengapa? Setelah aku mengenal, bercanda, saling curhat, aku merasa teh ini menyeruakan aroma keyakinan, harapan,  dan komitmen. Itu baru aromanya apalagi kalau dia sudah mencecapnya. Inilah yang kurasakan setelah mencicipi sedikit teh yang kusajikan special untuk dia.

                Aku pernah menceritakan bahwa secangkir teh yang dibuat untuk seseorang adalah sebuah ungakapan cinta. Pertama kali, aku membuat teh untuk teman yang namanya hampir mirip dengan kamu. Sewaktu SMP bisa dikatakan dia my first love… ternyata aku bukan first love-nya. Dari kisah cinta monyet itu aku sadar bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Kemudian aku membawa pengalaman yang lumayan pahit itu ke Seminari. Tragis memang karena aku pernah menyanyikan lagunya Dewa “Pupus” di pesta sweet seventeen-nya mbakku. Dan, dia hadir juga di situ.

                Di Mertoyudan, aku tak pernah kepikiran lagi untuk membuat teh aku serius mengolah panggilanku dengan semboyan 3 S-nya Seminari: Scientia (Pengetahuan), Sanctitas (Kesucian), Sanitas (Kesehatan). Masuk Seminari juga bukan karena sakit hati karena tehku pernah tidak direspek. Ada alasan lain yang lebih kuat sehinggga mendorongku untuk menjalani pendidikan calon imam. Aku meyakini bahwa aku ingin mempersembahkan diriku untuk melayani Tuhan dan Gereja. Rasanya religious banget. Di balik itu, sisi manusiawi itu tetap melekat-manusia seperti sekeping mata uang yang punya dua sisi. Sisi manusiawiku merindukan seseorang untuk dicintai dan mencintai

                Barulah ketika kelas tiga-masa terakhir di Seminari, kerinduan untuk dicintai itu menyengat seluruh hati dan pikiranku. Semasa liburan natal aku berkenalan dan berelasi dekat dengan teman mudika yang baru saja ku kenal. Singkat cerita dia mau merasakan teh kerinduan ini. Setelah itu, ada secamam kegalauan yang dilematis. Lalu aku coba mengintrospeksi diri. Hasilnya-sebagai pemuda yg sedang melewati masa-masa pubertas sekaligus bercita-bercita menjadi Romo, aku harus menegaskan bahwa cinta tak harus memiliki dan cinta yang sejati itu membebaskan. Mungkin aku terlalu berteori tetapi aku sudah berani memutuskan langkah yg harus kujalani dan dia jalani. “Lepas dari Bayangmu” syair puisi yang kugubah untuk menemani dia yang sedang meminum teh.

                Maaf, kalo aku mengulang dua kisah teh tadi. Aku melihatnya kisah ini saling terkait dengan apa yang hendak kutegaskan. Kisah pertama kumaknai dengan cinta tak bisa dipaksakan dan kisah kedua mengajarkan aku bahwa cinta yang sejati itu membebaskan. Lalu, kisah teh yang ketiga, aku mereguk sendiri keyakinan, harapan, dan komitmen. Pertanyaanya sekarang adalah kepada siapakah teh yang ketiga ini ku suguhkan? Yg jelas aku ingin dia bukan yang pertama dan terakhir dari kisah teh ini. Kisah cinta dalam secangkir teh ini selalu menyegarkan dahagaku ketika aku merasa membutuhkan banyak dukungan dalam menempuh perjalanan panggilan ini.

                Aku gak tau harus menyerahkan cangkir teh ketiga ini untuk siapa. Jujur aku belum menemukan teman perempuan mana yang harus menerima secangkir teh ini. Tapi, aku yakin kamulah yang pantas mencicipi secangkir teh ini. Ternyata selama ini, kamu membantuku meracik teh ini sendiri. Aroma keyakinan hadir saat kamu selalu menyembuhkan keraguan dan patah semangatku dlm mengerjakan skripsi. Aroma harapan terasa ketika kamu ingin aku menjadi romo yang baik (mgkin seperti ***- romo idamanmu J). Aroma komitmen kurasakan ketika kamu mau menjadi sahabat yang menemani perjalanan panggilanku. Sungguh ketiga aroma itu menyadarkan aku kembali pada panggilanku menjadi calon Romo. Lewat kamulah aku mengerti bahwa cinta adalah ungkapan keyakinan, harapan, dan komitmen.

Secangkir teh ini boleh tidak kamu minum, tetapi terima kasih kamu telah mengajarkan aku bagaimana meracik teh yg bisa mengeluarkan aroma keyakinan, harapan, dan komitmen. Benedicamus Domine <Tuhan Memberkati Kita)…

Deo Gratias,

Kentungan, 28 Mei 2012














               

Minggu, 10 Juni 2012

Perjuangan Menjawab Sebuah Panggilan

Hai kawan sadarilah hidup ini adalah perjuangan menjawab sebuah panggilan. Yakinlah kita bisa menghadapi segala tantangan karena Dia bersama kita.

Kubuka lembaran baru hidupku kan kuwujudkan segala niatku. Tak lupa kubersyukur pada-Nya yang telah beri semangat. Ku kan berjanji untuk setia mengasihi layani sesama jadi garam dan terang bagi dunia

Inilah saatnya tuk buka mata dan hati kita rasakan derita sahabat kita bagikan perhatian saling tolong dengan ketulusan untuk menggapai kebahagiaan.

 

Saya meyakini panggilan imamat itu merupakan karya Tuhan yang menyapa diriku secara personal. Tuhan yang hadir dan ikut campur tangan membuat pengalaman yang menantang dan penuh cobaan menjadi lebih indah. Dengan merasakan pahit-manisnya menjalani formatio, suka-duka dalam hidup berkomunitas, bahagia dan putusasa menjalani tugas studi dan pastoral saya dikuatkan dan diteguhkan oleh Dia yang memanggilku. Peneguhan yang kurasakan ini kurefeleksikan bahwa saya akan menghadapi semuanya itu dengan kesediaan diri, kebebasan, dan tanggung jawab. Pelbagai tugas kebidelan dan pastoral yang pernah kualami mengajarkanku untuk selalu memiliki disposisi kesediaan diri untuk diutus. Lalu, kebebasan yang kumaksud ialah menjalani hidup ini tanpa paksaan (karena tekanan situasi luar) untuk menemukan kebahagiaan. Akhirnya, saya harus bertanggung jawab kepada mereka yang telah mempercayakan dan memberi kesempatan untuk saya berkembang dalam mencintai Tuhan dan melayani sesama.

 

Ø  Pengolahan Kepribadian

Tuntutan dunia modern tak hanya mensyaratkan imam untuk ahli dalam filsafat dan teologi. Rassaya, imam juga dituntut untuk mahir dalam beradaptasi dengan memanfaatkan perkembangan pengetahuan profan (ekonomi, psikologi, dan agriculture). Mungkin filsafat dan teologi membantu sejauh memberikan penerangan iman dan moral. Saya tidak ingin berpanjang dan bertele-tele mengupas konteks iman di zaman ini. Bagiku, saatnya sekarang menyadari nilai-nilai imamat yang khas kuhidupi. Penghayatan nilai-nilai insani yang coba kuhidupi dapat membimbingku untuk memaknai kharisma dan jati diri imamat.

Di zaman modern yang sarat akan informasi ini, saya memerlukan suatu prioritas. Informasi yang kubaca dan kudengar dari alat-alat komunikasi seperti koran, internet, sampai “kata orang”. Itu semua bisa menjerumuskan dan mengaburkan bahkan menghambat pertumbuhan panggilan. Maka, saya menyadari pentingnya menentukan suatu prioritas yang mendukung seluruh perkembangan dimensi hidupku. Prioritas  yang dapat dijadikan patokan dapat berupa nilai-nilai, kebiasaan baik, dan pola pikir. Maka, sejauh ini saya berupaya menyerap dan merefleksikan informasi yang mendorong semangat pelayananku.

Untuk membangun spiritualitas pelayan dalam panggilanku, saya berusaha mengembangkan pribadi yang bersolider. Kata kuncinya adalah solidaritas dimana saya menyadari ada yang kukorbankan baik waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan. Solidaritas ini diwujudkan saat saya mau bekerjasama, bersimpati dan berempati dengan rekan sepanggilan (para frater dan staff) dan umat yang kulayani. Saya perlu juga belajar dari kekuranganku yaitu kurang konsisten dalam menjalankan karya pelayanan entah kebidelan dan kepanitiaan. Rasa tsayat dan kurang percaya diri kadang menjadi alasan saat menerima tugas baru. Kedua perasaan ini yang menghambatku untuk dapat memberikan pelayanan ini sehingga saya bisa kurang konsisten menjalankan. Selain itu, karena menjadi tugas baru, saya dibayang-bayangi tsayat akan ketidakberhasilan.

            Saya perlu berbenah menghadapi kelemahan yang kumiliki untuk bisa mengembangkan spiritualitas pelayanan dan karakternya. Pertama-tama saya akan mengambil prinsip trial and error  dalam menjalankan karya pelayanan baru. Saya mau terbuka terhadap saran dan kritik dari siapa saja. Selanjutnya, kritik ini menantangku untuk memperbaiki cara kerjsaya dan menemukan peluang baru. Dengan dinamika ini, saya berharap dapat memberikan pelayanan yang seoptimal mungkin untuk Tuhan yang mengkaruniakan panggilan ini dan kepada jemaat Gereja yang terkasih.

Pemenuhan kebutuhuhan afeksi dari rasa aman dan cinta terwujud dalam persahabatan dengan kawan-kawanku. Saya bersyukur bahwa rasa cinta pada seorang perempuan membawa rahmat pada panggilanku. Saya sedang mengolah kembali hidup selibat dalam relasi persahabatan. Saya menyadari adanya kebutuhan untuk dicintai dan dorongan untuk memberi perhatian dan bantuan. Karena itu, saya ingin mempertegas bahwa panggilan ini layaknya suatu perjalanan bersama Dia untuk berjumpa mereka dan mengalami bersama kasih dan damai Nya menyertai hidup ini.Dengan pengalaman cinta yang mengungkapkan kebutuhan afeksi, saya tidak hanya dibuai oleh ketertarikan namun juga pendewasaan. Saya menyadari bahwa diriku semakin diajak berpikir dan bertindak secara dewasa. Buah dari pengalaman relasi dengan sahabat perempuan ini semakin menegaskan panggilanku. Dari persahabatan itu, saya dapat mengerti keyakinan, harapan, dan komitmen untuk saling menyemangati dalam jalan panggilan masing-masing.

 

Ø  Pengolahan rohani

Saat rekoleksi tentang imam dan doa, saya masih selalu mempertanyakan apakah saya punya kebiasaan berdoa? Belum. Point yang ingin kurefleksikan adalah relasi imam dan umat semakin dikuduskan lewat berdoa. Bagaimanapun relasi imam dan umat hadir di dalam doa karena imam menghantarkan doa syukur dan permohonan umat melalui sakramen ekaristi. Dengan berdoa, imam juga berusaha mendekatkan umat pada Tuhan agar semakin diteguhkan dan diberi pengharapan akan segala usaha dan kerja keras mereka.Sementara itu, saya merasa diteguhkan bahwa seorang imam masih dibutuhkan untuk dapat mendoakan umat dan Gereja. Manakala umat menyampaikan persolan atau harapan tertentu, mereka mohon romo membantu mereka dalam doa. Rasa-rassaya seolah-olah tugas imam ini adalah tukang doa. Setiap kali berdoa, saya pun berharap doa itu dapat terkabul sehingga umat yang menitipkan doa itu juga senang. Doa memang bisa dikabulkan tetapi mungkin juga tidak. Itu terserah pada kehendak Tuhan. 

Point kedua yang kurefleksikan adalah memaknai setiap pengalaman dan membawanya dalam doa. Ketika saya berdoa, saya mencoba berdoa untuk mensyukuri kehidupanku yang banyak dibantu oleh para pegawai, umat, dan kawan-kawan. Hidup bersama mereka terkadang melelahkan dan menyenangkan. Relasi persahabatan yang kurang sayar, terharu mendengar perjuangan umat, dan canda tawa bersama pak pegawai merupakan kumpulan pengalaman-pengalaman menarik untuk senantiasa kusyukuri. Untuk mengungkapkan syukur dalam doa, saya masih mengalami kesulitan dimana saya kadang masih terbawa oleh rasa jengkel dan sedih. Ini bisa menjadi penghambat saya untuk bertekun dalam doa atau setia berdoa. Dalam situasi tidak menyenangkan sekalipun, orang yang setia akan berdoa.

Penghayatan olah kerohanianku berjalan dalam kesibukan tugas studi. Saya berusaha menyempatkan waktu berdoa pribadi setiap hari. Selain itu, saya sedang menghidupkan kembali devosi kerahiman illahi setiap hari jumat. Mengapa? Devosi ini telah menyentuh batinku bahwa saya manusia yang mudah jatuh dalam dosa dan kerahiman Allah senantiasa berkenan memaafkan manusia dan para arwah. Kesempatan beradorasi menjadi waktu saya untuk bertemu lebih akrab dengan Yesus. Saat adorasi, saya biasa menggunakan untuk merenungkan dari bacaan rohani, berkontemplasi, atau bermeditasi. Dengan berdoa, saya seperti menemukan oase di tengah situasi diriku yang bimbang atau galau.

Dengan menyadari siapa saya saat ini, saya merasa bangga dan bersyukur bahwa saya adalah calon imam. Boleh dikatakan calon imam ini sebagai identitas sementara. Istilah “sementara” mau menunjukan bahwa saya sedang mengalami proses formatio atau mengarahkan diri menjadi imam. Selama masa formatio, saya dituntut dan diharapkan ikut merayakan misa setiap hari. Anjuran ini sedang kuhidupi baik di Seminari maupun dimana saya berada. Mengikuti misa sudah menjadi hal rutin dan kalau tidak hati-hati saya pun bisa menganggap misa sebagai formalitas belaka. Karena itu, saya hendak terus menerus menghayati ekaristi sebagai ungkapan syukur akan Allah yang hadir membimbing jalan panggilanku

 

Ø  Pengolahan studi

Filsafat membimbing saya untuk mencintai kebijaksanaan. Hidup bijaksana menuntut dengan bebas kepada manusia memilih dan memutuskan apa yang benar. Kebenaran akan terus dicari di dalam terang Teologi karena kebenaran sejati adalah kehendak-Nya. Tuhan menunjukan jalan kebenaran itu adalah Yesus Kristus. Saya ingin terus menggali serta berbuat dari apa yang menjadi keselarasan nilai injil bagi dunia. Dengan membaca buku atau koran, saya berusaha menyadari realitas dari hidup manusia yang tidak bahagia. Mereka tidak mengalami apa yang mereka harapkan terjadi pada dirinya. Saya melihat harapan akan terwujud jika kita mau mengalami jalan penderitaan untuk menuju kebahagiaan.

 

Ø  Last but not least

Hidup kita selalu diwarnai dengan beragam pilihan. Kita dapat memilih mana yang baik untuk hidup atau sebaliknya karena Tuhan memberikan kehendak bebas dan hati nurani. Biasanya pilihan yang memberikan kehendak bebas dan hati nurani. Biasanya pilihan yang akan kita putuskan, kita pertimbangkan dengan melihat motivasi dan tujuannya. Pilihan tindakan akan membantuk kita mengarahkan kemana tujuan hidup ini. Dan, saya pribadi masih belajar memilih dan memutuskan. Bagiku, yang mendasar dan harus kusadari adalah siapa diriku saat ini-disini. Ketika saya mengsayai eksistensiku sebagai calon romo saya berusaha hidup sebagai calon romo yang baik. Sebenarnya, saya kadang mengalami kebimbangan antara  apa yang seharusnya kulsayakan sebagai calon romo dan apa yang senyatanya. 

Saya terdorong untuk memantulkan dinamika hidup panggilanku kini dan di sini melalui perumpamaan talenta. Yesus telah memberiku potensi, bakat, dan niat baik yang nantinya akan digunakan, dikembangkan akhirnya kupersembahkan lagi pada-Nya. Talentsaya memang tak seberapa dan Tuhan telah mengutusku untuk berangkat ke Seminari. Di sanalah, saya berjuang untuk melipatgandakan talentsaya ini. Dalam perutusan yang penuh perjuangan, saya belajar untuk berkomitmen. Komitmenku terjawab ketika saya berhasil melipatgandakan talentsaya dan mempersembahkan pada Tuhan sendiri. Inilah serangkaian dari tekadku untuk menanggapi panggilan Tuhan sebagai pelayannya dan ditegaskan dengan saya bersedia, saya bebas, dan saya bertanggungjawab.

 

Yogyakarta, 9 Juni 2012


 

 

 

 

 

 

Minggu, 03 Juni 2012

GIVE IT YOUR BEST SHOT



Besarnya pengaruhku terhadap komunitasku sama dengan besarnya niatku untuk bertindak.



Sebagai seminaris, kita punya potensi atau bakat baik jasmani (olahraga, teater, jurnalistik, dll) maupun rohani (memimpin, berteman, indra keenam,dll). Awalnya, bakat ini belum disadari dan kita perlu menyadarinya karena akan lebih mudah untuk bersosialisasi dengan dan mengaktulisasikannya kepada orang lain.
Aku mau sharing mengenai bakat olahragaku, yaitu basket. Lewat basket, aku banyak menimba pelajaran hidup seperti kerjasama, tidak egois, dan menerima kekalahan. Karena kemampun basketku lumayan, aku diijinkan untuk gabung di IFO (Ekskul olaharaganya Seminari Mertoyudan). Perasaanku senang karena bakatku sekaligus hobi bisa kusalurkan lewat IFO. Dan, perasaan senang membuatku semangat dalam tiap latihan.
Latihan yang kulakukan bertujuan untuk menyiapkan teamku apabila ditantang atau menantang team SMA luar. Aku bersyukur, karena kemudian aku dipilih menjadi pemain inti untuk melawan SMA Van Lith (VL). Bagiku mereka bukan lawan yang mudah, karena mereka bermain di kandang. Porsi latihanku tambah secara pribadi untuk memoles teknik dan fisik, supaya aku main bagus, teamku menang. Motivasiku sederhana yaitu ingin menang karena teamku yang menantang dan kalau kalah malu dong (ah).
Hari yang dinanti telah tiba. Pertandingan pun berjalan 3s (seru, sengit, spektakuler). Nggak hanya akal yang main, okolpun dikeluarkan. Kesabaranku ada batasnya, aku jangan sampai dikasari. Sekarang bola yang ada digenggaman tanganku dan siap ku-shoot. Lalu, seolah-olah aku mau nge-shoot dan ternyata musuhku berusaha ngeblok, kemudian dia limbung dan badannya menimpaku. Aku juga ikut jatuh. Karena saking gemesnya, bola yang masih ada di tanganku hampir saja kulempar ke mukanya. Tidak jadi. Akhirnya pertandingan dimenangkan VL dan aku yang mengalahkan perasaankku.
Pelajaran penting yang kuambil dari pengalaman ini yaitu aku bisa memilih sikap yang tepat yang tidak didasarkan atas perasaan senang atau jengkel saja. Aku mampu mengendalikan perasaanku sehingga aku tidak salah bertindak. Apa jadinya apabila aku melempar bola itu ke mukanya, mungkin yang ada bukan pertandingan persahabatan tapi pertandingan tawuran. Hanya satu pesanku “semua dari kita punya potensi untuk menjadi influence man untuk hidup komunitasnya”. Namun pertanyannya sekarang adalah pengaruh baik atau buruk apa yang kuberikan bagi komunitasku lewat sikap dan tindakanku ? Silahkan pertanyaan itu direfleksikan. Tuhan serta kita, amin.

Selasa, 08 Mei 2012

Be Leader and Be Servant


            Aku bersyukur bahwa selama ini di Seminari aku belajar menjadi ‘pemimpin’. Kepemimpinan yang kupahami bukan sekadar mirip dengan pemimpin organisasi (jabatan tertinggi sturuktural). Pemimpin lebih kurefleksikan sebagai “hamba” yang penuh empati, punya inisiatif, dan cinta kasih. De facto, aku belum pernah menjadi pemimpin komunitas Seminari, sekurang-kurangnya bidel umum. Walaupun peranku hanyalah sebagai anggota komunitas, tapi aku menghidupinya dengan api kempimpinan. Aku senantias menjaga agar api itu tak padam dengan mengkonkretkan niatku untuk menjadi hamba yang peduli dan berbagi. Kesadaran ini aku temukan setelah merenungkan nasehat Paulus di perikop 1Kor 9:19-23.

            Selama menjalani masa pra-paskah ini, aku terdorong untuk menghidupi sabda ini “Sungguhpun aku bebas terhadeap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang”. Karena itu, aku mau sedikit cerita tentang pengalamanku mengkonkretkan sabda itu. Aku terusik ketika melihat dua tong sampah yang berukuran besar seringkali tidak digunakan dengan tempat. Dua tong sampah itu dibedakan untuk menampung sampah plastik dan sampah kertas. Saat itu, tulisan yang ditempel di dua tong sampah itu terlepas sehingga sampah plastik dan kertas pun tercampur bahkan ada juga sampah daun yang ikut masuk di situ. Setelah menunggu kurang lebih lima hari, aku tergerak untuk membuat tulisan dan menempelkannya di dua tong sampah itu. Aku ingin supaya teman-temanku bisa mengerti pentingnya memilah-milah sampah. Syukurlah, teman-temanku tidak lagi mencampurkan sampah plastik dan kertas.

            Aku tahu sebenarnya bukan tugasku untuk mengurus tong sampah itu. Aku hanya ingin membantu bidel yang mengurus tong sampah itu. Mungkin saja, bidelnya tidak terlalu mengurus hal yang sepele seperti itu. Hal sepele lain yang sering kurang diperhatikan seperti ketika galon yang di unit habis, tetapi tidak ada yang mau mengisinya. Tugas mengisi galon sering dilalaikan apalagi kalau galonnya habis malam hari. Saat itulah, aku mengisikan galon unit supaya besok pagi temen-temen yang baru bangun tidur bisa menikmati air segar dari dispenser. Inilah yang sudah kuupayakan untuk menghidupi semangat hamba yang peduli dan berbagi. Aku merasa bahagia melakukan itu semua karena selain bisa menolong teman-temanku dan belajar menjadi pemimpin yang mau peduli dan berbagi.

            Inilah yang menggerakanku untuk juga menjadi sahabat yang mau peduli dengan pergulatan teman. Memang aku baru dengar temanku ini sedang mengalami krisis jawaban dengan panggilannya. Aku datang ke kamarnya dan syukurlah dia mau menceritakan unek-uneknya. Aku tidak dapat memberi solusi jitu untuk masalah yang dia alami. Aku hanya menjadi teman yang ingin berada di sampingnya, mendukung panggilannya untuk bersama-sama melangkah di jalan imamat yang penuh tantangan dan godaan.

            Rentetan pengalamanku ini coba kutuangkan dengan sebuah lagu. Bagiku, lagu yang kuciptakan ini adalah rahmat yang luar biasa karena hampir tiga taun lebih aku kesulitan membuat lagu. Syukurlah bahwa aku dapat merefleksikan ini dengan laguku ini. Sepenggal lirik laguku yang berjudul “Semangat Bro” terasa lebih hidup “.. kukan berjanji untuk setia layani mengasihi sesama, jadi garam dan terang bagi dunia. Inilah saatnya tuk buka mata dan hati kita tuk rasakan derita sahabat kita, bagikan perhatian saling tolong dengan ketulusan untuk menggapai kebahagiaan”.

 


Rabu, 18 April 2012

Memuji-Nya tanpa Harus Dipuji



Sebenarnya aku merasakan pergumulan saat merenungkan. Pergumulan yang kusadari ialah sebuah pertanyaan mengapa aku begitu mudah memuji Allah tetapi aku melihat orang-orang di sekitarku lebih senang mengkritik daripada memuji (melihati sisi positif) teman sekomunitasnya. Aku merasa barangkali kami yang menyanyikan lagu kemuliaan, kurang menghayati makna religius sosial dari baris “kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau”. Bagiku, pujian kepada Allah membawa konsekuensi bahwa aku diajak memuji sesama kita. Memang aku sendiri kadang sulit memuji keberhasilan temanku karena aku terkadang iri dan meremehkan usaha temanku-“halah, baru bisa seperti itu saja, sudah bangga dan senangnya setengah mati”. Biasanya keberhasilan teman tidak kupuji karena aku merasa dia sudah seharusnya dapat melakukan itu, padahal mungkin saja temanku mengusahakan itu dengan penuh kerja keras dan ketekunan. Seandainya dia tidak melakukan seperti yang kuharapkan, aku sudah menyiapkan peluru kritik untuk dia.
Mengapa aku lebih memuji Tuhan daripada memuji sesamaku? Rasaku, kalau aku seperti itu (memuji Tuhan), aku tidak sungguh-sungguh memuji Tuhan. Aku mengatakan bahwa aku lebih mudah memuji Tuhan dengan menyanyikan lagu kemuliaan. Apakah pujianku bagi Allah itu seperti pemanis bibir yang dilakukan hanya sebatas formalitas? Aku menyadari bahwa memuji Tuhan ialah penyataan syukur karena Allah sungguh mahabaik dan maha penyayang. Dia memang pantas kupuji karena aku merasakan kehadiran-Nya yang meneguhkan walaupun beberapa tantangan harus kuhadapi. Sekali lagi, aku bertanya mengapa aku lebih memuji Tuhan daripada sesamaku? Yah, aku sulit untuk memuji sesamaku karena aku merasa beberapa dari kita (anggota komunitas dan teman-temanku) jarang menyayangiku sebagai sahabat. Aku tahu bahwa mereka adalah orang-orang hebat dengan segala kemampuan di bidangnya. Namun, aku tidak pernah merasakan bentuk perhatian yang personal sebagai ungkapan sayang. Aku ingin merasakan kasih sayang Allah melalui sesama anggota komunitas di sini sehingga aku pun bisa memuji kebaikanmu yang menghadirkan Allah yang maha penyayang itu.
            Last but not least, aku tetap akan memuji Allah sampai kapanpun karena aku mencitai Dia dan Dia menyayangiku. Aku ingin belajar memuji Allah, bagaimana? Dengan perasaan empati dan sukacita aku memuji sesamaku sebagai manusia yang bisa berbuat yang baik ataupun sebaliknya. Selain itu, aku tidak terlalu mengharapkan pujian ketika aku melakukan sesuatu yang istimewa. Bagiku, kalau aku dapat seperti itu, itu adalah Tuhan yang benar-benar berkarya dan memakai diriku. Aku lebih senang sesamaku tetap memuji Tuhan dan nggak usah repot-repot mengatakan pujian padaku. Yang musti kusadari ialah saat aku memuji Tuhan dan meluhurkan Dia, aku membuka mata hatiku untuk melihat dan mendengar kebaikan dan kasih sayang Tuhan yang berkarya dalam diri sesamaku. Matur nuwun Gusti ingkang maha-asih...