Kamis, 12 Januari 2012

Spiritualitas Kesatuan: Meneropong Kehidupan



Perdamaian dan keharmonisan adalah keniscayaan yang diyakininya akan datang dimana negara-negara sibuk berperang. Perang telah meluluhlantakkan rumah yang kita cintai dan menewaskan orang-orang tak bersalah. Itulah situasi yang dialami gadis kecil Chiara Lubich yang lahir dan dibesarkan di Trente 22 Januari 1920[1]. Dia diasuh oleh ayah yang berhaluan sosialis dan ibu yang pendoa setia. Ayahnya dikucilkan karena menolak kelompok fasisme Itali tetapi dia masih bisa bersekolah hingga menjadi seorang guru. Ungkapan doa yang selalu didaraskan  dan mengiringi hidupnya adalah “You who are ligt and warmth, enter me throug my eyes (Kau yang menerangi dan menghangatkan, masuklah lewat mataku)”. Menginjak usia dewasa, dia memilih untuk tidak menikah. Justru dia sangat mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk menyuarakan perdamaian di berbagai negara.
Selama kariernya, Chiara Lubich mengalami banyak kesempatan untuk berjumpa dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Dia yang memeluk agama Katolik Roma, sungguh menimba pengalaman iman dari mereka yang berkeyakinan lain dan juga membagikan refleksi imannya. Perjumpaan-perjumpaan itulah yang mendorongnya untuk menemukan jalan atau spiritualitas yang baru. The Spirituality of Unity- Spiritualitas Kesatuan ini yang nantinya menjadi detak jantung dari Gerakan Focolare yang didirikannya. Focolare mempunyai kepedulian terhadap perdamaian dan kesejahteraan dunia. Gerakan Focolare membuka ruang kebebasan bagi siapapun untuk belajar memperdalam ajaran Kitab Suci dan menginspirasikan umat beragama lain. Kami mengangkat Chiara Lubich ini untuk mengulas pemahaman mistik Kristiani di abad XX atau zaman modern. 
A.    Spritualitas Kesatuan dan Dialog
            Untuk mengawali pemahaman mengenai spritualitas kesatuan, Chiara menggelar realita bahwa Gereja Katolik ada di antara 300 gereja lainnya dan komunitas menggereja serta di antara kemajemukan agama bahkan orang-orang yang berkehendak baik dan tidak langsung percaya Tuhan. Karena itulah, dia memandang ada kesatuan yang diwujudkan antara individu, kelompok, kota, dan negara yang berusaha menghilangkan segala diskriminasi dan memimpikan masa depan yang dihadirkan dalam a united world.Upaya membangun hubungan yang baik dengan setiap manusia merupakan sebuah karya Tuhan.
            Dari kesadaran inilah, melahirkan Spritualitas Kesatuan yang mengandung roh pewartaan yang up-to-date dan modern, landasan Injil dan dijiwai oleh semangat  kebersamaan (Essential Writings:2006, 3). Mereka yang sedang mencoba menghayati spitualitas ini hendaknya menjadikan dirinya sebagai benih yang mewujudkan solidaritas yang lebih besar khususnya kepada kaum miskin dan lemah untuk dunia yang lebih bersatu. Inilah yang dapat ditimba sebuah spiritual yaitu cinta ini untuk mendukung berbagai kekuatan yang siap membimbing siapapun dan dimanapun. Tentunya, spiritualitas ini mempunyai dimensi komunitas karena dihidupi oleh orang-orang bukan hanya individu tetapi  juga sebagai kelompok-kelompok kecil dan besar. Yang menjadi inspirasi mendasar adalah prinsip-prinsip kristiani: menghilangkan sikap acuh tetapi saling meneguhkan dalam perbedaan iman dan budaya. Sikap semacam ini membawa kesatuankelompokinidi seluruh dunia yang perlu kembalimenemukandankembalimenumbuhkarasa kesatuan.
            Penemuan spiritualitas ini memang berkaitan dengan lahirnya gerakan Focolare. Dia tidak pernah merencanakan dengan matang untuk perjalanan hidupnya. Berangkat dari permenungannya perikop doa Yesus sebelum wafat,”Bapa, ... supaya mereka menjadi satu” Yoh 17: 11-21. Teks yang sulit ini direnungkannya dari kata per kata lalu mulai masuk ke kehidupan dan memberi prinsip dasar pada lahirnya gerakan ini dari sabda Injil. Teks ini sungguh menyentuh pengalaman hidupnya saat ada peperangan yang menewaskan banyak orang, menggagalkan rencana studinya, dan menggalakan rencana pernikahan. Dengan situasi hidupnya ini, dia bertanya pada Tuhan “dimana tempat yang paling ideal dan aman karena tak ada pengeboman dan dimana kita bisa mengabdikan hidup kita”. Baginya, jawaban yang paling ideal adalah Tuhan. Peperangan merupakan buah dari kebencian, Tuhan dimanifestasikan dalam diri kita masing-masing sebagai Cinta. Injil juga mengajarkan bagaimana mewujudkan Cinta, sebagai contoh “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” Mt 19:19. Siapakah sesamaku bisa ditemukan pada mereka yang membutuhkan bantuan, makanan dan perawatan untuk mereka yang sakit. Dia mengagumi Santo Basil yang menjalankan perintah utama yaitu mencinta Tuhan dan kedua mencintai sesama[2].
            “apakah ‘cinta’, mengasihi yang lain, sama halnya dengan cara yang dipahami dalam budaya dan agama-agama?”. Chiara mencoba menjelaskan ‘cinta’ hampir ada di semua kitab suci dan disebut “Golden Rule”. Orang kristen memahaminya “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Luk 6:31). Mahabarata pun mengatakan  jangan lakukan pada orang lain apa yang menyakitkan kamu sehingga itu tidak dilakukan padamu. Mahatma Gandhi mengatakan dengan amat indah, “Kamu dan aku adalah satu seperasaan. Aku tidak dapat melukaimu tanpa dengan tanganku sendiri”. Semua kutipan ini mengarah pada kepedulian terhadap sesama. Dia berharap kita mencintai setiap orang tanpa membedakan antara siapa yang disenang atau tidak disenangi, cantik atau jelek, muda atau tua, orang Amerika, Afrika, Jepang, Kristen, Muslim, atau Budist. Setiap orang harus dicintai dengan cara yang sama. Bahkan, cinta yang kuat adalah saat kita mencintai musuh kita, mendoakan dia, dan membalas tindakannya dengan pengampunan[3].
            Kesatuan adalah kata yang menyimpulkan gerakan hidup kita. Dia menyadari bahwa kita dipanggil ke Pesta Kristus Raja dimana dia mengutipkan Mzm 2:8 ”Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu”. Dan, dia menghubungkan dengan terbitnya ensiklik Mystici Corporisoleh Paus Pius XII[4]. Umat manusia yang menjadi satu dalam tubuh mistik Kristus dimana Kristus Yesus sebagai kepalanya. Buah permenungan yang sungguh jelas nampak bahwa Tuhan menginginkan kesatuan. Kita hidup untuk semata-mata menjadi satu bersama mereka, satu bersama orang lain dan satu bersama segala manusia. Inilah suatu panggilan yang luar biasa dimana kita terkait pada surga dan membenamkan kita dalam keluarga umat manusia.
            Setiap pagi, dia merenung dan berdoa di depan Sakramen Mahakudus dengan selalu mengulang kata-kata,”I am nothing, You are everything”. Setelah berdoa, dia menuliskan hasil permenungannya dan yang sangat mempengaruhi hidupnya adalah “unity”. Dia mengutipkan salah satu buah permenungannya ”Jiwaku selalu harus memandang pada satu Bapa yang banyak anak. Lalu, itu terlihat seperti anak-anak dari Bapa yang sama. Melalui budi dan hati, kita harus selalu membuat loncatan yang jatuh di kemanusiaan hidup kita yang sendiri dan membiasakan terbuka pada diri kita sendiri dan pada satu keluarga manusia dalam satu Bapa: Allah. Yesus, teladan kita menyadarkan kita pada dua pikiran yang adalah satu: menjadi anak-anak dari satu Bapa dan menjadi saudara lelaki dan perempuan untuk siapa saja. Ketika kita hidup berkomunitas, harus disadari penuh oleh setiap pribadi bahwa kita dapat mengalami kesendirian. Setelah mencintai saudara dan sahabat, kita menjadi sadar kesatuan kita dengan Tuhan.
Untuk mewujudkan Spiritualitas kesatuan ini, Chiara telah mengadakan banyak perjumpaan dengan beberapa pemimpin agama lain. Dia sungguh terkesan dengan pembicaraan tentang iman yang mengungkapkan hubungan yang unik antara Tuhan dan manusia. Dia  melihat agama (kepercayaan) mengandung suatu rasa yang sangat kuat akan yang Satu, yang Absolute. Dan, di atas semua itu segala agama menegaskan tentang toleransi dan cinta[5]. Tentunya, toleransi dan cinta yang sudah menjadi praksis hidup dan kebiasaan akan sangat mendukung bagi terciptanya ruang dialog antar umat beragama. Upaya saling menghormati dan memberi apresiasi merupakan sikap toleransi yang sangat sederhana. Sedangkan, ada banyak pengalaman kita dimana cinta sungguh nampak dan menjadi dasar hidup rohani. 
Karena dialog membutuhkan cinta antar umat beragama, cinta mengalir dari relasi manusia dengan Tuhan. Tuhan mencintai kita pertama kali karena dialah satu-satunya yang memberikan kita cinta dan dia menumbuhkembangkan itu ketika kita mencarinya. Cinta Tuhan ini sungguh hadir ketika perang dunia kedua sedang berkecamuk, Gandhi menegaskan bahwa Tuhan adalah Cinta. Pengalamannya berdialog juga diteguhkan oleh ungkapan Paus Yohanes Paulus II di India,” Melalui dialog kita mengizinkan Tuhan hadir di tengah-tengah kita; karena kita membuka dirikita dalam dialog pada orang-orang lain, kita juga membuka dirikita pada Tuhan. Dan, itu akan membuahkan kesatuan diantara kita dan dengan Tuhan”. Dia mendapat peneguhan baru bahwa dialog bersama umat beragama lain semakin membuka  Gereja Katolik pada keberadaan di luar dirinya sendiri. St. Thomas menpertegas bahwa Gereja tidak dapat menganggap bagian dari Katolik, tetapi sejak Yesus Kristus wafat untuk semua orang. Karena itu, dalam cara tertentu Gereja juga berada di luar dirinya sendiri. Melalui dialog, dia mau membuka bahwa Gereja berada di luar dirinya.
Dia menggunakan cara unik untuk mengembangkan dialog dalam kelompok Focolare yang dibentuknya. Focolare mengadakan pertemuan untuk saling berbagi pengalaman dari Word of Life (kutipan ayat-ayat kitab suci). Kegiatan ini dimaksudkan agar mereka menjaga api cinta Tuhan yang mengobarkan semangat mereka. Mereka dapat menyatu dari latar belakang pekerjaan, studi, doa dan perjuangan sampai pada tingkat kekudusan atau pewartaan hidup kristiani yang berbeda. Dengan mengupayakan dialog dalam keberagam ini, dialog  sungguh bermakna dan bernilai sejauh kita bersama merasakan kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita, karena Dialah sang norma dari segala norma untuk cara hidup ini.
B.     Memainkan pisau Spinoza
     Spiritualitas kesatuan yang ditawarkan oleh C. Lubich telah menginspriasi banyak orang untuk membangun persaudaraan. Mereka yang disatukan dari beragam latar belakang sosial didorong oleh tekad untuk menciptakan perdamaian di dunia. Dia mencoba menyebarkan dialog dengan beberapa tokoh agama dan membangun kelompok Focolare yang bernuansa pluralis. Dari berbagai fenomena ini, kami ingin mengkajinya dari unsur-unsur pokok dalam filsafat manusia dan filsafat ketuhanan. Kami menggunakan pisau bedah dari Spinoza yang terkenal dengan kebebasan berpikirnya.  
B.1.     Ketuhanan: Hubungan Substansi
Spinoza mengembangkan konsep substansi yang berbeda dengan pandangan Descartes. Dia berpendapat bahwa ada satu dan hanya satu substansi itu adalah Allah. Substansi ini bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesusatu yang tampaknya individual. Dia mendefinisikannya sebagai sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri[6]. Dia juga merumuskan konsep attribute dan modus. Sesuatu yang ditangkap akal budi sebagai hakikat substansi adalah attribute sedangkan modus adalah ‘hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.
Gagasannya tentang attribute juga dikembangkan dengan keluasan dan pikiran. Keluasan bukanlah substansi seperti dikira Descartes, melainkan sebuah atribute. Keluasaan adalah attribute Allah yang adalah substansi yang tak terhingga. Pikiran dipahami sebagai attribute dari substansi tunggal yaitu Allah. Dari gagasannya ini, munculah ungkapan yang terkenal darinya yakni Deus sive Natura (Allah atau alam). Spinoza memamahami Allah dan Alam adalah kenyataan tunggal. Ketika kita melihat dunia dari attribute pikiran, kita menyebutnya Allah dan saat melihat dunia dari attribute keluasan, kita menyebutnya alam. Apa yang ada di alam baik mahkluk hidup dan benda mati tak lain adalah Allah yang menampakkan diri. Nampaknya, Spinoza juga dipengaruhi oleh panteisme untuk memahami Allah yang tak terhingga itu.  
Kita dapat memakai konsep substansi tunggal untuk memahami spiritualitas kesatuan. Ada banyak penafsiran dan pandangan dari agama dan budaya untuk mengungkapkan jati diri Allah. Paham monoteisme memandang bahwa Allah itu satu dan tunggal dimana Islam dan Kristen menganut monoteisme. Paham yang mengakui bahwa Allah itu lebih dari satu disebut politeisme, dan realita Allah nampak dari mereka yang menyembah dewa-dewi. Sementara itu, mereka yang meyakini bahwa Allah ada dalam segala hal, masuk dalam paham panteisme. 
Konsep attribute yang dikembangkan Spinoza menegaskan bahwa Allah adalah substansi tunggal. Dengan menggunakan dua macam attribute (keluasan dan pikiran), kami mencoba menelaah spiritualitas kesatuan. Karena keluasaan dan pikiran hanyalah attribute, agama ialah satu substansi dengan kedua attribute itu. Dengan attribute pikiran, apa yang kita pahami sebagai agama boleh disebut Allah. Kita juga bisa memahami Allah dari attribute keluasan dan kita menyebutnya spiritualitas kesatuan. Sebelumnya kita telah melihat ada banyak agama yang menerapkan ajaran-ajarannya dengan berpijak pada pemahaman Allah: monoteisme, politeisme, dan panteisme. Perubahan dari substansi yang diistilahkan Spinoza yakni modus, menempatkan berbagai paham Allah ini sebagai modus dari substansi tunggal.  
            B.2.     Pandangan tentang Manusia
Spinoza yang berdarah orang Yahudi merenungkan dan mencari konsep manusia dari Kitab Suci. Untuk mendapat kebenaran absolut, orang Kristen dan Yahudi akan merujuk pada apa yang dikatakan oleh Kitab suci. Dia ingin membuktikan pernyataan Kitab Suci yang menganggap bahwa orang Yahudi adalah bangsa pilihan Yahwe. Konsep keselamatan Allah yang dipahami Kitab Suci sangat terbatas karena terlaksana hanya satu bangsa dimana ada bangsa-bangsa lainnya yang tidak menyembah Yahwe. Baginya tak ada bangsa yang menjadi anak emas Allah, tak ada agama yang memonopoli kebenaran, dan tak ada individu yang tak bisa mengetahui Allah[7].
Spinoza sungguh mengkritik keras otoritas bangsa Yahudi (modern) dan agama Kristiani yang telah mendaku sebagai umat pilihan Allah. Dia telah menemukan pemikiran yang tidak hanya teosentris tapi anthroposentris yang humanis. Manusia yang telah dipilih Allah tidak hanya dilihat dari bangsa atau agama tertentu, tetapi dia mengajak kita untuk menemukan kemanusiaan universal.
Manusia adalah pribadi yang membawa nilai keunikan (otonom) sekaligus nilai universal (ada dan hidup dalam kebersamaan dengan pribadi-pribadi lain). Keunikan yang ada dalam setiap pribadi tiada duanya dan hanya berlangsung sekali yaitu dirinya sendiri dalam sejarah manusia. Namun, tidak ada pribadi yang hidup dari dan untuk dirinya sendiri. Setiap pribadi mewarisi dan mewariskan nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini dan dihidupi oleh dirinya sendiri bersama masyarakat dimana dia hidup. Inilah martabat manusia yang bersifat unik dan universal. Semua nilai kemanusiaan yang unik dan universal itu diperjuangkan demi mencapai suatu tujuan yaitu kebahagiaan.

C.     Gereja yang satu dan berdiaspora
Pandangan Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga Pribadi, Bapa, Putra, dan Roh Kudus”[8]. Ciri kesatuan Gereja yang mengandung kesatuan illahi berusaha diwujudkan secara insani. Untuk menemukan misteri kesatuan Allah di dalam Gereja, bapa KV II mengajarkannya dalam dokumen Lumen Gentium (LG). Pemahaman Gereja yang satu mau menunjukan pertama-tama dimensi sakramental karena Gereja dalam Kristus adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (LG1).
Gereja telah menjadi wadah umat beriman yang percaya akan Kristus dan ikut ambil bagian dalam keselamatan yang dianugerahkan kepada seluruh umat Allah. Gereja dibangun atas dasar inisiatif Allah yang menyejarah memanggil untuk menghimpun mereka yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus, pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian (bdk. Art. 2 dan 9). Gereja hendak mewujudkan sakramen keselamatan yang sungguh berasal dari Kristus yang diwartakan dan ditanggapi oleh Gereja. Karena itu, Gereja bisa dipandang sebagai utusan Kristus yang meneruskan karya pewartaan-Nya dan sekumpulan orang beriman yang menanggapi karya pewartaan-Nya. Gereja yang merayakan sakramen Ekaristi dilambangkan dan dilaksanakan kesatuan umat beriman dengan Kristus-kita berasal daripada-Nya, hidup karena-Nya, menuju kepada-Nya (LG 3).
Dari penjelasan di atas, kiranya Gereja sebagai Persekutuan umat beriman diikat atau disatukan karena iman. Yang terjadi adalah banyak cara pengungkapan dan perwujudan iman yang beraneka ragam dengan bentuk dan wujud tindakan tertentu. Namun, kesatuan Gereja dimaksudkan untuk membangun kesadaran akan kesatuan iman karena rahmat Injil bukan kesatuan lahiriah yang kadang tidak menyentuh inti iman. Kesatuan lahiriah akan menghasilkan kesatuan iman dalam persekutuan yang saling meneguhkan dan melengkapi dalam penghayatan iman.
Umat beriman yang hidup pada zaman dan situasi tertentu boleh mengungkapkan iman yang liturgis dan katekis maupun dalam perwujudan persekutuan dalam organisasi ataupun dalam penampilan dalam masyarakat luas. Kesatuan umat beriman berada dalam kesatuan imannya bersama Kristus dengan diangkatnya Santo Petrus menjadi ketua para rasul lainnya. Dia menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan (LG 18). Paus juga dibantu oleh para uskup yang menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gerejanya sendiri (LG 23)[9].
Gagasan pokok KV II memandang relasi imam dan kaum awam dalam Gereja sebagai communio (paguyuban) umat Allah. Di situlah Gereja katolik Indonesia menggemakan semangat communio itu dengan mendorong partisipasi kaum awam dalam persekutuan, pelayanan, pewartaan, peribadatan, dan kesaksian hidup. Gereja memberi kesempatan bagai kaum awam untuk menyumbangkan kharisma-kharismanya yang dianugerahkan dan dipersembahkan dalam Gereja. Kharisma kaum awam diwujudkan dengan melaksanakan tugas imami, kenabian, dan rajawi Kristus. Tentunya, imam dan kaum awam menghayati tugas ini sesuai dengan situasi dan kedudukan masing-masing dalam rangka mewujudkan iman, harapan, dan kasih Kristus yang melindungi dan membawa pembebasan.
Terminologi ‘Gereja Diaspora’ mengungkap gambaran kondisi umat Katolik di Indonesia dengan pelbagai latar belakang sosial, politik, dan ekonomi yang berbeda. Dulu umat Katolik menampilkan homogenitas profesi dalam sebuah paroki sehingga upaya mengkoordinasi umat untuk berkumpul tidak mengalami kesulitan. Namun, situasi sungguh berubah karena paroki menjadi wadah umat katolik dengan beragam profesi, penghayatan nilai hidup, dan mobilitas yang relatif tinggi. Karena umat katolik sebagai minoritas hidup tersebar tetapi mereka tetap membangun komunitas seperti wilayah dan kring, inilah realita yang menjadi medan perjuangan Gereja Diaspora.
            KV II memaknai Gereja tidak hanya sebatas organisasi tetapi berupa sekumpulan organisme yang hidup dan saling terkait. Gagasan ‘Gereja Diaspora’ mau menampilkan pola pelayanan imam dan kaum awam sebagai organisme yang saling menumbuhkembangkan iman dalam kehidupan beragama dan bernegara. Relasi imam dan awam tidak mutlak mencerminkan Gereja piramida atau hierarkis dengan menentukan batasan kewenangan mereka dalam fungsinya. Model pelayanan imam dan kaum awam Gereja piramida bisa kita amati dalam dewan paroki. Namun, persoalan yang seringkali terjadi bahwa  pastor dan dewan paroki kurang dapat menyentuh atau belum bertindak proaktif terhadap kesulitan dan keprihatinan umat.
Ecclesia semper reformanda, ungkapan ini mendorong Gereja untuk senantiasa berkembang dan berbenah. Gereja perlu menyikapi arus perubahan zaman dengan membaca tanda-tanda zaman (see), merefleksikan situasi ini dengan kacamata iman dan moral kristiani (judge), dan berusaha mencari peluang-peluang pastoral (act). Begitu juga, Gereja teritorial yang mampu berdiri dan bertahan lama karena imam dan awam saling berpartisipasi. Perkembangan ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat mampu menyumbangkan manfaatnya bagi kehidupan manusia dan dunia. Kaum awam telah menggunakan kesempatan ini dengan mempelajari pengetahuan yang aktual seperti halnya tekhnologi komunikasi, psikologi, dan ekonomi. Bidang-bidang itu tidak berkaitan langsung dengan pelayanan rohani di Gereja. Namun, kemampuan umat dalam menggunakan pengetahuannya bisa dipadukan secara kreatif. Misalnya, beberapa paroki sudah membuat website paroki yang bisanya dikelola oleh seksi KOMSOS. Di bidang ekonomi, mereka membentuk koperasi yang lazim disebut Credit Union (CU). Mereka hendak mewujudkan kesejahteraan jasmani dalm hidup rumah tangga karena menyadari akan kebersamaan hidup dan berbagi rahmat dan berkah untuk saudara mereka yang membutuhkan bantuan.
D.    Meneropong wajah dunia kita
Kita bisa memakai spiritualitas kesatuan ini untuk meneropong wajah masyarakat dunia. Pelbagai bangsa, suku dan budaya menggambarkan wajah dunia dan ikut menghiasi pesona kehidupan alam semesta yang diciptakan oleh Sang Pencipta agung. Waktu yang terus berjalan menampakkan bermacam-macam ekspresi wajah dunia. Kiranya, spiritualitas kesatuan dapat kita maknai sebagai teropong kehidupan. Terjadinya perang, bencana alam, pertikaian, wabah penyakit adalah kejadian-kejadian yang menggoreskan warna-warna marah, benci, dan duka pada mereka yang mengalaminya. Chiara memandang penderitaan dan permusuhan yang dialami manusia dengan ‘teropong’ spiritualitas kesatuan. Kini, ‘teropong’ spiritualitas kesatuan bisa digunakan siapapun dari latar belakang apapun. Mereka akan menemukan indahnya kedamaian dan cinta yang terlihat di balik lensa ‘teropong’ itu. Dia meyakini bahwa spiritualitas kesatuan dapat mendorong setiap manusia, agama, dan bangsa untuk membangun dan menggambar wajah dunia yang penuh cinta dan damai.
Melihat dunia melalui ‘teropong’ itu, bisa diibaratkan dengan usahanya untuk berdialog dengan umat beragama lain. Perbedaan agama dan budaya bukanlah hambatan untuk mereka yang mengharapkan adanya kedamaian di dunia ini. Individu yang sadar bahwa Tuhan yang mahaesa menaungi seluruh suku, agama, golongan sosial mewujudkan dirinya sebagai manusia beriman “homo religius”. Berkembangnya rasa religiositas diperluas ketika orang mau membuka dialog iman dan dialog kemanusiaan bersama siapa saja. Setiap orang diajak untuk mencari makna dialog dalam relasinya antar manusia sekaligus mereka berkomunikasi batin bersama Yang Esa. Ketika dialog kehidupan sudah berjalan dengan lancar maupun banyak tantangan dan hambatan, kita semakin mengimani agama dan punya harapan besar untuk selalu mengasihi sesama dan Tuhan. Kita bisa membagikan pengalaman menghayati agama dengan teman agama lain asalkan saling memaklumi perbedaan. Motivasi yang dituju dari dialog ini adalah kebersamaan bukan perbedaan, artinya kita menggali kesamaan nilai hayat dan bersama-sama memperjuangkannya.

Daftar Pustaka
1.      Budi Hardiman F. Filsafat Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
2.      Gallagher J, A Woman’s Work: Chiara Lubich, Harper Colins, English, 1997.
3.      Lubich C. Essential Writings, New City Press, London, 2007.
4.      Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta:Kanisius dan Jakarta:Obor, 1996.

Artikel:
1.      Lubich C., “An Experience of Dialogue among the Religions in India in the light of Novo Millenio Inuente”, Pro Dialogo, Buletin 107,2001/2, 238.

Data Internet




[1] Jim Gallagher, A Woman’s Work: Chiara Lubich, Harper Colins, English: 1997, 5.
[2]Lubich C. Essential Writings “A Spirtuality of Communion”, New City Press, London: 2007, 28.
[3]Chiara Lubich .,The Art of Loving and a United World, http://www.centrochiaralubich.org/en/documents/texts/4-scritto/188-larte-di-amare-e-il-mond, akses 2 Oktober 2012.
[4]Chiara Lubich , Essential Writing “Two side of the same coin”,  New City Press, London: 2007, 17.
[5]Lubich C., “An Experience of Dialogue among the Religions in India in the light of Novo Millenio Inuente”, Pro Dialogo, Buletin 107,2001/2, 238.
[6] Budi Hardiman F., Filsafat Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2004, 47-48.
[7] F. Budi Hardiman., Filsafat Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2004, 51.
[8] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta:Kanisius dan Jakarta:Obor, 1996, 344.
[9] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, .., 347.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar