Rabu, 11 Januari 2012

Dialog dalam Terang Spiritualitas Kesatuan



Semasa hidupnya, Chiara Lubich mengalami banyak kesempatan untuk berjumpa dengan orang-orang yang memiliki berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Dia yang memeluk agama Katolik Roma, sungguh menimba pengalaman iman dari mereka yang berkeyakinan lain dan juga membagikan refleksi imannya. Perjumpaan-perjumpaan itulah yang mendorongnya untuk menemukan jalan atau spiritualitas yang baru. The Spirituality of Unity- Spiritualitas Kesatuanini yang nantinya menjadi detak jantung dari Gerakan Focolare yang didirikannya. Focolare mempunyai kepedulian terhadap perdamaian dan kesejahteraan dunia.Gerakan Focolare  membuka ruang kebebasan bagi siapapun untuk belajar memperdalam ajaran Kitab Suci dan menginspirasikan umat beragama lain. Penulis akan mengulas tema umum yaitu mistik Kristiani (Katolik) di zaman modern dan khususnya tokoh mistik diambil dari Chiara Lubich. Karya tulis ini akan mencoba memahami Spiritualitas Kesatuan sebagai buah permenungan Chiara Lubich yang terkait dengan tradisi hidup kristiani dan pokok-pokok pewahyuan.  
   Spritualitas Kesatuan
            Untuk mengawali pemahaman mengenai spritualitas kesatuan, Chiara menggelar realita bahwa Gereja Katolik ada di antara 300 gereja lainnya dan komunitas menggereja serta di antara kemajemukan agama bahkan orang-orang yang berkehendak baik dan tidak langsung berelasi dengan Tuhan.Karena itulah, dia memandang ada kesatuan yang diwujudkan antara individu, kelompok, kota, dan negara yang berusaha menghilangkan segala diskriminasi dan memimpikan masa depan yang dihadirkan dalam a united world.Upaya membangun hubungan yang baik dengan setiap manusia merupakan sebuah karya Tuhan.
            Dari kesadaran inilah, melahirkan Spritualitas Kesatuan yang mengandung roh pewartaan yang up-to-date dan modern, landasan Injil dan dijiwai oleh semangat  kebersamaan (Essential Writings:2006, 3). Mereka yang sedang mencoba menghayati spitualitas ini hendaknya menjadikan dirinya sebagai benih yang mewujudkan solidaritas yang lebih besar khususnya kepada kaum miskin dan lemah untuk dunia yang lebih bersatu. Inilah yang dapat ditimba sebuah spiritual yaitu cinta ini untuk mendukung berbagai kekuatan yang siap membimbing siapapun dan dimanapun. Tentunya, spiritualitas ini mempunyai dimensi komunitas karena dihidupi oleh orang-orang bukan hanya individu tetapi  juga sebagai kelompok-kelompok kecil dan besar. Yang menjadi inspirasi mendasar adalah prinsip-prinsip kristiani: menghilangkan sikap acuh tetapi saling meneguhkan dalam perbedaan iman dan budaya. Sikap semacam ini membawa kesatuankelompokinidi seluruh dunia yang perlu kembalimenemukandankembalimenumbuhkarasa kesatuan.
            Penemuan spiritualitas ini memang berkaitan dengan lahirnya gerakan Focolare. Dia tidak pernah merencanakan dengan matang untuk perjalanan hidupnya. Berangkat dari permenungannya perikop doa Yesus sebelum wafat,”Bapa, ... supaya mereka menjadi satu” Yoh 17: 11-21. Teks yang sulit ini direnungkannya dari kata per kata lalu mulai masuk ke kehidupan dan memberi prinsip dasar pada lahirnya gerakan ini dari sabda Injil. Teks ini sungguh menyentuh pengalaman hidupnya saat ada peperangan yang menewaskan banyak orang, menggagalkan rencana studinya, dan menggalakan rencana pernikahan. Dengan situasi hidupnya ini, dia bertanya pada Tuhan “dimana tempat yang paling ideal dan aman karena tak ada pengeboman dan dimana kita bisa mengabdikan hidup kita”. Baginya, jawaban yang paling ideal adalah Tuhan. Peperangan merupakan buah dari kebencian, Tuhan dimanifestasikan dalam diri kita masing-masing sebagai Cinta. Injil juga mengajarkan bagaimana mewujudkan Cinta, sebagai contoh “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” Mt 19:19. Siapakah sesamaku bisa ditemukan pada mereka yang membutuhkan bantuan, makanan dan perawatan untuk mereka yang sakit. Dia mengagumi Santo Basil yang menjalankan perintah utama yaitu mencinta Tuhan dan kedua mencintai sesama[1].
            “apakah cinta, mengasihi yang lain, sama halnya dengan cara yang dipahami dalam budaya dan agama-agama kita?”. Chiara mencoba menjelaskan Cinta hampir ada di semua kitab suci dan disebut “Golden Rule”. Orang kristen memahaminya “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” Luk 6:31. Mahabarata pun mengatakan  jangan lakukan pada orang lain apa yang menyakitkan kamu sehingga itu tidak dilakukan padamu. Dan, Mahatma Gandhi mengatakan dengan amat indah.” Kamu dan aku adalah satu seperasaan. Aku tidak dapat melukaimu tanpa dengan tanganku sendiri. Semua kutipan ini mengarah pada kepedulian terhadap sesama. Dia berharap kita mencintai setiap orang tanpa membedakan antara siapa yang disenang atau tidak disenangi, cantik atau jelek, muda atau tua, orang Amerika, Afrika, Jepang, Kristen, Muslim, atau Budist. Setiap orang harus dicintai dengan cara yang sama. Bahkan, cinta yang kuat adalah saat kita mencintai musuh kita, mendoakan dia, dan membalas tindakannya dengan pengampunan[2].
            Kesatuan adalah kata yang menyimpulkan gerakan hidup kita. Dia menyadari bahwa kita dipanggil ke Pesta Kristus Raja dimana dia mengutipkan Mzm 2:8”Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu”. Dan, dia menghubungkan dengan terbitnya ensiklik Mystici Corporisoleh Paus Pius XII[3]. Umat manusia yang menjadi satu dalam tubuh mistik Kristus dimana Kristus Yesus sebagai kepalanya. Buah permenungan yang sungguh jelas nampak bahwa Tuhan menginginkan kesatuan. Kita hidup untuk semata-mata menjadi satu bersama mereka, satu bersama orang lain dan satu bersama segala manusia. Inilah suatu panggilan yang luar biasa dimana kita terkait pada surga dan membenamkan kita dalam keluarga umat manusia.
            Setiap pagi, dia merenung dan berdoa di depan Sakramen Mahakudus dengan selalu mengulang kata-kata,”I am nothing, You are everything”. Setelah berdoa, dia menuliskan hasil permenungannya dan yang sangat mempengaruhi hidupnya adalah “unity”. Dia mengutipkan salah satu buah permenungannya ”Jiwaku selalu harus memandang pada satu Bapa yang banyak anak. Lalu, itu terlihat seperti anak-anak dari Bapa yang sama. Melalui budi dan hati, kita harus selalu membuat loncatan yang jatuh di kemanusiaan hidup kita yang sendiri dan membiasakan terbuka pada diri kita sendiri dan pada satu keluarga manusia dalam satu Bapa: Allah. Yesus, teladan kita menyadarkan kita pada dua pikiran yang adalah satu: menjadi anak-anak dari satu Bapa dan menjadi saudara lelaki dan perempuan untuk siapa saja. Sejak hidup berkomunitas harus disadari penuh oleh setiap pribadi, kita mengalami kesendirian, setelah mencintai saudara dan sahabat, kita menjadi sadar kesatuan kita dengan Tuhan.
    Dialog
Untuk mewujudkan Spiritualitas kesatuan ini, Chiara telah mengadakan banyak perjumpaan dengan beberapa pemimpin agama lain. Dia sungguh terkesan dengan pembicaraan tentang iman yang mengungkapkan hubungan yang unik antara Tuhan dan manusia. Dia  melihat agama (kepercayaan) mengandung suatu rasa yang sangat kuat akan yang Satu, yang Absolute. Dan, di atas semua itu segala agama menegaskan tentang toleransi dan cinta[4]. Tentunya, toleransi dan cinta yang sudah menjadi praksis hidup dan kebiasaan akan sangat mendukung bagi terciptanya ruang dialog antar umat beragama. Upaya saling menghormati dan memberi apresiasi merupakan sikap toleransi yang sangat sederhana. Sedangkan, ada banyak pengalaman kita dimana cinta sungguh nampak dan menjadi dasar hidup rohani. 
Karena dialog membutuhkan cinta antar umat beragama, cinta itu mengalir dari relasinya dengan Tuhan. Tuhan mencintai kita pertama kali karena dialah satu-satunya yang memberikan kita cinta dan dia menumbuhkembangkan itu ketika kita mencarinya.Cinta Tuhan ini sungguh hadir ketika perang dunia kedua sedang berkecamuk, Gandhi menegaskan bahwa Tuhan adalah Cinta. Pengalamannya berdialog juga diteguhkan oleh ungkapan Paus Yohanes Paulus II di India,” Melalui dialog kita mengizinkan Tuhan hadir di tengah-tengah kita; karena kita membuka dirikita dalam dialog pada orang-orang lain, kita juga membuka dirikita pada Tuhan. Dan, itu akan membuahkan kesatuan diantara kita dan dengan Tuhan”.
Dia mendapat peneguhan baru bahwa dialog bersama umat beragama lain semakin membuka  Gereja Katolik pada keberadaan di luar dirinya sendiri. St. Thomas menpertegas bahwa Gereja tidak dapat menganggap bagian dari Katolik, tetapi sejak Yesus Kristus wafat untuk semua orang. Karena itu, dalam cara tertentu Gereja juga berada di luar dirinya sendiri. Melalui dialog, dia membuka bahwa dirinya berada di luar dirinya.
Dia menggunakan cara unik untuk mengembangkan dialog dalam kelompok Focolare yang dibentuknya. Focolare mengadakan pertemuan untuk saling berbagi pengalaman dari Word of Life (kutipan ayat-ayat kitab suci). Kegiatan ini dimaksudkan agar mereka menjaga api cinta Tuhan api yang mengobarkan semangat mereka. Jalan kesatuan meliputi pekerjaan, studi, doa dan perjuangan sampai pada kekudusan atau pewartaan hidup kristiani sungguh bermakna dan bernilai sejauh kita bersama saudara-saudari merasakan kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita, karen itu norma dari segala norma untuk cara hidup ini.


[1]A Spirtuality of Communion
[2]Lubich, C.,The Art of Loving and a United World,
[3]Lubich C.,Two side of the same coin, Essential Writing, 17.
[4]Lubich C., “An Experience of Dialogue among the Religions in India in the light of Novo Millenio Inuente”, Pro Dialogo, Buletin 107,2001/2, 238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar