Jumat, 09 Desember 2011

Teruskan Mengecap Wajah-Nya


Tangannya begitu cekatan, mengayun dan menekan alat cap batik yang ukurannya sebesar setrika. Lilin (malam) yang dipanaskan meleleh di atas wajan pipih berkarat. Entah sudah berapa kali, si bapak mengecap motif bunga-bunga di ribuan lembar kain putih itu. Yang terlihat modern dari alat batik di sana hanyalah kompor gas mini yang didapat dari subsidi pemerintah dan tabung gas tiga kg untuk mengganti kompor minyak karena harga minyak tanah yang selangit.
            Dia berdiri di belakang meja dan di sampingnya persis kompor gas dan wajan pipih yang setia menemani 7 jam sehari selama tujuh tahun. “Mas sebelumnya saya punya usaha kecil-kecilan, jual beli emas di pasar. Lumayanlah hasilnya bisa untuk menyekolahkan dua anak sampai lulus SMP”, kisahnya. Dia melanjutkan ceritanya bahwa dua anaknya merantau di Jakarta dan Bandung. “Alhamdulilah, mereka bisa cari makan sendiri untuk keluarga mereka. Anak yang di Jakarta jualan bahan bangunan dan yang kedua berjualan roti, sudah punya lima gerobak”. Pak Syaiful yang sudah semakin uzur ini seharusnya tidak usah repot-repot bekerja lagi. Anak-anaknya toh akan mengiririmkan uang tiap bulan untuk dia.
            “Mas, saya bekerja seperti ini hanya untuk olahraga, menjaga kondisi badan saya”. Kami berdua tertawa karena dia berhasil menebak keraguanku. Dari ceritanya, sewaktu masih muda dia ikut merantau ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Dia termasuk ikut andil membangun istora senayan. Kenangan masa lalunya yang semakin mengkristal ini terlihat dari rasa bangga bercampur syukur. Hanya saja dia tak menceritakan laku puasanya setiap senin dan kamis. Mas Fat-temannya yang mengecap batik di sebelahnya- memuji pak Syaiful ketika bercerita tentang efek positif dari puasa. Walau sedang berpuasa, dia masih bisa bekerja optimal untuk menafkahi keluarganya dan tak lupa untuk memberikan nafkah batin untuk istrinya. Entah, apakah ini cuma guyonan dari temannya Pak Syaiful. Kalau memang benar bahwa dia masih berpuasa sampai sekarang, aku sendiri merasa malu karena jarang melakukan laku rohani dengan berpuasa.
            Aku sadar bahwa kedatanganku ke sana untuk menggali penderitaan para buruh dan merefleksikan pengalaman ini dalam terang kebaikan Allah. Belajar teologi sosial ternyata tidak hanya dari dosen saja, tetapi para buruh adalah guru sejati dari mata kuliah ini. Pak Syaiful mengajarkan untuk terus berjuang dan tak mudah mengeluh dengan kondisi yang serba prihatin ini. Dia juga tak menyalahkan Tuhan bahkan setiap waktu sholat dia menyempatkan pergi ke Masjid. Di balik sikap tenangnya ini, aku mendengar bisikannya ‘Gusti mboten sare, le’ (Tuhan tak pernah tidur, nak). Aku pun semakin yakin bahwa Tuhan sungguh hadir di hati manusia. Dia berjalan bersama menemani pak Syaiful dan kawan-kawannya  yang papa-miskin sembari menyadarkan para majikan yang berbuat semena-mena.  
            Hidupnya yang bersahaja dan serba apa adanya  semakin indah dihiasnya dengan berpuasa senin dan kamis. Untuk apa dia sampai melakukan puasa? Sepintas pikirku yang mencoba mencari jawab dengan merasionalisasikan-Mungkin dia sedang menghayati hidup prihatin atau justru puasa adalah cara menyiasati terbatasnya penghasilan. Aku menghargai apa yang dia lakukan ini sungguh sebuah ketulusan dan kesetian untuk mengikuti Tuhan. Dua sikap iman yang ditanamnya yaitu kesetiaan dan ketulusan telah menginsprisikan anak-anaknya termasuk aku juga. Padahal sudah menjadi barang langka, kita berbicara ketulusan dan kesetiaan. Dua sikap ini memang “mahal harganya” karena tak seorangpun dapat dengan mudah memiliki dan melakukannya. Bagi pak Syaiful, ketulusan dan kesetiaan ini sudah dia miliki dan dibagikan ini dalam keteladanan yang tak lekang oleh zaman.
   Salah satu pertanyaan yang masih belum terjawab olehku, siapakah Allah di mata pak Syaiful yang telah berjuang hidup untuk keluarganya. Bersama teman-temanku yang ikut menjadi buruh batik, kami membicarakan ini dan merenungkan pertanyaan besar ini “Siapakah Allah bagi mereka”. Setiap hari jam 12.00 siang, setelah makan dan membersihkan diri sebisanya dari cairan malam yang membeku dan pewarna batik, Mas Fat, Pak Nur, Pak Syaiful, dan Pak Arifin bergegas pergi ke masjid untuk sholat. Tak satupun dari mereka yang terlihat absen ke masjid. Kami tak melihat wajah keterpaksaan pada diri para buruh tersebut. Sholat nampak sebagai aktivitas yang dirindukan. Bisa jadi mereka ingin mengadu kepada Allah atas kerasnya hidup. Sholat menjadi jalan bertemu dengan Allah secara personal. Allah menjadi tempat pengungsian para buruh batik yang menyadari diri sebagai korban. Di dalam pribadi para buruh lepas di rumah batik Pak Makmur, kami justru memperoleh penegasan bahwa Allah bukanlah candu yang digunakan untuk “menjinakkan” buruh. Allah justru menjadi pengungsian dan tempat peraduan orang-orang tertindas. Kami melihat wajah Allah yang menjaga asa dan menguatkan para buruh untuk terus bekerja sambil berharap adanya keadilan untuk ditegakkan.
Sholat menjadi salah satu wujud perjumpaan buruh dengan Allah sebagai teman seperjalanan hidup. Allah tidak menempatkan diri sebagai pribadi yang menuntut untuk disembah seolah-olah masih perlu untuk menambah kemuliannya. Ia menempatkan diri sebagai sahabat bagi para buruh yang menyediakan tempat untuk meletakkan beban-beban hidup. Kami merasa bahwa gambaran Allah seperti itulah yang benar-benar kami alami melalui perjumpaan dengan para buruh tertindas. Dalam wajah mereka tidak terlihat sama sekali rasa keterpaksaan demi memenuhi kewajiban bagi seorang muslim untuk sholat. Para buruh sholat sebagai ungkapan kerinduan akan Allah yang berjalan berjuang dan berjalan bersama dengan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar