Senin, 19 Desember 2011

Aku ingin mencintaimu


Little Wing


Ketika dia berjalan melintasi awan
imajinasi muncul di pikirannya
Kupu-kupu dan zebra
serta sinar bulan dan dongeng
Itu semua yang ada di pikirannya
seolah berkendara dengan angin ^^

Ketika aku sedih, dia datang kepadaku
Dengan seribu senyuman, dia membuatku merasa bebas lepas
dia berkata bahwa semuanya baik-baik saja
Ambil apapun yang kamu inginkan dariku
apa saja ^^

Jumat, 09 Desember 2011

Teruskan Mengecap Wajah-Nya


Tangannya begitu cekatan, mengayun dan menekan alat cap batik yang ukurannya sebesar setrika. Lilin (malam) yang dipanaskan meleleh di atas wajan pipih berkarat. Entah sudah berapa kali, si bapak mengecap motif bunga-bunga di ribuan lembar kain putih itu. Yang terlihat modern dari alat batik di sana hanyalah kompor gas mini yang didapat dari subsidi pemerintah dan tabung gas tiga kg untuk mengganti kompor minyak karena harga minyak tanah yang selangit.
            Dia berdiri di belakang meja dan di sampingnya persis kompor gas dan wajan pipih yang setia menemani 7 jam sehari selama tujuh tahun. “Mas sebelumnya saya punya usaha kecil-kecilan, jual beli emas di pasar. Lumayanlah hasilnya bisa untuk menyekolahkan dua anak sampai lulus SMP”, kisahnya. Dia melanjutkan ceritanya bahwa dua anaknya merantau di Jakarta dan Bandung. “Alhamdulilah, mereka bisa cari makan sendiri untuk keluarga mereka. Anak yang di Jakarta jualan bahan bangunan dan yang kedua berjualan roti, sudah punya lima gerobak”. Pak Syaiful yang sudah semakin uzur ini seharusnya tidak usah repot-repot bekerja lagi. Anak-anaknya toh akan mengiririmkan uang tiap bulan untuk dia.
            “Mas, saya bekerja seperti ini hanya untuk olahraga, menjaga kondisi badan saya”. Kami berdua tertawa karena dia berhasil menebak keraguanku. Dari ceritanya, sewaktu masih muda dia ikut merantau ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Dia termasuk ikut andil membangun istora senayan. Kenangan masa lalunya yang semakin mengkristal ini terlihat dari rasa bangga bercampur syukur. Hanya saja dia tak menceritakan laku puasanya setiap senin dan kamis. Mas Fat-temannya yang mengecap batik di sebelahnya- memuji pak Syaiful ketika bercerita tentang efek positif dari puasa. Walau sedang berpuasa, dia masih bisa bekerja optimal untuk menafkahi keluarganya dan tak lupa untuk memberikan nafkah batin untuk istrinya. Entah, apakah ini cuma guyonan dari temannya Pak Syaiful. Kalau memang benar bahwa dia masih berpuasa sampai sekarang, aku sendiri merasa malu karena jarang melakukan laku rohani dengan berpuasa.
            Aku sadar bahwa kedatanganku ke sana untuk menggali penderitaan para buruh dan merefleksikan pengalaman ini dalam terang kebaikan Allah. Belajar teologi sosial ternyata tidak hanya dari dosen saja, tetapi para buruh adalah guru sejati dari mata kuliah ini. Pak Syaiful mengajarkan untuk terus berjuang dan tak mudah mengeluh dengan kondisi yang serba prihatin ini. Dia juga tak menyalahkan Tuhan bahkan setiap waktu sholat dia menyempatkan pergi ke Masjid. Di balik sikap tenangnya ini, aku mendengar bisikannya ‘Gusti mboten sare, le’ (Tuhan tak pernah tidur, nak). Aku pun semakin yakin bahwa Tuhan sungguh hadir di hati manusia. Dia berjalan bersama menemani pak Syaiful dan kawan-kawannya  yang papa-miskin sembari menyadarkan para majikan yang berbuat semena-mena.  
            Hidupnya yang bersahaja dan serba apa adanya  semakin indah dihiasnya dengan berpuasa senin dan kamis. Untuk apa dia sampai melakukan puasa? Sepintas pikirku yang mencoba mencari jawab dengan merasionalisasikan-Mungkin dia sedang menghayati hidup prihatin atau justru puasa adalah cara menyiasati terbatasnya penghasilan. Aku menghargai apa yang dia lakukan ini sungguh sebuah ketulusan dan kesetian untuk mengikuti Tuhan. Dua sikap iman yang ditanamnya yaitu kesetiaan dan ketulusan telah menginsprisikan anak-anaknya termasuk aku juga. Padahal sudah menjadi barang langka, kita berbicara ketulusan dan kesetiaan. Dua sikap ini memang “mahal harganya” karena tak seorangpun dapat dengan mudah memiliki dan melakukannya. Bagi pak Syaiful, ketulusan dan kesetiaan ini sudah dia miliki dan dibagikan ini dalam keteladanan yang tak lekang oleh zaman.
   Salah satu pertanyaan yang masih belum terjawab olehku, siapakah Allah di mata pak Syaiful yang telah berjuang hidup untuk keluarganya. Bersama teman-temanku yang ikut menjadi buruh batik, kami membicarakan ini dan merenungkan pertanyaan besar ini “Siapakah Allah bagi mereka”. Setiap hari jam 12.00 siang, setelah makan dan membersihkan diri sebisanya dari cairan malam yang membeku dan pewarna batik, Mas Fat, Pak Nur, Pak Syaiful, dan Pak Arifin bergegas pergi ke masjid untuk sholat. Tak satupun dari mereka yang terlihat absen ke masjid. Kami tak melihat wajah keterpaksaan pada diri para buruh tersebut. Sholat nampak sebagai aktivitas yang dirindukan. Bisa jadi mereka ingin mengadu kepada Allah atas kerasnya hidup. Sholat menjadi jalan bertemu dengan Allah secara personal. Allah menjadi tempat pengungsian para buruh batik yang menyadari diri sebagai korban. Di dalam pribadi para buruh lepas di rumah batik Pak Makmur, kami justru memperoleh penegasan bahwa Allah bukanlah candu yang digunakan untuk “menjinakkan” buruh. Allah justru menjadi pengungsian dan tempat peraduan orang-orang tertindas. Kami melihat wajah Allah yang menjaga asa dan menguatkan para buruh untuk terus bekerja sambil berharap adanya keadilan untuk ditegakkan.
Sholat menjadi salah satu wujud perjumpaan buruh dengan Allah sebagai teman seperjalanan hidup. Allah tidak menempatkan diri sebagai pribadi yang menuntut untuk disembah seolah-olah masih perlu untuk menambah kemuliannya. Ia menempatkan diri sebagai sahabat bagi para buruh yang menyediakan tempat untuk meletakkan beban-beban hidup. Kami merasa bahwa gambaran Allah seperti itulah yang benar-benar kami alami melalui perjumpaan dengan para buruh tertindas. Dalam wajah mereka tidak terlihat sama sekali rasa keterpaksaan demi memenuhi kewajiban bagi seorang muslim untuk sholat. Para buruh sholat sebagai ungkapan kerinduan akan Allah yang berjalan berjuang dan berjalan bersama dengan mereka.

Kamis, 01 Desember 2011

Dia (tak) Tahu yang Tuhan Mau



Celana pendek dan kaos batik yang dikenakan oleh Pak Kurnia tak nampak bahwa dia adalah pemilik Industri batik cap jeruk. Dia menjabat tangan kami sambil tersenyum memamerkan kumisnya yang setebal bajak laut. Perkenalan singkat itu meninggalkan kesan ada keramahan yang membuka persahabatan kami. Sebenarnya kami sudah datang kemarin, tetapi dia kebetulan tak ada di rumah. “Mas, kemarin maaf ya saya lagi mainan doro, biasanya hari libur saya mainan itu di sawah”. Aku mengangguk-angguk dan memaklumi bahwa dia pasti membutuhkan refreshing. Dari basa-basi singkat tentang dunia burung, kami segera dijelaskan proses membatik. Kulihat rokok masih terjepit di jari tengahnya dan sekarang dia mulai mengajariku ngerek (pewarnaan) dan nglorot (menghilangkan malam).
Selama beberapa menit dia ikut ngerek dan nglorot, padahal sudah ada buruhnya. Sambil bekerja, aku menanyakan proses pemasaran dan penjualan batik ini. Yang mengagumkan bahwa batik cap yang sedang aku buat ini akan diekspor ke Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di sini pak Kurnia dan buruhnya hanya menjalankan proses produksinya dan setiap kamis dia akan menyetor batik-batik ini ke dua juragan Arab dan Cina Pekalongan. Kain batik jadi ini akan dijual seharga Rp. 750.000,-/ Kodi kepada dua juragan. Karena itu, pak Kurnia harus memastikan kain batik yang dijual itu harus berkualitas. Untuk satu kodinya, dibutuhkan biaya produksi sebesar Rp. 175.000,-. Itu berarti pendapatan bersih pak Kurnia sangat besar.
Dari usaha home industri-nya ini, pak Kurnia bisa membeli mobil KIA. Biasanya mobil itu dipakai untuk mengantar kain batik jadi. Selain itu, seringkali mobil itu hanya diparkir di garasi sehingga tampak kontras dengan sepeda jepang yang diparkir para buruh. Ketika setiap kali melewati garasi itu, aku bertanya-tanya apakah mobil KIA dan dua motor honda ini didapat dari keuletannya atau karena kelihaiannya mengeruk keuntungan. Mobil ini menunjukan status sosial pemiliknya yang tak mungkin disamai oleh buruh-buruhnya. Upah buruh sengaja ditekan supaya majikannya mampu membeli kemewahan dan rasa gengsi. Para buruh tak mengenal dua kata itu dalam kamus mereka. Kemewahan hanya bisa dilihat tetapi kesederhanaan sudah mendarah-daging. Rasa prihatin merupakan keharusan bagi mereka untuk mematikan rasa gengsi bekerja di tempat yang kotor dan panas ini.
Realitas ketimpangan seolah-olah sengaja ditutup-tutupi majikan dari para buruhnya lewat aneka macam pembiusan. Dalam sharingnya pada hari terakhir kerja kami di industri ini, pak Kurnia menceritakan bahwa jika sedang banyak orderan (karena mereka bekerja sesuai order) para karyawan tidak diliburkan pada hari Jumat seperti biasanya. Mereka bekerja dari pagi sampai sore. Namun ia mengatakan bahwa menu makanan hari itu pun berubah, lebih istimewa. Para buruh boleh minta dibelikan makanan apa saja yang berbeda dari hari biasanya. Kami mencurigai kata-kata pak Kurnia ini dan sempat bertanya, Bukankah ini adalah cara pak Kurnia membungkam dan sekedar ‘ambil hati’ para buruh agar dia lebih enak bermain demi kantongnya sendiri? Meskipun demikian, para buruh tahu realitas yang ada. Mereka tahu, Pak Kurnia jarang turun langsung di dapur pabrik batik, jarang menghirup asap tungku selama delapan jam, jarang kena pewarna kain, namun ia memperoleh hasil paling banyak. Mereka juga tahu kalau pak Kurnia  baru saja membeli Honda Scoopy baru untuk putrinya meskipun ia tahu sang putri tak mau memakainya. Dan mereka bahkan tidak menyangkal kalau pak Kurnia secara cerdas ‘bermain’ seputar upah mereka yang sedemikian rendah dan mungkin takkan pernah mengalami peningkatan untuk selamanya.
 Rasa hati ingin berontak namun tidak ada yang bisa diandalkan. Harta? Jelas tidak punya. Pendidikan apalagi. Buruh kalah karena ia tidak punya apapun yang bisa diandalkan kecuali keterampilan dan kerja fisik mereka. Prinsip para buruh adalah bekerja untuk bisa makan. Tidak kerja berarti tidak makan. Mereka tahu bahwa upah seharipun tidak akan bisa membeli selembar kain yang mereka hasilkan sendiri. Mereka harus menghidupi istri dan anak-anak mereka dengan lelah dan payah. Sungguh merupakan sebuah perjuangan yang tidak mudah.
Apa gunanya menyalahkan kelakuan pak Kurnia yang semena-mena menggaji para buruhnya? Namun, secercah cahaya menuntunku berjalan di lorong kelam dunia ini. Cahaya ini menyadarkan bahwa manusia yang berlimpah harta bisa jadi sangat ‘miskin’ di hadapan Allah. Seorang kaya dan saleh ingin menjadi murid Yesus tetapi dia merasa berat hati ketika Yesus memintanya untuk memberikan setengah hartanya untuk orang miskin. Dia takut kehilangan hartanya dan masih ingin mencari kekayaan yang tak pernah membuatnya puas. Aku yakin bahwa Tuhan justru menghendaki orang itu menjadi sungguh kaya karena mau bersolider dan membantu mereka yang miskin. ‘Janda miskin’ telah memberikan persembahan bukan dari kecukupannya tetapi kekurangannya.



Rabu, 30 November 2011

Bersyukur:Mencecap Kebaikan Allah



“Kota batik di Pekalongan, bukanJogja, eh bukan Solo”. SepenggallagudariSlankinimengiringilangkahkumenujutempatindustrirumahtangga di daerahSimbangKulon, Pekalongan.Rasa herandankagumketikamenyusuri gang-gang di daerahini.Begitubanyakkain-kain batik dijemur di pekaranganrumah, bahkan di lapangan bola. Mungkin saat ini tidak banyak orang tertarik untuk bertani. Sampailahaku di industripembuatankain batik ‘Apel’.Akudankelimatemankuakanmerasakanhidupbersamaparaburuh batik selamaseminggu.Untukpertamakalinya, kami belajarbagaimana membuat batik. Kami dikenalkan ‘dapur’nyaparapembatikoleh Pak Karto, pemilikhome industry batik ‘Jeruk’. Di sini membatik masih mempertahanakan alat dan cara yang tradisional, walau memang ada pembutan batik dengan printing.Diamenjelaskansecara singkat tigatahapuntukmembuatkain batik. Prosesnya adalah pengecapan, pengerekan (pewarnaan), dan penglorotan (menghilangkan malam). Di home industry initerdapat lebih kurang tujuh buruh batik dan mereka semua merupakan buruh lepas. Mereka mengerjakan orderan batik yang diterima Pak Karto dari sang Tuan Saudagar. Dua Tuan  itu akan membeli kain batik jadi seharga 750 ribu rupiah per kodi.  Aku dengar bahwa kain-kain batik ini, nantinya akan diekspor ke Thailand.
Nah, kami bekerja di bagian ngerek, nglorot, dan penjemuran kain batik. Ada dua buruh ngerekdan nglorot, kadang juga tiga. Yang berat dari pekerjaan ngerek adalah kami harus berdiri kurang lebih lima jam dan berulang kali membungkuk.Bapak-bapaknya lebih senang melepas kaos karena ruangan di situ panas. Beberapa kali, kami bergantian menggelontorkan air putih ke tenggorokan kami. Keringat sudah membasahi kaos kami dan bau asamnya sudah berbaur dengan kepulan asap di tungku drum penglorotan.  Kulihat tubuh-tubuh ramping membungkus tulang-tulang mereka yang kokoh. Mungkin mereka jarang memakan ayam dan daging sehingga tubuh mereka tidak menimbun lemak. Selain itu, untuk bisa makan ayam goreng atau opor adalah sesuatu yang istimewa bagi mereka yang hidup bersama istri dan anak-anaknya.
Setelah beberapa menit terdengar adzan dzuhur mereka mengajak kami istirahat. Istri dari Pak Karto mempersilahkan kami makan di ruang makan keluarga dan bapak-bapak itu makan di ‘dapurnya’. Rasanya kurang sreg dengan pembedaan ini. Setelah dua kali makan siang di tempat itu, kami baru tahu bu Karto menyediakan lauk yang berbeda. Tiga hari berturut-turut, kami disuguhi sayur lodeh nangka. “Bu, sesuk yen dimasake jangan lodeh nangka meneh, sisan sing akeh” (Bu, kalau besok masak sayur nangka lagi, sekalian yang banyak) sindir Pak Imron. Aku merasakan banyak tenaga pegawai terkuras setiap hari sementara rasa lapar dan capai mereka hanya dipulihkan dengan tempe dan sayur nangka.
Biasanya selepas makan, mereka pergi sholat di Masjid di area Pondok Pesantren yang berjarak kurang lebih hanya lima puluh meter. Bagi orang-orang kecil seperti mereka, beribadah adalah sesuatu yang tidak bisa dinomorduakan. Lingkungan tempat kerja kami memang nuansa religiusnya kuat karena dekat dengan pondok pesantren dan beberapa taman pendidikan al-Quran. Untuk sejenak mereka dapat mencritrakan pahit dan susahnya sekaligus mengiba pada Tuhan.
Salah satu buruh ngerekyang kukenal adalah Pak Ipul. Tubuh mungil Pak Ipul yang kutaksir tingginya 1,5 meter dan beratnya mungkin sekitar 50 kg mewakili gambaran wong cilik (orang tak berdaya), apalagi sangatlah kecil penghasilannya.Dengan status kerja sebagai buruh lepas  yang digaji Rp 27.000/hari, dia membutuhkan pekerjaan sampingan.  Setelah pulang dari ngerek setiap sore dia menjadi guru bahasa Arab.  “Lumayanlah, buat tambah-tambah” katanya. Ternyata upah hariannya sebagai buruh ngerek hanya digaji dua puluh tujuh ribu. Tentu,  tak cukup untuk biaya hidup dengan satu anak dan istri. “Syukurlah, istri saya membantu bekerja karena dia bisa jahit” imbuhnya.
Dia bercerita bahwa baru seminggu yang lalu istrinya melahirkan. Aku spontan berkomentar dalam hati (pengeluaran hariannya akan bertambah dengan kelahiran anak pertamanya. Tetapi, rasanya belum ada kekhawatiran untuk itu)/“Bagaimana rasanya punya anak?” tanyaku. “Rasanya ya senang sekali karena saya sudah menunggu selama lima tahun untuk bisa punya anak”, jawabnya dengan senyuman lebar. Dia sangat bersyukur karena istrinya yang mau melahirkan sempat mengalami pendarahan dan akhirnya dioperasi.  Untuk membiayai operasi itu, dia mendapat keringanan dari jaminan kesehatan ibu hamil. Upahnya ngerek tak mungkin mencukupi biaya operasi kehamilan. Impiannya untuk mendapat momongan sudah terwujud. Sekarang apa impian selanjutnya. Dia menceritakan bahwa dia sedang mengumpulkan uang. Tembok rumahnya belum ditutup dengan semen. Paling tidak dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 

Senin, 19 September 2011

Spritualitas Imam Diosesan: Rekan Uskup dan Murid Yesus

Seminari adalah tempat perutusanku belajar dan aku seminaris Keuskupan Purwokerto yang ditipkan di KAS. Aku menyadari dua keuskupan yang kualami sekarang ini punya fokus pastoral yang berbeda. KAS sedang gencar menyuarakan Gereja yang signifikan dan relevan dan mengembangkan Adorasi Ekaristi untuk memperdalam iman akan Allah yang mencintai. Jujur saja dua hal yang sedang diperjuangkan KAS dengan jati diri Gereja dan gerakan Adorasi itu jarang disinggung di keuskupanku. Aku percaya para uskup punya gagasan refleksif untuk menyuburkan iman umat. Aku pun berupaya memahami dan menghidupi cita-cita Uskup KAS ini. Gereja signifikan dan relevan dan gerakan adorasi merupakan harapan yang ingin dicapai untuk membangun Kerajaan Allah di dunia.
Berangkat dari eksistensi jati diriku (calon Imam K. Pwkt) dan medan hidupku di Seminari Agung St. Paulus, aku hendak merefleksikan spiritualitas Imam Diosesan (SID). Informasi akan arti dan makna SID pernah kudapat sewaktu Tahun Rohani. Rm. Parjono mengutarakan imam diosesan menghidupi spiritualitas dari kharisma uskupnya. Spritualitas ini terwujud dalam gerak visi-misi keuskupan dari buah permenungan Uskup. Para imam dan umat di keuskupan itu memperjuangkan dan menggulirkan dalam karya pastoral mereka.
Saat ini, aku mencoba menghidupkan api spiritualitas dari Uskup KAS dan K. Pwkt. Dua gembala Gereja ini bermaksud membimbing domba-dombanya ke sumber air kehidupan. Semboyan “Fiat Voluntas Tua” dan “Duc in Altum” sungguh merasuk dalam pengalaman formatioku dan membantuku melihat karya Allah dalam diri Uskup dan Gereja. Aku kagum dengan para uskup yang mampu membangun relasi yang mesra dengan Allah. Hidup rohani yang mendalam sungguh dicapai dengan neng, ning, nung, mirip syahdunya bunyi gamelan yang ditabuh. Neng-meneng, ning-wening, nung-dunung, pesan dari Mgr Narka ketika merasakan kehadiran Allah dalam doanya. Ketika beradorasi, aku pun belajar untuk meneng, wening, dan dunung. Dia memerintahkan bertolaklah ke tempat yang lebih dalam, niscaya yang kucari akan ditemukan. Perintah-Mu ini mau kulaksanakan dan dengan mantap aku berseru “Fiat Voluntas Tua”.
Pernak-pernik hidup panggilan calon imam seperti tugas, kuliah, berkomunitas, pastoral akan diterangi dan disemangati oleh api spiritualitas uskup yang dihembusi oleh Roh kudus.

Salib Menyatu dalam Head, Heart, Hand

Hidup manusia tak bisa dilepaskan dari derita dan bahagia. Penderitaan Yesus dalam salib ini menjadi realitas seluruh derita manusia. Sampai saat ini, aku masih merasakan salib kristus juga dipikul oleh tiap manusia. Awalnya, yang terlintas ketika mendengar kata ‘salib’ adalah penderitaan. Memikul salib itu lebih bernilai karena menjadi jalan bagaimana kita mengasihi dan mewujudkan harapan. Maka, inti dari salib Kristus tidak lain adalah solidaritas Allah untuk merasakan penderitaan manusia yang hina dan penuh dosa. Solidaritas Allah dimaksudkan untuk menyelamatkan manusia.
Refleksiku di atas merupakan hasil proses belajar soteriologi. Lalu, aku tergugah ketika memaknai salib ini sungguh menyatu dalam Head (pikiran), Heart (hati), Hand (Fisik, jasmani). Tanda salib menunjuk pada tiga titik yang merangkai segala kesulitan dan penderitaan. Head-pikiran kualami ketika mengerjakan paper-paper dan persiapan ujian. Heart-hati, rasa sungguh diaduk-aduk ketika aku mencintai teman perempuan tanpa harus mengungkapkannya. Hand-jasmani, saat aku merasa sakit atau capek dengan kepanitiaan ini-itu. Inilah kenyataan-kenyataan pahit dan getirnya salib hidupku yang dipikul dengan pikiran, hati, dan jasmani.
Dan, Yesus mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersemangat ketika memikul salib. Aku berulangkali mencoba meletakan salib yang membebani hidupku ini, rasanya salib ini selalu datang dengan wujud yang berbeda. Aku hanya bisa meminta bantuan Tuhan untuk memberi energi kasih-Nya sehingga aku bisa menangkap apa yang dikehendaki dari segala penderitaanku ini. Walau salib membuatku menderita dengan pikiran, hati, dan jasmaniku, aku ingin terus melangkahkan jejakku bersama Yesus yang mengasihiku.

Ketaatan, di antara Harapan dan Komitmen

Suatu kali dalam kesempatan bimbingan rohani, aku menceritakan kondisi panggilanku yang sedang disolasi. Aku merasa lelah menghadapi tugas kuliah dan asrama yang datang silih berganti. Konsentrasi pikiranku mengarah pada tuntasnya tugas-tugas itu. Aku sering menabrak waktu hening untuk gladi rohani. Ketika berdoa, aku pun merasa kering dan munculah keluh kesah dan penatku pada kondisiku. Dalam disolasi yang disebabkan oleh keringnya doa dan energi untuk menyelesaikan tugas itu, aku menyadari bahwa hidupku sedang tak punya arah alias disorientasi.
Setelah aku bersharing tentang hidup doa dan studiku yang ‘ngalor-ngidul’, aku diajak untuk memulai membuat jadwal kegiatan rohani. Nampaknya, usulan atau tawaran ini harus dipenuhi. Sebenarnya aku sulit untuk menerimanya. Pertama, aku tidak terbiasa dengan jadwal mungkin karena pembawaan diriku termasuk orang type perceiving (test MBTI). Sudah cukup bagiku untuk menjalankan doa dan meditasi oleh dorongan batin tanpa perlu dijadwal. Namun, pertimbanganku kedua adalah kenapa hidupku sekarang justru menuju disorientasi, padahal aku sudah berjuang memenuhi tugas di sini. Muncul penolakan batin, aku dianggap seperti anak kecil yang masih manut jadwal sekolah.
Yah, dari situlah aku mencoba mulai mendata gladi rohani (rosario, brevir, examen, refleksi, lectio divina). Semua kegiatan rohani itu coba kuusahakan dengan bantuan jadwal rohani mingguan. Aku mengerti bahwa pembimbingku bermaksud baik untuk pengembangan integritas panggilanku. Membuat dan melaksanakan jadwal rohani itu bukanlah semata-mata aku mengikuti tawaran pembimbing. Aku makin menyadari bahwa hidupku lebih terarah pada jati diriku sebagai calon imam yang berdoa dan berkarya.
Pengalamanku dalam menghidupi nasehat injil “ketaatan” merupakan kesadaran dan tekadku untuk menjadi murid Kristus Yesus. Dia mengajarkan siapa yang mau mengikut aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari dan mengikut aku (Luk 9:23). Aku ingin mengikuti Yesus karena itu aku merasakan penyangkalan diri yaitu diriku yang tidak terbiasa dengan jadwal. Kemauanku untuk menjalankan gladi rohani setiap hari merupakan perjuanganku untuk memikul salib dalam doa dan tugas studi-asrama.
Kiranya, aku terlalu hina dan tak pantas untuk mengupas makna ketaatan dalam panggilan hidup karena aku kadang masih lalai menjalankan jadwal itu. Aku hanya punya harapan bahwa semakin aku berkomitmen dengan waktu rohani di seminari, aku semakin mempertegas orientasi panggilan imamatku sebagai murid Yesus. (Greg. Agung Bramanthya P./ II)

Kamis, 08 September 2011

Balas Cinta bagi Sesama

Tiada yang sempurna di dunia.
Semua akan musnah tak berharga.
Akankah ulang lagi sgala nikmat dunia
Tlah kucari, namun tak kudapati.

Terasa amat berat tinggalkan semua.
Segala kumiliki di dunia
Tetapi tak kurasa bahagia di jiwa
Aku rindu kau di sampingku.

Reff: Sejak Engkau sertaku, ku mengenal cinta
Ku rasa bahagia di jiwa di dalam kasih-Mu
Ku siap Tuhanku jadi pelayan-Mu
kan kubalas cinta bagi sesama

Kudengar bisikan-Mu sembuhkan luka
namamu kan kuukir dalam kalbu
jadikan ku alat pewarta sukacita
ini aku utuslah aku

Selasa, 08 Februari 2011

Kembalilah tuk Menimba Semangat Baru

Yogyakarta aku kembali- di kolong jembatan Janti aku berdiri di shelter ‘trans-Jogja’ (TJ). Aku menanti cukup lama bus 1B yang akan membawaku ke shelter Samsat. Sebenarnya aku nggak tahu jalur mana saja yang diambil untuk sampai ke shelter Kentungan. Aku coba tanyakan pada mas-mas yang menjual tiket sewaktu membeli tiket. “Nanti ambil jurusan 1B, turun di Samsat, lalu naik 3 B” bilang dia. Ku patuhi saja penjelasan tadi. Maklum saja aku nggak tahu dan jarang naik bus TJ. Bus-bus jurusan lain mampir, hingga 20 menit berlalu aku masih sabar menunggu. Untungnya, aku dapat duduk di bus 1B.
Penumpang hampir memenuhi bus itu, semua duduk dengan rapi. Termasuk kondektur bus TJ yang waktu itu adalah seorang ibu hamil. Kadang dia berdiri untuk menginformasikan shelter mana yang dituju. Senyum sejuk selalu terpancar saat mempersilahkan penumpang masuk dan turun. Tubuhku yang sudah mulai loyo karena jam 9 pagi di atas bus dan sesampai di Jogja naik bus lagi, cukup terobati dengan senyuman ibu kondektur itu. Selain punya senyuman yang manis, dia juga sangat hafal dimana bus akan berhenti dan menginformasikan jalur bus bagi penumpang yang akan menuju ke beberapa tempat penting. Ketika aku tanya apakah bus ini akan berhenti di depan Samsat, dia menjawab lengkap dengan perkiraan berapa menit lagi akan sampai sana. ‘kurang lebih 12 menit lagi’.
Seandainya ibu kondektur berumur lebih muda dari aku, tentu saja aku terpikat. Entah kenapa aku sungguh kagum, lebih sekadar kecantikan yang dimilikinya. Ibu itu membuatku kagum pada kegigihan dan pengorbanannya karena tetap bekerja dalam keadaan hamil tua. Aku sering menganggap wanita itu lemah dari emosional dan fisiknya. Dan, aku yang pria merasa lebih kuat dan terkadang melindungi wanita secara berlebihan. Ternyata wanita juga bisa sekuat pria dengan tetap bekerja dalam kondisi yang berat dan melelahkan. Ibu itu mungkin lelah, tetapi berhasil menutupinya dengan senyuman sejuknya. Orang lain termasuk aku, pasti berpikir lebih baik dia istirahat di rumah untuk menjaga janinnya. Semampu tenaganya. Dia memilih bekerja sepeti biasa, karena dia tentu butuh uang untuk membeli susu dan biaya kelahiran anaknya kelak. Dia sungguh mengagumkan saat mempersembahkan cinta pada janinnya dengan lelah fisiknya, sejuk senyumnya, serta tekad pengorbanannya.
Terpikat oleh kecantikan, berubah pada kekaguman akan kegigihan meneruskan hidup yang sulit dan berat. Dia memancarkan ‘kecantikan’ sejati yang didapat dari perjuangannya-bekerja sebagai kondektur dalam kondisi hamil. Pekerjaan kondektur adalah hal biasa untuk kaum lelaki dan jauh dari dunia wanita. Hanya karena tuntutan zaman dan kebutuhan masing-masing orang, seorang ibu rela melakoni ketakwajaran ini. Aku merefleksikan bahwa ketakwajaran bisa menjadi lumrah, biasa, bahkan luar biasa karena semangat cinta disampaikan lewat pengorbanan, pelayanan, dan kepasrahan. Kehidupan sekarang dan mendatang aku sadari sebagai buah tanggungjawab dari orang yang mau bersyukur, berjuang, dan terus berharap.

Minggu, 30 Januari 2011

Panggil Kami ! Relawan “John 12:26

Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa”.

Para pengungsi telah meninggalkan posko Merapi Happy-Jumat, 26 November 2010. Ruang-ruang kelas yang kemarin disulap menjadi kamar atau barak tidur sementara adalah saksi bisu kasih dan harapan setiap manusia. Beberapa peristiwa yang sempat terekam oleh ingatan yang menegaskan keberadaanku sebagai relawan. Senang rasanya bisa menyapa, ngobrol, bercanda, dan membantu para pengungsi. Mungkin pengalaman ini baru pertama kali terjadi dalam hidupku sehingga aku dapat belajar melayani khususnya mereka yang terkena bencana.
Saat menyiapkan beberapa kelas untuk dijadikan ruang istirahat, aku meyakinkan diriku untuk pasrah dan kuat dengan kondisi tubuhku. Bulan lalu aku baru sembuh dari pengobatan operasi besar. Memang rasanya agak sakit ketika mengangkat meja-meja dan kursi yang terbuat dari jati. Kami menyambut kedatangan mereka hingga mengantarkan mereka sampai mendapatkan tempat yang cocok. Mungkin rasa sakit pada luka bekas operasi hilang bersama mengalirnya semangat dan rasa kasihan melihat mereka.
Bisa dibilang aku termasuk bagian relawan yang freelance karena aku tidak tetap menggabung untuk satu divisi. Dari divisi kebersihan, dapur, registrasi, animasi anak, sampai logistik berat, aku merasa lebih bebas untuk memberi yang terbaik. Satu pelajaran berharga yaitu tuntasnya pekerjaan tak akan mungkin tanpa kerjasama. Berbagai macam cara coba dipikirkan dan diusahakan untuk memberikan kenyamanan dan kebahagiaan para pengungsi. Melimpahnya bantuan dari sandang, makan, sampai trauma healing, tak lupa juga keramahan dan kesigapan para relawan. Aku terharu bahwa mereka mengharapkan bantuan dari Tuhan sendiri melalui doa Rosario dan misa harian, dan beribadah sholat. Bantuan dari donatur adalah wujud kehadiranNya yang dekat dan nyata.
Inilah moment karena aku juga merenungkan siapa aku dan panggilanku. Karena momen inilah, ke-frateranku sepertinya lebur dengan relawan lainnya walau aku masih ingat dan sadar akan emosi cinta yang bergelora. Mereka yang berkenalan denganku sering memangilku frater, sekalipun aku biasa hanya menyebut nama ketika namaku ditanya. Kadang juga ketika 2 atau 3 frater ada berdekatan, seseorang memanggil frater-merekapun menoleh bersamaan. Posko Merapi Happy sungguh berkesan ketika aku belajar mengenal dan memahami umat Gereja yang menampilkan wajah Yesus di tengah bencana.
Aku senantiasa merasa bahwa kesediaan diri dibutuhkan untuk dapat mengalami aneka macam peristiwa dan berjumpa dengan beragam karakter manusia. Peristiwa ini menjadi sesuatu yang dinamis karena digerakkan oleh manusia-manusia yang dipanggil dan diutus oleh Yesus serta didayai oleh Roh Kudus. Dengan kebebasan akal dan hatiku ini, aku mengakui dengan rendah hati bahwa aku mau belajar menjadi pelayan Tuhan. Tugas pelayan Tuhan adalah taat pada hukum cinta kasihNya. Semoga aku senantiasa bisa mempertanggungjawabkan perbuatanku sebagai pelayan Tuhan kapanpun dan dimanapun. Deo Gratias…

Kentungan, Medio Desember 2010

Berbahagialah, mereka yang tidak mabuk

Aku pernah melihat orang mabuk di pinggir jalan. Dia berjalan terhuyung-huyung, berceloteh tidak jelas, ketawa tanpa ada hal yang lucu. Masih banyak lagi ekspresi konyol dari orang mabuk. Mungkin orang mabuk bisa disamakan dengan orang yang gila sesaat. Dengan kemabukannya, dia tidak sadar dengan apa yang dibuatnya. Mau ketawa sekeras dan selama mungkin nggak masalah karena jarang ada orang yang mengingatkannya. Tentu saja, bagaimana orang mau mengingatkan dia yang sedang dalam kondisi tidak sadar karena mabuk. Percuma saja!
Antara Mabuk dan bahagia
Sebelum kita menasehati orang yang mabuk, kita perlu tahu alasan kenapa orang ingin mabuk. Kebanyakan orang yang mabuk sedang mengalami tekanan dalam hidupnya. Sebelum dia mabuk, dia sadar bahwa dirinya sedang mempunyai masalah atau kesulitan tertentu. Nah, mereka memutuskan untuk minum minuman keras sampai mabuk. Mereka yakin bahwa mabuk bisa menghilangkan kepenatan hidupnya. Tentu, ini bukan penyelesaian yang jitu karena masalah bukan diselesaikan tetapi untuk sementara waktu disingkirkan. Orang yang mabuk merasakan tubuhnya ringan seperti melayang-(flying). Mungkin dia mengibaratkan tubuhnya yang ringan pertanda hidupnya terbebas dari segala beban masalah. Seandainya hidup tidak ada masalah, kita bisa merasa bahagia setiap saat. Tetapi, apakah mungkin?
Bicara tentang kebahagiaan di tengah masalah yang sedang menimpa, bukanlah sekadar omong kosong. Kita bisa menggali makna kebahagiaan di tengah persoalan yang sedang dihadapi. Kadang hidup bahagia digambarkan sebagai situasi yang lepas dari pengalaman negatif: terancam utang, sakit, cemas, celaka, dlsb. Setelah terhindar dari pengalaman negatif, orang berjuang mengisi hidupnya secara positif untuk bisa mengalami suasana hidup bahagia. Kebahagian semacam ini sering kita mimpikan yaitu hidup yang damai, sejahtera, harmonis, berkeutamaan dan menjalankan kebenaran. Ayo, (daripada hanya bermimpi) kita coba berjuang untuk meraih kebahagiaan di dalam pengalaman negatif.
Mau bahagia, usaha dong !
Kita sering merasa masalah hidup datang silih berganti. Kita ingin hidup tenang yang berarti tak ada problem, namun ini mustahil bisa kita alami. Meskipun kita membiarkannya berputar-putar di otak kita, kita dituntut untuk menjawab masalah itu dengan bertindak sesuatu. Apa yang kita punya dalam diri kita adalah akal budi, kebebasan, dan hati nurani. Aku menamakan ketiganya ini senjata pemusnah masalah (disingkat SPM). Sebelum kita memutuskan untuk menyelesaikan masalah, kita akan memanfaatkan tiga SPM. Kekuatan dan kecanggihan dari SPM yang dimiliki setiap orang umumnya berbeda.
SPM dapat berfungsi ketika masing-masing senjata digunakan secara bertahap atau bersamaan. Tahap yang pertama adalah senjata akal budi, berguna mencari tahu sebab masalah. Yang kedua yaitu kebebasan, berperan menemukan pilihan-pilihan sikap sekaligus segala konsekuensinya yang harus dipertanggungjawabkan. Senjata yang ketiga yaitu hati nurani. Dia berfungsi untuk menjernihkan pemahaman yang keliru dari akal budi dan mendeteksi sikap yang baik dan buruk. Kita akan merasakan manfaat dari kehebatan SPM jika kita mengalami kondisi sadar.
Kesadaran ini menyangkut identitas pribadi saat kini dan di sini. Proses kesadaran orang hanya mungkin dimulai dengan bertanya pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang mengarahkan kita pada kesadaran yaitu siapa aku, apa yang sedang kualami, dan apa yang kuharapkan. Tiga pertanyan ini mutlak harus dijawab ketika kita sedang menghadapi masalah. Karena tanpa kesadaran yang penuh akan diri sendiri, justru mempersulit kita untuk menemukan pemecahan masalahnya. Memang kelihatannya sederhana untuk menemukan kesadaran karena cuma menjawab tiga pertanyaan. Namun, hal ini dalam kenyataanya tidak mudah dipraktekkan.
Ketika sedang mencoba untuk sadar, kita sering diganggu oleh perasaan yang tidak menentu. Perasan ini datang saat kita belum menemukan kesadaran sepenuhnya dari apa yang kita alami. Jika yang muncul adalah perasaan negatif (jengkel, sedih, bosan, malu,dlsb), kita harus mengolahnya dengan pertanyaan kesadaran tadi. Kesadaran diharapkan dapat mengubah perasan negatif menjadi semangat hidup. Semangat hidup ini mendorong akal budi, kebebasan dan hati nurani mewujudkan suatu tindakan yang baik. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skemanya:
Kesadaran
Perasaan negatif Semangat hidup

Masalah Tindakan SPM (akal budi, kebebasan,hati nurani)
Sobatku, lupakanlah mabuk
Barangkali teman-temanku yang sedang membaca ini sudah pernah minum minuman keras alias miras, walaupun nggak sampai mabuk. Miras ini memang dilarang oleh pemerintah karena berujung pada aneka macam tindakan kejahatan. Dalam kenyataannya, kita lihat bahwa banyak orang yang setelah mabuk ujung-ujungnya berbuat tawuran, pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan di dalam keluarga. Mengapa ini bisa terjadi? Karena tidak ada kontrol dalam kesadaraannya. Sebenarnya kasihan melihat mereka yang tidak tahu mengapa mereka harus melakukan kejahatan.
Kejahatan itu pertama-tama bukan disebabkan karena orang itu mabuk tetapi dia sedang menghadapi masalah dalam hidupnya. Dia ingin keluar dari jeratan hidup yang melelahkan, menyengsarakan, dan penuh derita. Mungkin dia bingung harus berbuat apa, siapa yang bisa membantunya dan kenapa hidup ini tidak pernah terbebas dari masalah dan derita. Inilah saat kritis, kita bisa keluar dari saat kritis ini kalau kita mampu bersyukur. Sembari bersyukur kita juga menyadari langkah apa yang akan kita perbuat. Kita berada dalam satu tujuan yaitu ingin hidup bahagia, maka ajaklah teman kita untuk berjalan bersama meraih kebahagiaan. Asalkan bahagia itu bukanlah dengan mabuk,
“Andaikan kita mampu bersyukur atas setiap peristiwa yang kita alami dan terima dalam hidup ini, niscaya hidup kita akan tenteram dan bahagia. Kita tidak akan digelisahkan oleh banyak peristiwa apa pun yang terjadi dalam hidup kita karena kita berada pada disposisi batin
yang selalu menerima dan mensyukuri apa pun bahkan yang paling dihindari dan ditolak oleh banyak orang!” (DAVE PELZER, a Man named Dave)

Doa Sukacita Kaum Muda

Ya, Maria, fajar terang dunia, Bunda Kehidupan
kepadamu kami percayakan pokok kehidupan kami.
Pandanglah dunia, o Ibu, Lihatlah sejumlah bayi
yang terpaksa tidak boleh lahir
dari orang miskin yang hidupnya dibuat sulit,
dari laki-laki dan perempuan yang menjadi korban kekerasan brutal,
dari orang tua dan orang sakit yang dibunuh oleh ketidakpedulian,
atau yang keluar dari pergaulan yang tidak bertanggungjawab.

Berikanlah kepada semua yang percaya akan Putera-Mu,
rahmat dan kekuatan untuk dapat memberitakan kabar gembira kehidupan
dengan kejujuran dan kasih pada orang-orang zaman ini.
Mohonkanlah rahmat bagi mereka untuk dapat menerima kabar gembira
sebagai anugerah yang senantiasa baru yang dirayakan dengan sukacita
dan penuh syukur sepanjang hidupnya.

Mohonkanlah rahmat keberanian untuk menjadi saksi budaya kehidupan yang teguh dan
membangun budaya kebenaran dan cinta bersama semua orang yang berkehendak baik
untuk memuji dan memuliakan Allah, Sang Pencipta dan penyayang kehidupan. Amin

Salam Maria 3x
Bapa Kami…