Semasa
hidupnya, Chiara Lubich mengalami banyak kesempatan untuk berjumpa dengan
orang-orang yang memiliki berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Dia yang
memeluk agama Katolik Roma, sungguh menimba pengalaman iman dari mereka yang
berkeyakinan lain dan juga membagikan refleksi imannya. Perjumpaan-perjumpaan
itulah yang mendorongnya untuk menemukan jalan atau spiritualitas yang baru. The
Spirituality of Unity- Spiritualitas Kesatuanini yang nantinya menjadi
detak jantung dari Gerakan Focolare yang didirikannya. Focolare mempunyai
kepedulian terhadap perdamaian dan kesejahteraan dunia.Gerakan Focolare membuka ruang kebebasan bagi siapapun untuk
belajar memperdalam ajaran Kitab Suci dan menginspirasikan umat beragama lain. Penulis
akan mengulas tema umum yaitu mistik Kristiani (Katolik) di zaman modern dan
khususnya tokoh mistik diambil dari Chiara Lubich. Karya tulis ini akan mencoba
memahami Spiritualitas Kesatuan sebagai buah permenungan Chiara Lubich yang
terkait dengan tradisi hidup kristiani dan pokok-pokok pewahyuan.
Spritualitas Kesatuan
Untuk mengawali pemahaman mengenai spritualitas kesatuan, Chiara menggelar realita bahwa Gereja
Katolik ada di antara 300 gereja lainnya dan komunitas menggereja serta di
antara kemajemukan agama bahkan orang-orang yang berkehendak baik dan tidak
langsung berelasi dengan Tuhan.Karena itulah, dia memandang ada kesatuan yang
diwujudkan antara individu, kelompok, kota, dan negara yang berusaha
menghilangkan segala diskriminasi dan memimpikan masa depan yang dihadirkan
dalam a united world.Upaya membangun
hubungan yang baik dengan setiap manusia merupakan sebuah karya Tuhan.
Dari kesadaran inilah, melahirkan Spritualitas Kesatuan yang
mengandung roh pewartaan yang up-to-date dan modern, landasan Injil dan dijiwai
oleh semangat kebersamaan (Essential
Writings:2006, 3). Mereka yang sedang mencoba menghayati spitualitas ini
hendaknya menjadikan dirinya sebagai benih yang mewujudkan solidaritas yang
lebih besar khususnya kepada kaum miskin dan lemah untuk dunia yang lebih
bersatu. Inilah yang dapat ditimba sebuah spiritual yaitu cinta ini untuk
mendukung berbagai kekuatan yang siap membimbing siapapun dan dimanapun.
Tentunya, spiritualitas ini mempunyai dimensi komunitas karena dihidupi oleh
orang-orang bukan hanya individu tetapi
juga sebagai kelompok-kelompok kecil dan besar. Yang menjadi inspirasi
mendasar adalah prinsip-prinsip kristiani: menghilangkan sikap acuh tetapi saling
meneguhkan dalam perbedaan iman dan budaya. Sikap semacam ini membawa kesatuankelompokinidi seluruh dunia yang perlu kembalimenemukandankembalimenumbuhkarasa kesatuan.
Penemuan spiritualitas ini memang berkaitan dengan
lahirnya gerakan Focolare. Dia tidak pernah merencanakan dengan matang untuk
perjalanan hidupnya. Berangkat dari permenungannya perikop doa Yesus sebelum
wafat,”Bapa, ... supaya mereka menjadi satu” Yoh 17: 11-21. Teks yang sulit ini
direnungkannya dari kata per kata lalu mulai masuk ke kehidupan dan memberi
prinsip dasar pada lahirnya gerakan ini dari sabda Injil. Teks ini sungguh
menyentuh pengalaman hidupnya saat ada peperangan yang menewaskan banyak orang,
menggagalkan rencana studinya, dan menggalakan rencana pernikahan. Dengan situasi
hidupnya ini, dia bertanya pada Tuhan “dimana tempat yang paling ideal dan aman
karena tak ada pengeboman dan dimana kita bisa mengabdikan hidup kita”. Baginya,
jawaban yang paling ideal adalah Tuhan.
Peperangan merupakan buah dari kebencian, Tuhan dimanifestasikan dalam diri
kita masing-masing sebagai Cinta. Injil juga mengajarkan bagaimana mewujudkan
Cinta, sebagai contoh “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” Mt 19:19.
Siapakah sesamaku bisa ditemukan pada mereka yang membutuhkan bantuan, makanan
dan perawatan untuk mereka yang sakit. Dia mengagumi Santo Basil yang menjalankan
perintah utama yaitu mencinta Tuhan dan kedua mencintai sesama[1].
“apakah cinta, mengasihi yang lain, sama halnya dengan
cara yang dipahami dalam budaya dan agama-agama kita?”. Chiara mencoba
menjelaskan Cinta hampir ada di semua kitab suci dan disebut “Golden Rule”.
Orang kristen memahaminya “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat
kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” Luk 6:31. Mahabarata pun mengatakan jangan lakukan pada orang lain apa yang
menyakitkan kamu sehingga itu tidak dilakukan padamu. Dan, Mahatma Gandhi
mengatakan dengan amat indah.” Kamu dan aku adalah satu seperasaan. Aku tidak
dapat melukaimu tanpa dengan tanganku sendiri. Semua kutipan ini mengarah pada
kepedulian terhadap sesama. Dia berharap kita mencintai setiap orang tanpa
membedakan antara siapa yang disenang atau tidak disenangi, cantik atau jelek,
muda atau tua, orang Amerika, Afrika, Jepang, Kristen, Muslim, atau Budist. Setiap
orang harus dicintai dengan cara yang sama. Bahkan, cinta yang kuat adalah saat
kita mencintai musuh kita, mendoakan dia, dan membalas tindakannya dengan
pengampunan[2].
Kesatuan adalah kata yang menyimpulkan gerakan hidup kita.
Dia menyadari bahwa kita dipanggil ke Pesta Kristus Raja dimana dia mengutipkan
Mzm 2:8”Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi
milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu”. Dan, dia menghubungkan
dengan terbitnya ensiklik Mystici Corporisoleh
Paus Pius XII[3].
Umat manusia yang menjadi satu dalam tubuh mistik Kristus dimana Kristus Yesus
sebagai kepalanya. Buah permenungan yang sungguh jelas nampak bahwa Tuhan
menginginkan kesatuan. Kita hidup untuk semata-mata menjadi satu bersama
mereka, satu bersama orang lain dan satu bersama segala manusia. Inilah suatu
panggilan yang luar biasa dimana kita terkait pada surga dan membenamkan kita
dalam keluarga umat manusia.
Setiap pagi, dia merenung dan berdoa di depan Sakramen
Mahakudus dengan selalu mengulang kata-kata,”I am nothing, You are everything”.
Setelah berdoa, dia menuliskan hasil permenungannya dan yang sangat
mempengaruhi hidupnya adalah “unity”. Dia mengutipkan salah satu buah
permenungannya ”Jiwaku selalu harus memandang pada satu Bapa yang banyak anak.
Lalu, itu terlihat seperti anak-anak dari Bapa yang sama. Melalui budi dan
hati, kita harus selalu membuat loncatan yang jatuh di kemanusiaan hidup kita
yang sendiri dan membiasakan terbuka pada diri kita sendiri dan pada satu
keluarga manusia dalam satu Bapa: Allah. Yesus, teladan kita menyadarkan kita
pada dua pikiran yang adalah satu: menjadi anak-anak dari satu Bapa dan menjadi
saudara lelaki dan perempuan untuk siapa saja. Sejak hidup berkomunitas harus
disadari penuh oleh setiap pribadi, kita mengalami kesendirian, setelah
mencintai saudara dan sahabat, kita menjadi sadar kesatuan kita dengan Tuhan.
Dialog
Untuk
mewujudkan Spiritualitas kesatuan ini, Chiara telah mengadakan banyak
perjumpaan dengan beberapa pemimpin agama lain. Dia sungguh terkesan dengan
pembicaraan tentang iman yang mengungkapkan hubungan yang unik antara Tuhan dan
manusia. Dia melihat agama (kepercayaan)
mengandung suatu rasa yang sangat kuat akan yang Satu, yang Absolute. Dan, di
atas semua itu segala agama menegaskan tentang toleransi dan cinta[4]. Tentunya,
toleransi dan cinta yang sudah menjadi praksis hidup dan kebiasaan akan sangat
mendukung bagi terciptanya ruang dialog antar umat beragama. Upaya saling
menghormati dan memberi apresiasi merupakan sikap toleransi yang sangat
sederhana. Sedangkan, ada banyak pengalaman kita dimana cinta sungguh nampak
dan menjadi dasar hidup rohani.
Karena
dialog membutuhkan cinta antar umat beragama, cinta itu mengalir dari relasinya
dengan Tuhan. Tuhan mencintai kita pertama kali karena dialah satu-satunya yang
memberikan kita cinta dan dia menumbuhkembangkan itu ketika kita mencarinya.Cinta
Tuhan ini sungguh hadir ketika perang dunia kedua sedang berkecamuk, Gandhi
menegaskan bahwa Tuhan adalah Cinta. Pengalamannya berdialog juga diteguhkan
oleh ungkapan Paus Yohanes Paulus II di India,” Melalui dialog kita mengizinkan Tuhan hadir di tengah-tengah kita;
karena kita membuka dirikita dalam dialog pada orang-orang lain, kita juga
membuka dirikita pada Tuhan. Dan, itu akan membuahkan kesatuan diantara kita
dan dengan Tuhan”.
Dia
mendapat peneguhan baru bahwa dialog bersama umat beragama lain semakin
membuka Gereja Katolik pada keberadaan
di luar dirinya sendiri. St. Thomas menpertegas bahwa Gereja tidak dapat
menganggap bagian dari Katolik, tetapi sejak Yesus Kristus wafat untuk semua
orang. Karena itu, dalam cara tertentu Gereja juga berada di luar dirinya
sendiri. Melalui dialog, dia membuka bahwa dirinya berada di luar dirinya.
Dia
menggunakan cara unik untuk mengembangkan dialog dalam kelompok Focolare yang
dibentuknya. Focolare mengadakan pertemuan untuk saling berbagi pengalaman dari
Word of Life (kutipan ayat-ayat kitab suci). Kegiatan ini dimaksudkan agar
mereka menjaga api cinta Tuhan api yang mengobarkan semangat mereka. Jalan
kesatuan meliputi pekerjaan, studi, doa dan perjuangan sampai pada kekudusan
atau pewartaan hidup kristiani sungguh bermakna dan bernilai sejauh kita bersama
saudara-saudari merasakan kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita, karen itu
norma dari segala norma untuk cara hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar