Celana pendek
dan kaos batik yang dikenakan oleh Pak Kurnia tak nampak bahwa dia adalah
pemilik Industri batik cap jeruk. Dia menjabat tangan kami sambil tersenyum
memamerkan kumisnya yang setebal bajak laut. Perkenalan singkat itu
meninggalkan kesan ada keramahan yang membuka persahabatan kami. Sebenarnya
kami sudah datang kemarin, tetapi dia kebetulan tak ada di rumah. “Mas, kemarin
maaf ya saya lagi mainan doro,
biasanya hari libur saya mainan itu di sawah”. Aku mengangguk-angguk dan
memaklumi bahwa dia pasti membutuhkan refreshing.
Dari basa-basi singkat tentang dunia burung, kami segera dijelaskan proses
membatik. Kulihat rokok masih terjepit di jari tengahnya dan sekarang dia mulai
mengajariku ngerek (pewarnaan) dan nglorot (menghilangkan malam).
Selama beberapa
menit dia ikut ngerek dan nglorot, padahal sudah ada buruhnya. Sambil bekerja,
aku menanyakan proses pemasaran dan penjualan batik ini. Yang mengagumkan bahwa
batik cap yang sedang aku buat ini akan diekspor ke Thailand, Malaysia, dan
Singapura. Di sini pak Kurnia dan buruhnya hanya menjalankan proses produksinya
dan setiap kamis dia akan menyetor batik-batik ini ke dua juragan Arab dan Cina
Pekalongan. Kain batik jadi ini akan dijual seharga Rp. 750.000,-/ Kodi kepada
dua juragan. Karena itu, pak Kurnia harus memastikan kain batik yang dijual itu
harus berkualitas. Untuk satu kodinya, dibutuhkan biaya produksi sebesar Rp.
175.000,-. Itu berarti pendapatan bersih pak Kurnia sangat besar.
Dari usaha home industri-nya ini, pak Kurnia bisa
membeli mobil KIA. Biasanya mobil itu dipakai untuk mengantar kain batik jadi.
Selain itu, seringkali mobil itu hanya diparkir di garasi sehingga tampak
kontras dengan sepeda jepang yang diparkir para buruh. Ketika setiap kali
melewati garasi itu, aku bertanya-tanya apakah mobil KIA dan dua motor honda
ini didapat dari keuletannya atau karena kelihaiannya mengeruk keuntungan.
Mobil ini menunjukan status sosial pemiliknya yang tak mungkin disamai oleh
buruh-buruhnya. Upah buruh sengaja ditekan supaya majikannya mampu membeli
kemewahan dan rasa gengsi. Para buruh tak mengenal dua kata itu dalam kamus
mereka. Kemewahan hanya bisa dilihat tetapi kesederhanaan sudah
mendarah-daging. Rasa prihatin merupakan keharusan bagi mereka untuk mematikan
rasa gengsi bekerja di tempat yang kotor dan panas ini.
Realitas
ketimpangan seolah-olah sengaja ditutup-tutupi majikan dari para buruhnya lewat
aneka macam pembiusan. Dalam sharingnya pada hari terakhir kerja kami di
industri ini, pak Kurnia menceritakan bahwa jika sedang banyak orderan (karena mereka bekerja sesuai order) para karyawan tidak diliburkan
pada hari Jumat seperti biasanya. Mereka bekerja dari pagi sampai sore. Namun
ia mengatakan bahwa menu makanan hari itu pun berubah, lebih istimewa. Para
buruh boleh minta dibelikan makanan apa saja yang berbeda dari hari biasanya.
Kami mencurigai kata-kata pak Kurnia ini dan sempat bertanya, Bukankah ini
adalah cara pak Kurnia membungkam dan sekedar ‘ambil hati’ para buruh agar dia
lebih enak bermain demi kantongnya
sendiri? Meskipun demikian, para buruh tahu realitas yang ada. Mereka tahu, Pak
Kurnia jarang turun langsung di dapur pabrik batik, jarang menghirup asap
tungku selama delapan jam, jarang kena pewarna kain, namun ia memperoleh hasil
paling banyak. Mereka juga tahu kalau pak Kurnia baru saja membeli Honda Scoopy baru untuk
putrinya meskipun ia tahu sang putri tak mau memakainya. Dan mereka bahkan
tidak menyangkal kalau pak Kurnia secara cerdas ‘bermain’ seputar upah mereka
yang sedemikian rendah dan mungkin takkan pernah mengalami peningkatan untuk
selamanya.
Rasa hati ingin berontak namun tidak ada yang
bisa diandalkan. Harta? Jelas tidak punya. Pendidikan apalagi. Buruh kalah
karena ia tidak punya apapun yang bisa diandalkan kecuali keterampilan dan
kerja fisik mereka. Prinsip para buruh adalah bekerja untuk bisa makan. Tidak
kerja berarti tidak makan. Mereka tahu bahwa upah seharipun tidak akan bisa
membeli selembar kain yang mereka hasilkan sendiri. Mereka harus menghidupi
istri dan anak-anak mereka dengan lelah dan payah. Sungguh merupakan sebuah
perjuangan yang tidak mudah.
Apa gunanya
menyalahkan kelakuan pak Kurnia yang semena-mena menggaji para buruhnya? Namun,
secercah cahaya menuntunku berjalan di lorong kelam dunia ini. Cahaya ini
menyadarkan bahwa manusia yang berlimpah harta bisa jadi sangat ‘miskin’ di
hadapan Allah. Seorang kaya dan saleh ingin menjadi murid Yesus tetapi dia
merasa berat hati ketika Yesus memintanya untuk memberikan setengah hartanya
untuk orang miskin. Dia takut kehilangan hartanya dan masih ingin mencari
kekayaan yang tak pernah membuatnya puas. Aku yakin bahwa Tuhan justru
menghendaki orang itu menjadi sungguh kaya karena mau bersolider dan membantu
mereka yang miskin. ‘Janda miskin’ telah memberikan persembahan bukan dari
kecukupannya tetapi kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar