Suatu kali dalam kesempatan bimbingan rohani, aku menceritakan kondisi panggilanku yang sedang disolasi. Aku merasa lelah menghadapi tugas kuliah dan asrama yang datang silih berganti. Konsentrasi pikiranku mengarah pada tuntasnya tugas-tugas itu. Aku sering menabrak waktu hening untuk gladi rohani. Ketika berdoa, aku pun merasa kering dan munculah keluh kesah dan penatku pada kondisiku. Dalam disolasi yang disebabkan oleh keringnya doa dan energi untuk menyelesaikan tugas itu, aku menyadari bahwa hidupku sedang tak punya arah alias disorientasi.
Setelah aku bersharing tentang hidup doa dan studiku yang ‘ngalor-ngidul’, aku diajak untuk memulai membuat jadwal kegiatan rohani. Nampaknya, usulan atau tawaran ini harus dipenuhi. Sebenarnya aku sulit untuk menerimanya. Pertama, aku tidak terbiasa dengan jadwal mungkin karena pembawaan diriku termasuk orang type perceiving (test MBTI). Sudah cukup bagiku untuk menjalankan doa dan meditasi oleh dorongan batin tanpa perlu dijadwal. Namun, pertimbanganku kedua adalah kenapa hidupku sekarang justru menuju disorientasi, padahal aku sudah berjuang memenuhi tugas di sini. Muncul penolakan batin, aku dianggap seperti anak kecil yang masih manut jadwal sekolah.
Yah, dari situlah aku mencoba mulai mendata gladi rohani (rosario, brevir, examen, refleksi, lectio divina). Semua kegiatan rohani itu coba kuusahakan dengan bantuan jadwal rohani mingguan. Aku mengerti bahwa pembimbingku bermaksud baik untuk pengembangan integritas panggilanku. Membuat dan melaksanakan jadwal rohani itu bukanlah semata-mata aku mengikuti tawaran pembimbing. Aku makin menyadari bahwa hidupku lebih terarah pada jati diriku sebagai calon imam yang berdoa dan berkarya.
Pengalamanku dalam menghidupi nasehat injil “ketaatan” merupakan kesadaran dan tekadku untuk menjadi murid Kristus Yesus. Dia mengajarkan siapa yang mau mengikut aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari dan mengikut aku (Luk 9:23). Aku ingin mengikuti Yesus karena itu aku merasakan penyangkalan diri yaitu diriku yang tidak terbiasa dengan jadwal. Kemauanku untuk menjalankan gladi rohani setiap hari merupakan perjuanganku untuk memikul salib dalam doa dan tugas studi-asrama.
Kiranya, aku terlalu hina dan tak pantas untuk mengupas makna ketaatan dalam panggilan hidup karena aku kadang masih lalai menjalankan jadwal itu. Aku hanya punya harapan bahwa semakin aku berkomitmen dengan waktu rohani di seminari, aku semakin mempertegas orientasi panggilan imamatku sebagai murid Yesus. (Greg. Agung Bramanthya P./ II)
Setelah aku bersharing tentang hidup doa dan studiku yang ‘ngalor-ngidul’, aku diajak untuk memulai membuat jadwal kegiatan rohani. Nampaknya, usulan atau tawaran ini harus dipenuhi. Sebenarnya aku sulit untuk menerimanya. Pertama, aku tidak terbiasa dengan jadwal mungkin karena pembawaan diriku termasuk orang type perceiving (test MBTI). Sudah cukup bagiku untuk menjalankan doa dan meditasi oleh dorongan batin tanpa perlu dijadwal. Namun, pertimbanganku kedua adalah kenapa hidupku sekarang justru menuju disorientasi, padahal aku sudah berjuang memenuhi tugas di sini. Muncul penolakan batin, aku dianggap seperti anak kecil yang masih manut jadwal sekolah.
Yah, dari situlah aku mencoba mulai mendata gladi rohani (rosario, brevir, examen, refleksi, lectio divina). Semua kegiatan rohani itu coba kuusahakan dengan bantuan jadwal rohani mingguan. Aku mengerti bahwa pembimbingku bermaksud baik untuk pengembangan integritas panggilanku. Membuat dan melaksanakan jadwal rohani itu bukanlah semata-mata aku mengikuti tawaran pembimbing. Aku makin menyadari bahwa hidupku lebih terarah pada jati diriku sebagai calon imam yang berdoa dan berkarya.
Pengalamanku dalam menghidupi nasehat injil “ketaatan” merupakan kesadaran dan tekadku untuk menjadi murid Kristus Yesus. Dia mengajarkan siapa yang mau mengikut aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari dan mengikut aku (Luk 9:23). Aku ingin mengikuti Yesus karena itu aku merasakan penyangkalan diri yaitu diriku yang tidak terbiasa dengan jadwal. Kemauanku untuk menjalankan gladi rohani setiap hari merupakan perjuanganku untuk memikul salib dalam doa dan tugas studi-asrama.
Kiranya, aku terlalu hina dan tak pantas untuk mengupas makna ketaatan dalam panggilan hidup karena aku kadang masih lalai menjalankan jadwal itu. Aku hanya punya harapan bahwa semakin aku berkomitmen dengan waktu rohani di seminari, aku semakin mempertegas orientasi panggilan imamatku sebagai murid Yesus. (Greg. Agung Bramanthya P./ II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar