Selasa, 19 Juni 2012

Tiga Aroma dalam Secangkir “TEH”



Rasanya sulit untuk menjawab apa perbedaan skripsi dan kamu walaupun kamu sudah memberi tahu dimana perbedaannya. Sebenarnya kesulitan yang kurasakan adalah siapa yang akan menjadi cinta terakhirku. Mungkin lebih baik dan lebih mudah membuatkan secangkir teh untuk dia. Dan, teh ini cocok banget diminum sambil menikmati serabi khas Solo yang pernah kamu beri.

                Teh ini kubuat dengan cita rasa yang berbeda dari teh-teh sebelumnya. Mengapa? Setelah aku mengenal, bercanda, saling curhat, aku merasa teh ini menyeruakan aroma keyakinan, harapan,  dan komitmen. Itu baru aromanya apalagi kalau dia sudah mencecapnya. Inilah yang kurasakan setelah mencicipi sedikit teh yang kusajikan special untuk dia.

                Aku pernah menceritakan bahwa secangkir teh yang dibuat untuk seseorang adalah sebuah ungakapan cinta. Pertama kali, aku membuat teh untuk teman yang namanya hampir mirip dengan kamu. Sewaktu SMP bisa dikatakan dia my first love… ternyata aku bukan first love-nya. Dari kisah cinta monyet itu aku sadar bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Kemudian aku membawa pengalaman yang lumayan pahit itu ke Seminari. Tragis memang karena aku pernah menyanyikan lagunya Dewa “Pupus” di pesta sweet seventeen-nya mbakku. Dan, dia hadir juga di situ.

                Di Mertoyudan, aku tak pernah kepikiran lagi untuk membuat teh aku serius mengolah panggilanku dengan semboyan 3 S-nya Seminari: Scientia (Pengetahuan), Sanctitas (Kesucian), Sanitas (Kesehatan). Masuk Seminari juga bukan karena sakit hati karena tehku pernah tidak direspek. Ada alasan lain yang lebih kuat sehinggga mendorongku untuk menjalani pendidikan calon imam. Aku meyakini bahwa aku ingin mempersembahkan diriku untuk melayani Tuhan dan Gereja. Rasanya religious banget. Di balik itu, sisi manusiawi itu tetap melekat-manusia seperti sekeping mata uang yang punya dua sisi. Sisi manusiawiku merindukan seseorang untuk dicintai dan mencintai

                Barulah ketika kelas tiga-masa terakhir di Seminari, kerinduan untuk dicintai itu menyengat seluruh hati dan pikiranku. Semasa liburan natal aku berkenalan dan berelasi dekat dengan teman mudika yang baru saja ku kenal. Singkat cerita dia mau merasakan teh kerinduan ini. Setelah itu, ada secamam kegalauan yang dilematis. Lalu aku coba mengintrospeksi diri. Hasilnya-sebagai pemuda yg sedang melewati masa-masa pubertas sekaligus bercita-bercita menjadi Romo, aku harus menegaskan bahwa cinta tak harus memiliki dan cinta yang sejati itu membebaskan. Mungkin aku terlalu berteori tetapi aku sudah berani memutuskan langkah yg harus kujalani dan dia jalani. “Lepas dari Bayangmu” syair puisi yang kugubah untuk menemani dia yang sedang meminum teh.

                Maaf, kalo aku mengulang dua kisah teh tadi. Aku melihatnya kisah ini saling terkait dengan apa yang hendak kutegaskan. Kisah pertama kumaknai dengan cinta tak bisa dipaksakan dan kisah kedua mengajarkan aku bahwa cinta yang sejati itu membebaskan. Lalu, kisah teh yang ketiga, aku mereguk sendiri keyakinan, harapan, dan komitmen. Pertanyaanya sekarang adalah kepada siapakah teh yang ketiga ini ku suguhkan? Yg jelas aku ingin dia bukan yang pertama dan terakhir dari kisah teh ini. Kisah cinta dalam secangkir teh ini selalu menyegarkan dahagaku ketika aku merasa membutuhkan banyak dukungan dalam menempuh perjalanan panggilan ini.

                Aku gak tau harus menyerahkan cangkir teh ketiga ini untuk siapa. Jujur aku belum menemukan teman perempuan mana yang harus menerima secangkir teh ini. Tapi, aku yakin kamulah yang pantas mencicipi secangkir teh ini. Ternyata selama ini, kamu membantuku meracik teh ini sendiri. Aroma keyakinan hadir saat kamu selalu menyembuhkan keraguan dan patah semangatku dlm mengerjakan skripsi. Aroma harapan terasa ketika kamu ingin aku menjadi romo yang baik (mgkin seperti ***- romo idamanmu J). Aroma komitmen kurasakan ketika kamu mau menjadi sahabat yang menemani perjalanan panggilanku. Sungguh ketiga aroma itu menyadarkan aku kembali pada panggilanku menjadi calon Romo. Lewat kamulah aku mengerti bahwa cinta adalah ungkapan keyakinan, harapan, dan komitmen.

Secangkir teh ini boleh tidak kamu minum, tetapi terima kasih kamu telah mengajarkan aku bagaimana meracik teh yg bisa mengeluarkan aroma keyakinan, harapan, dan komitmen. Benedicamus Domine <Tuhan Memberkati Kita)…

Deo Gratias,

Kentungan, 28 Mei 2012














               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar