Kamis, 01 Desember 2011

Dia (tak) Tahu yang Tuhan Mau



Celana pendek dan kaos batik yang dikenakan oleh Pak Kurnia tak nampak bahwa dia adalah pemilik Industri batik cap jeruk. Dia menjabat tangan kami sambil tersenyum memamerkan kumisnya yang setebal bajak laut. Perkenalan singkat itu meninggalkan kesan ada keramahan yang membuka persahabatan kami. Sebenarnya kami sudah datang kemarin, tetapi dia kebetulan tak ada di rumah. “Mas, kemarin maaf ya saya lagi mainan doro, biasanya hari libur saya mainan itu di sawah”. Aku mengangguk-angguk dan memaklumi bahwa dia pasti membutuhkan refreshing. Dari basa-basi singkat tentang dunia burung, kami segera dijelaskan proses membatik. Kulihat rokok masih terjepit di jari tengahnya dan sekarang dia mulai mengajariku ngerek (pewarnaan) dan nglorot (menghilangkan malam).
Selama beberapa menit dia ikut ngerek dan nglorot, padahal sudah ada buruhnya. Sambil bekerja, aku menanyakan proses pemasaran dan penjualan batik ini. Yang mengagumkan bahwa batik cap yang sedang aku buat ini akan diekspor ke Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di sini pak Kurnia dan buruhnya hanya menjalankan proses produksinya dan setiap kamis dia akan menyetor batik-batik ini ke dua juragan Arab dan Cina Pekalongan. Kain batik jadi ini akan dijual seharga Rp. 750.000,-/ Kodi kepada dua juragan. Karena itu, pak Kurnia harus memastikan kain batik yang dijual itu harus berkualitas. Untuk satu kodinya, dibutuhkan biaya produksi sebesar Rp. 175.000,-. Itu berarti pendapatan bersih pak Kurnia sangat besar.
Dari usaha home industri-nya ini, pak Kurnia bisa membeli mobil KIA. Biasanya mobil itu dipakai untuk mengantar kain batik jadi. Selain itu, seringkali mobil itu hanya diparkir di garasi sehingga tampak kontras dengan sepeda jepang yang diparkir para buruh. Ketika setiap kali melewati garasi itu, aku bertanya-tanya apakah mobil KIA dan dua motor honda ini didapat dari keuletannya atau karena kelihaiannya mengeruk keuntungan. Mobil ini menunjukan status sosial pemiliknya yang tak mungkin disamai oleh buruh-buruhnya. Upah buruh sengaja ditekan supaya majikannya mampu membeli kemewahan dan rasa gengsi. Para buruh tak mengenal dua kata itu dalam kamus mereka. Kemewahan hanya bisa dilihat tetapi kesederhanaan sudah mendarah-daging. Rasa prihatin merupakan keharusan bagi mereka untuk mematikan rasa gengsi bekerja di tempat yang kotor dan panas ini.
Realitas ketimpangan seolah-olah sengaja ditutup-tutupi majikan dari para buruhnya lewat aneka macam pembiusan. Dalam sharingnya pada hari terakhir kerja kami di industri ini, pak Kurnia menceritakan bahwa jika sedang banyak orderan (karena mereka bekerja sesuai order) para karyawan tidak diliburkan pada hari Jumat seperti biasanya. Mereka bekerja dari pagi sampai sore. Namun ia mengatakan bahwa menu makanan hari itu pun berubah, lebih istimewa. Para buruh boleh minta dibelikan makanan apa saja yang berbeda dari hari biasanya. Kami mencurigai kata-kata pak Kurnia ini dan sempat bertanya, Bukankah ini adalah cara pak Kurnia membungkam dan sekedar ‘ambil hati’ para buruh agar dia lebih enak bermain demi kantongnya sendiri? Meskipun demikian, para buruh tahu realitas yang ada. Mereka tahu, Pak Kurnia jarang turun langsung di dapur pabrik batik, jarang menghirup asap tungku selama delapan jam, jarang kena pewarna kain, namun ia memperoleh hasil paling banyak. Mereka juga tahu kalau pak Kurnia  baru saja membeli Honda Scoopy baru untuk putrinya meskipun ia tahu sang putri tak mau memakainya. Dan mereka bahkan tidak menyangkal kalau pak Kurnia secara cerdas ‘bermain’ seputar upah mereka yang sedemikian rendah dan mungkin takkan pernah mengalami peningkatan untuk selamanya.
 Rasa hati ingin berontak namun tidak ada yang bisa diandalkan. Harta? Jelas tidak punya. Pendidikan apalagi. Buruh kalah karena ia tidak punya apapun yang bisa diandalkan kecuali keterampilan dan kerja fisik mereka. Prinsip para buruh adalah bekerja untuk bisa makan. Tidak kerja berarti tidak makan. Mereka tahu bahwa upah seharipun tidak akan bisa membeli selembar kain yang mereka hasilkan sendiri. Mereka harus menghidupi istri dan anak-anak mereka dengan lelah dan payah. Sungguh merupakan sebuah perjuangan yang tidak mudah.
Apa gunanya menyalahkan kelakuan pak Kurnia yang semena-mena menggaji para buruhnya? Namun, secercah cahaya menuntunku berjalan di lorong kelam dunia ini. Cahaya ini menyadarkan bahwa manusia yang berlimpah harta bisa jadi sangat ‘miskin’ di hadapan Allah. Seorang kaya dan saleh ingin menjadi murid Yesus tetapi dia merasa berat hati ketika Yesus memintanya untuk memberikan setengah hartanya untuk orang miskin. Dia takut kehilangan hartanya dan masih ingin mencari kekayaan yang tak pernah membuatnya puas. Aku yakin bahwa Tuhan justru menghendaki orang itu menjadi sungguh kaya karena mau bersolider dan membantu mereka yang miskin. ‘Janda miskin’ telah memberikan persembahan bukan dari kecukupannya tetapi kekurangannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar