Tangannya
begitu cekatan, mengayun dan menekan alat cap batik yang ukurannya sebesar
setrika. Lilin (malam) yang dipanaskan meleleh di atas wajan pipih berkarat.
Entah sudah berapa kali, si bapak mengecap motif bunga-bunga di ribuan lembar
kain putih itu. Yang terlihat modern dari alat batik di sana hanyalah kompor
gas mini yang didapat dari subsidi pemerintah dan tabung gas tiga kg untuk
mengganti kompor minyak karena harga minyak tanah yang selangit.
Dia berdiri di belakang meja dan di
sampingnya persis kompor gas dan wajan pipih yang setia menemani 7 jam sehari
selama tujuh tahun. “Mas sebelumnya saya
punya usaha kecil-kecilan, jual beli emas di pasar. Lumayanlah hasilnya bisa
untuk menyekolahkan dua anak sampai lulus SMP”, kisahnya. Dia melanjutkan
ceritanya bahwa dua anaknya merantau di Jakarta dan Bandung. “Alhamdulilah, mereka bisa cari makan
sendiri untuk keluarga mereka. Anak yang di Jakarta jualan bahan bangunan dan
yang kedua berjualan roti, sudah punya lima gerobak”. Pak Syaiful yang
sudah semakin uzur ini seharusnya tidak usah repot-repot bekerja lagi.
Anak-anaknya toh akan mengiririmkan uang tiap bulan untuk dia.
“Mas,
saya bekerja seperti ini hanya untuk olahraga, menjaga kondisi badan saya”. Kami
berdua tertawa karena dia berhasil menebak keraguanku. Dari ceritanya, sewaktu
masih muda dia ikut merantau ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Dia termasuk
ikut andil membangun istora senayan. Kenangan masa lalunya yang semakin
mengkristal ini terlihat dari rasa bangga bercampur syukur. Hanya saja dia tak
menceritakan laku puasanya setiap senin dan kamis. Mas Fat-temannya yang
mengecap batik di sebelahnya- memuji pak Syaiful ketika bercerita tentang efek
positif dari puasa. Walau sedang berpuasa, dia masih bisa bekerja optimal untuk
menafkahi keluarganya dan tak lupa untuk memberikan nafkah batin untuk
istrinya. Entah, apakah ini cuma guyonan dari temannya Pak Syaiful. Kalau
memang benar bahwa dia masih berpuasa sampai sekarang, aku sendiri merasa malu
karena jarang melakukan laku rohani dengan berpuasa.
Aku sadar bahwa kedatanganku ke sana
untuk menggali penderitaan para buruh dan merefleksikan pengalaman ini dalam
terang kebaikan Allah. Belajar teologi sosial ternyata tidak hanya dari dosen
saja, tetapi para buruh adalah guru sejati dari mata kuliah ini. Pak Syaiful
mengajarkan untuk terus berjuang dan tak mudah mengeluh dengan kondisi yang
serba prihatin ini. Dia juga tak menyalahkan Tuhan bahkan setiap waktu sholat
dia menyempatkan pergi ke Masjid. Di balik sikap tenangnya ini, aku mendengar
bisikannya ‘Gusti mboten sare, le’ (Tuhan
tak pernah tidur, nak). Aku pun semakin yakin bahwa Tuhan sungguh hadir di hati
manusia. Dia berjalan bersama menemani pak Syaiful dan kawan-kawannya yang papa-miskin sembari menyadarkan para
majikan yang berbuat semena-mena.
Hidupnya yang bersahaja dan serba
apa adanya semakin indah dihiasnya
dengan berpuasa senin dan kamis. Untuk apa dia sampai melakukan puasa? Sepintas
pikirku yang mencoba mencari jawab dengan merasionalisasikan-Mungkin dia sedang
menghayati hidup prihatin atau justru puasa adalah cara menyiasati terbatasnya
penghasilan. Aku menghargai apa yang dia lakukan ini sungguh sebuah ketulusan
dan kesetian untuk mengikuti Tuhan. Dua sikap iman yang ditanamnya yaitu
kesetiaan dan ketulusan telah menginsprisikan anak-anaknya termasuk aku juga.
Padahal sudah menjadi barang langka, kita berbicara ketulusan dan kesetiaan.
Dua sikap ini memang “mahal harganya” karena tak seorangpun dapat dengan mudah
memiliki dan melakukannya. Bagi pak Syaiful, ketulusan dan kesetiaan ini sudah
dia miliki dan dibagikan ini dalam keteladanan yang tak lekang oleh zaman.
Salah
satu pertanyaan yang masih belum terjawab olehku, siapakah Allah di mata pak
Syaiful yang telah berjuang hidup untuk keluarganya. Bersama teman-temanku yang
ikut menjadi buruh batik, kami membicarakan ini dan merenungkan pertanyaan besar
ini “Siapakah Allah bagi mereka”. Setiap hari jam 12.00 siang, setelah makan
dan membersihkan diri sebisanya dari cairan malam yang membeku dan pewarna
batik, Mas Fat, Pak Nur, Pak Syaiful, dan Pak Arifin bergegas pergi ke masjid
untuk sholat. Tak satupun dari mereka yang terlihat absen ke masjid. Kami tak melihat wajah keterpaksaan pada diri para
buruh tersebut. Sholat nampak sebagai aktivitas yang dirindukan. Bisa jadi
mereka ingin mengadu kepada Allah atas kerasnya hidup. Sholat menjadi jalan
bertemu dengan Allah secara personal. Allah menjadi tempat pengungsian para
buruh batik yang menyadari diri sebagai korban. Di dalam pribadi para buruh
lepas di rumah batik Pak Makmur, kami justru memperoleh penegasan bahwa Allah
bukanlah candu yang digunakan untuk “menjinakkan” buruh. Allah justru menjadi
pengungsian dan tempat peraduan orang-orang tertindas. Kami melihat wajah Allah
yang menjaga asa dan menguatkan para buruh untuk terus bekerja sambil berharap
adanya keadilan untuk ditegakkan.
Sholat menjadi salah satu wujud
perjumpaan buruh dengan Allah sebagai teman seperjalanan hidup. Allah tidak
menempatkan diri sebagai pribadi yang menuntut untuk disembah seolah-olah masih
perlu untuk menambah kemuliannya. Ia menempatkan diri sebagai sahabat bagi para
buruh yang menyediakan tempat untuk meletakkan beban-beban hidup. Kami merasa
bahwa gambaran Allah seperti itulah yang benar-benar kami alami melalui
perjumpaan dengan para buruh tertindas. Dalam wajah mereka tidak terlihat sama
sekali rasa keterpaksaan demi memenuhi kewajiban bagi seorang muslim untuk
sholat. Para buruh sholat sebagai ungkapan kerinduan akan Allah yang berjalan
berjuang dan berjalan bersama dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar