Perdamaian dan keharmonisan adalah
keniscayaan yang diyakininya akan datang dimana negara-negara sibuk berperang.
Perang telah meluluhlantakkan rumah yang kita cintai dan menewaskan orang-orang
tak bersalah. Itulah situasi yang dialami gadis kecil Chiara Lubich yang lahir
dan dibesarkan di Trente 22 Januari 1920.
Dia diasuh oleh ayah yang berhaluan sosialis dan ibu yang pendoa setia. Ayahnya
dikucilkan karena menolak kelompok fasisme Itali tetapi dia masih bisa
bersekolah hingga menjadi seorang guru. Ungkapan doa yang selalu
didaraskan dan mengiringi hidupnya
adalah “You who are ligt and warmth,
enter me throug my eyes (Kau yang menerangi dan menghangatkan, masuklah
lewat mataku)”. Menginjak usia dewasa, dia memilih untuk tidak menikah. Justru
dia sangat mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk menyuarakan
perdamaian di berbagai negara.
Selama
kariernya, Chiara Lubich mengalami banyak kesempatan untuk berjumpa dengan
orang-orang yang memiliki berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Dia
yang memeluk agama Katolik Roma, sungguh menimba pengalaman iman dari mereka
yang berkeyakinan lain dan juga membagikan refleksi imannya.
Perjumpaan-perjumpaan itulah yang mendorongnya untuk menemukan jalan atau spiritualitas
yang baru. The Spirituality of Unity- Spiritualitas Kesatuan ini yang
nantinya menjadi detak jantung dari Gerakan Focolare yang didirikannya.
Focolare mempunyai kepedulian terhadap perdamaian dan kesejahteraan dunia.
Gerakan Focolare membuka ruang kebebasan bagi siapapun untuk belajar
memperdalam ajaran Kitab Suci dan menginspirasikan umat beragama lain. Kami
mengangkat Chiara Lubich ini untuk mengulas pemahaman mistik Kristiani di abad
XX atau zaman modern.
A.
Spritualitas Kesatuan dan Dialog
Untuk mengawali pemahaman mengenai spritualitas kesatuan, Chiara menggelar realita bahwa Gereja
Katolik ada di antara 300 gereja lainnya dan komunitas menggereja serta di
antara kemajemukan agama bahkan orang-orang yang berkehendak baik dan tidak
langsung percaya Tuhan. Karena itulah, dia memandang ada kesatuan yang
diwujudkan antara individu, kelompok, kota, dan negara yang berusaha
menghilangkan segala diskriminasi dan memimpikan masa depan yang dihadirkan
dalam a united world.Upaya membangun
hubungan yang baik dengan setiap manusia merupakan sebuah karya Tuhan.
Dari kesadaran inilah, melahirkan Spritualitas Kesatuan
yang mengandung roh pewartaan yang up-to-date
dan modern, landasan Injil dan dijiwai oleh semangat kebersamaan (Essential Writings:2006, 3).
Mereka yang sedang mencoba menghayati spitualitas ini hendaknya menjadikan
dirinya sebagai benih yang mewujudkan solidaritas yang lebih besar khususnya
kepada kaum miskin dan lemah untuk dunia yang lebih bersatu. Inilah yang dapat
ditimba sebuah spiritual yaitu cinta ini untuk mendukung berbagai kekuatan yang
siap membimbing siapapun dan dimanapun. Tentunya, spiritualitas ini mempunyai
dimensi komunitas karena dihidupi oleh orang-orang bukan hanya individu
tetapi juga sebagai kelompok-kelompok
kecil dan besar. Yang menjadi inspirasi mendasar adalah prinsip-prinsip
kristiani: menghilangkan sikap acuh tetapi saling meneguhkan dalam perbedaan
iman dan budaya. Sikap semacam ini membawa kesatuankelompokinidi seluruh dunia
yang perlu kembalimenemukandankembalimenumbuhkarasa kesatuan.
Penemuan spiritualitas ini memang berkaitan dengan
lahirnya gerakan Focolare. Dia tidak pernah merencanakan dengan matang untuk
perjalanan hidupnya. Berangkat dari permenungannya perikop doa Yesus sebelum
wafat,”Bapa, ... supaya mereka menjadi satu” Yoh 17: 11-21. Teks yang sulit ini
direnungkannya dari kata per kata lalu mulai masuk ke kehidupan dan memberi
prinsip dasar pada lahirnya gerakan ini dari sabda Injil. Teks ini sungguh
menyentuh pengalaman hidupnya saat ada peperangan yang menewaskan banyak orang,
menggagalkan rencana studinya, dan menggalakan rencana pernikahan. Dengan
situasi hidupnya ini, dia bertanya pada Tuhan “dimana tempat yang paling ideal
dan aman karena tak ada pengeboman dan dimana kita bisa mengabdikan hidup
kita”. Baginya, jawaban yang paling ideal adalah Tuhan. Peperangan merupakan
buah dari kebencian, Tuhan dimanifestasikan dalam diri kita masing-masing
sebagai Cinta. Injil juga mengajarkan bagaimana mewujudkan Cinta, sebagai
contoh “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” Mt 19:19. Siapakah sesamaku
bisa ditemukan pada mereka yang membutuhkan bantuan, makanan dan perawatan
untuk mereka yang sakit. Dia mengagumi Santo Basil yang menjalankan perintah
utama yaitu mencinta Tuhan dan kedua mencintai sesama.
“apakah ‘cinta’, mengasihi yang lain, sama halnya dengan
cara yang dipahami dalam budaya dan agama-agama?”. Chiara mencoba menjelaskan
‘cinta’ hampir ada di semua kitab suci dan disebut “Golden Rule”. Orang kristen memahaminya “Dan sebagaimana kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada
mereka” (Luk 6:31). Mahabarata pun mengatakan
jangan lakukan pada orang lain apa yang menyakitkan kamu sehingga itu
tidak dilakukan padamu. Mahatma Gandhi mengatakan dengan amat indah, “Kamu dan
aku adalah satu seperasaan. Aku tidak dapat melukaimu tanpa dengan tanganku
sendiri”. Semua kutipan ini mengarah pada kepedulian terhadap sesama. Dia
berharap kita mencintai setiap orang tanpa membedakan antara siapa yang
disenang atau tidak disenangi, cantik atau jelek, muda atau tua, orang Amerika,
Afrika, Jepang, Kristen, Muslim, atau Budist. Setiap orang harus dicintai
dengan cara yang sama. Bahkan, cinta yang kuat adalah saat kita mencintai musuh
kita, mendoakan dia, dan membalas tindakannya dengan pengampunan.
Kesatuan adalah kata yang menyimpulkan gerakan hidup
kita. Dia menyadari bahwa kita dipanggil ke Pesta Kristus Raja dimana dia
mengutipkan Mzm 2:8 ”Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan
kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu”. Dan, dia
menghubungkan dengan terbitnya ensiklik Mystici
Corporisoleh Paus Pius XII.
Umat manusia yang menjadi satu dalam tubuh mistik Kristus dimana Kristus Yesus
sebagai kepalanya. Buah permenungan yang sungguh jelas nampak bahwa Tuhan
menginginkan kesatuan. Kita hidup untuk semata-mata menjadi satu bersama
mereka, satu bersama orang lain dan satu bersama segala manusia. Inilah suatu
panggilan yang luar biasa dimana kita terkait pada surga dan membenamkan kita
dalam keluarga umat manusia.
Setiap pagi, dia merenung dan berdoa di depan Sakramen
Mahakudus dengan selalu mengulang kata-kata,”I am nothing, You are everything”.
Setelah berdoa, dia menuliskan hasil permenungannya dan yang sangat
mempengaruhi hidupnya adalah “unity”. Dia mengutipkan salah satu buah
permenungannya ”Jiwaku selalu harus memandang pada satu Bapa yang banyak anak.
Lalu, itu terlihat seperti anak-anak dari Bapa yang sama. Melalui budi dan hati,
kita harus selalu membuat loncatan yang jatuh di kemanusiaan hidup kita yang
sendiri dan membiasakan terbuka pada diri kita sendiri dan pada satu keluarga
manusia dalam satu Bapa: Allah. Yesus, teladan kita menyadarkan kita pada dua
pikiran yang adalah satu: menjadi anak-anak dari satu Bapa dan menjadi saudara
lelaki dan perempuan untuk siapa saja. Ketika kita hidup berkomunitas, harus
disadari penuh oleh setiap pribadi bahwa kita dapat mengalami kesendirian. Setelah
mencintai saudara dan sahabat, kita menjadi sadar kesatuan kita dengan Tuhan.
Untuk
mewujudkan Spiritualitas kesatuan ini, Chiara telah mengadakan banyak
perjumpaan dengan beberapa pemimpin agama lain. Dia sungguh terkesan dengan
pembicaraan tentang iman yang mengungkapkan hubungan yang unik antara Tuhan dan
manusia. Dia melihat agama (kepercayaan)
mengandung suatu rasa yang sangat kuat akan yang Satu, yang Absolute. Dan, di
atas semua itu segala agama menegaskan tentang toleransi dan cinta.
Tentunya, toleransi dan cinta yang sudah menjadi praksis hidup dan kebiasaan
akan sangat mendukung bagi terciptanya ruang dialog antar umat beragama. Upaya
saling menghormati dan memberi apresiasi merupakan sikap toleransi yang sangat
sederhana. Sedangkan, ada banyak pengalaman kita dimana cinta sungguh nampak
dan menjadi dasar hidup rohani.
Karena
dialog membutuhkan cinta antar umat beragama, cinta mengalir dari relasi
manusia dengan Tuhan. Tuhan mencintai kita pertama kali karena dialah
satu-satunya yang memberikan kita cinta dan dia menumbuhkembangkan itu ketika
kita mencarinya. Cinta Tuhan ini sungguh hadir ketika perang dunia kedua sedang
berkecamuk, Gandhi menegaskan bahwa Tuhan adalah Cinta. Pengalamannya berdialog
juga diteguhkan oleh ungkapan Paus Yohanes Paulus II di India,” Melalui dialog kita mengizinkan Tuhan
hadir di tengah-tengah kita; karena kita membuka dirikita dalam dialog pada
orang-orang lain, kita juga membuka dirikita pada Tuhan. Dan, itu akan
membuahkan kesatuan diantara kita dan dengan Tuhan”. Dia mendapat peneguhan
baru bahwa dialog bersama umat beragama lain semakin membuka Gereja Katolik pada keberadaan di luar
dirinya sendiri. St. Thomas menpertegas bahwa Gereja tidak dapat menganggap
bagian dari Katolik, tetapi sejak Yesus Kristus wafat untuk semua orang. Karena
itu, dalam cara tertentu Gereja juga berada di luar dirinya sendiri. Melalui
dialog, dia mau membuka bahwa Gereja berada di luar dirinya.
Dia
menggunakan cara unik untuk mengembangkan dialog dalam kelompok Focolare yang
dibentuknya. Focolare mengadakan pertemuan untuk saling berbagi pengalaman dari
Word of Life (kutipan ayat-ayat kitab
suci). Kegiatan ini dimaksudkan agar mereka menjaga api cinta Tuhan yang
mengobarkan semangat mereka. Mereka dapat menyatu dari latar belakang
pekerjaan, studi, doa dan perjuangan sampai pada tingkat kekudusan atau
pewartaan hidup kristiani yang berbeda. Dengan mengupayakan dialog dalam
keberagam ini, dialog sungguh bermakna
dan bernilai sejauh kita bersama merasakan kehadiran Tuhan di tengah-tengah
kita, karena Dialah sang norma dari segala norma untuk cara hidup ini.
B.
Memainkan pisau
Spinoza
Spiritualitas kesatuan yang
ditawarkan oleh C. Lubich telah menginspriasi banyak orang untuk membangun
persaudaraan. Mereka yang disatukan dari beragam latar belakang sosial didorong
oleh tekad untuk menciptakan perdamaian di dunia. Dia mencoba menyebarkan
dialog dengan beberapa tokoh agama dan membangun kelompok Focolare yang
bernuansa pluralis. Dari berbagai fenomena ini, kami ingin mengkajinya dari
unsur-unsur pokok dalam filsafat manusia dan filsafat ketuhanan. Kami
menggunakan pisau bedah dari Spinoza yang terkenal dengan kebebasan
berpikirnya.
B.1. Ketuhanan: Hubungan Substansi
Spinoza
mengembangkan konsep substansi yang berbeda dengan pandangan Descartes. Dia
berpendapat bahwa ada satu dan hanya satu substansi itu adalah Allah. Substansi
ini bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesusatu yang
tampaknya individual. Dia mendefinisikannya sebagai sesuatu yang ada pada
dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.
Dia juga merumuskan konsep attribute dan
modus. Sesuatu yang ditangkap akal
budi sebagai hakikat substansi adalah attribute
sedangkan modus adalah ‘hal-hal yang
berubah-ubah pada substansi.
Gagasannya
tentang attribute juga dikembangkan
dengan keluasan dan pikiran. Keluasan bukanlah substansi seperti dikira
Descartes, melainkan sebuah atribute. Keluasaan adalah attribute Allah yang
adalah substansi yang tak terhingga. Pikiran dipahami sebagai attribute dari substansi tunggal yaitu
Allah. Dari gagasannya ini, munculah ungkapan yang terkenal darinya yakni Deus sive Natura (Allah atau alam). Spinoza
memamahami Allah dan Alam adalah kenyataan tunggal. Ketika kita melihat dunia
dari attribute pikiran, kita
menyebutnya Allah dan saat melihat dunia dari attribute keluasan, kita menyebutnya alam. Apa yang ada di alam
baik mahkluk hidup dan benda mati tak lain adalah Allah yang menampakkan diri.
Nampaknya, Spinoza juga dipengaruhi oleh panteisme untuk memahami Allah yang
tak terhingga itu.
Kita
dapat memakai konsep substansi tunggal untuk memahami spiritualitas kesatuan. Ada
banyak penafsiran dan pandangan dari agama dan budaya untuk mengungkapkan jati
diri Allah. Paham monoteisme memandang bahwa Allah itu satu dan tunggal dimana
Islam dan Kristen menganut monoteisme. Paham yang mengakui bahwa Allah itu
lebih dari satu disebut politeisme, dan realita Allah nampak dari mereka yang
menyembah dewa-dewi. Sementara itu, mereka yang meyakini bahwa Allah ada dalam
segala hal, masuk dalam paham panteisme.
Konsep
attribute yang dikembangkan Spinoza
menegaskan bahwa Allah adalah substansi tunggal. Dengan menggunakan dua macam attribute
(keluasan dan pikiran), kami mencoba menelaah spiritualitas kesatuan. Karena
keluasaan dan pikiran hanyalah attribute, agama ialah satu substansi dengan
kedua attribute itu. Dengan attribute pikiran, apa yang kita pahami sebagai agama
boleh disebut Allah. Kita juga bisa memahami Allah dari attribute keluasan dan kita menyebutnya spiritualitas kesatuan.
Sebelumnya kita telah melihat ada banyak agama yang menerapkan ajaran-ajarannya
dengan berpijak pada pemahaman Allah: monoteisme, politeisme, dan panteisme. Perubahan
dari substansi yang diistilahkan Spinoza yakni modus, menempatkan berbagai paham Allah ini sebagai modus dari
substansi tunggal.
B.2. Pandangan tentang Manusia
Spinoza
yang berdarah orang Yahudi merenungkan dan mencari konsep manusia dari Kitab
Suci. Untuk mendapat kebenaran absolut, orang Kristen dan Yahudi akan merujuk
pada apa yang dikatakan oleh Kitab suci. Dia ingin membuktikan pernyataan Kitab
Suci yang menganggap bahwa orang Yahudi adalah bangsa pilihan Yahwe. Konsep
keselamatan Allah yang dipahami Kitab Suci sangat terbatas karena terlaksana
hanya satu bangsa dimana ada bangsa-bangsa lainnya yang tidak menyembah Yahwe.
Baginya tak ada bangsa yang menjadi anak emas Allah, tak ada agama yang
memonopoli kebenaran, dan tak ada individu yang tak bisa mengetahui Allah.
Spinoza
sungguh mengkritik keras otoritas bangsa Yahudi (modern) dan agama Kristiani
yang telah mendaku sebagai umat pilihan Allah. Dia telah menemukan pemikiran
yang tidak hanya teosentris tapi anthroposentris yang humanis. Manusia yang
telah dipilih Allah tidak hanya dilihat dari bangsa atau agama tertentu, tetapi
dia mengajak kita untuk menemukan kemanusiaan universal.
Manusia
adalah pribadi yang membawa nilai keunikan (otonom) sekaligus nilai universal
(ada dan hidup dalam kebersamaan dengan pribadi-pribadi lain). Keunikan yang
ada dalam setiap pribadi tiada duanya dan hanya berlangsung sekali yaitu
dirinya sendiri dalam sejarah manusia. Namun, tidak ada pribadi yang hidup dari
dan untuk dirinya sendiri. Setiap pribadi mewarisi dan mewariskan nilai-nilai
kemanusiaan yang diyakini dan dihidupi oleh dirinya sendiri bersama masyarakat
dimana dia hidup. Inilah martabat manusia yang bersifat unik dan universal.
Semua nilai kemanusiaan yang unik dan universal itu diperjuangkan demi mencapai
suatu tujuan yaitu kebahagiaan.
C.
Gereja yang satu dan
berdiaspora
Pandangan Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan
prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja ialah kesatuan Allah yang Tunggal
dalam tiga Pribadi, Bapa, Putra, dan Roh Kudus”.
Ciri kesatuan Gereja yang mengandung kesatuan illahi berusaha diwujudkan secara
insani. Untuk menemukan misteri kesatuan Allah di dalam Gereja, bapa KV II
mengajarkannya dalam dokumen Lumen
Gentium (LG). Pemahaman Gereja yang satu mau menunjukan pertama-tama
dimensi sakramental karena Gereja dalam Kristus adalah tanda dan sarana
persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (LG1).
Gereja telah menjadi wadah umat beriman yang percaya akan
Kristus dan ikut ambil bagian dalam keselamatan yang dianugerahkan kepada
seluruh umat Allah. Gereja dibangun atas dasar inisiatif Allah yang menyejarah
memanggil untuk menghimpun mereka yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada
Yesus, pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian (bdk. Art. 2
dan 9). Gereja hendak mewujudkan sakramen keselamatan yang sungguh berasal dari
Kristus yang diwartakan dan ditanggapi oleh Gereja. Karena itu, Gereja bisa
dipandang sebagai utusan Kristus yang meneruskan karya pewartaan-Nya dan
sekumpulan orang beriman yang menanggapi karya pewartaan-Nya. Gereja yang
merayakan sakramen Ekaristi dilambangkan dan dilaksanakan kesatuan umat beriman
dengan Kristus-kita berasal daripada-Nya, hidup karena-Nya, menuju kepada-Nya
(LG 3).
Dari penjelasan di atas, kiranya Gereja sebagai
Persekutuan umat beriman diikat atau disatukan karena iman. Yang terjadi adalah
banyak cara pengungkapan dan perwujudan iman yang beraneka ragam dengan bentuk
dan wujud tindakan tertentu. Namun, kesatuan Gereja dimaksudkan untuk membangun
kesadaran akan kesatuan iman karena rahmat Injil bukan kesatuan lahiriah yang
kadang tidak menyentuh inti iman. Kesatuan lahiriah akan menghasilkan kesatuan
iman dalam persekutuan yang saling meneguhkan dan melengkapi dalam penghayatan
iman.
Umat beriman yang hidup pada zaman dan situasi tertentu
boleh mengungkapkan iman yang liturgis dan katekis maupun dalam perwujudan
persekutuan dalam organisasi ataupun dalam penampilan dalam masyarakat luas.
Kesatuan umat beriman berada dalam kesatuan imannya bersama Kristus dengan
diangkatnya Santo Petrus menjadi ketua para rasul lainnya. Dia menetapkan asas
dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan (LG 18).
Paus juga dibantu oleh para uskup yang menjadi asas dan dasar yang kelihatan
dari kesatuan dalam Gerejanya sendiri (LG 23).
Gagasan
pokok KV II memandang relasi imam dan kaum awam dalam Gereja sebagai communio (paguyuban) umat Allah. Di
situlah Gereja katolik Indonesia menggemakan semangat communio itu dengan mendorong partisipasi kaum awam dalam
persekutuan, pelayanan, pewartaan, peribadatan, dan kesaksian hidup. Gereja
memberi kesempatan bagai kaum awam untuk menyumbangkan kharisma-kharismanya
yang dianugerahkan dan dipersembahkan dalam Gereja. Kharisma kaum awam
diwujudkan dengan melaksanakan tugas imami, kenabian, dan rajawi Kristus.
Tentunya, imam dan kaum awam menghayati tugas ini sesuai dengan situasi dan
kedudukan masing-masing dalam rangka mewujudkan iman, harapan, dan kasih Kristus
yang melindungi dan membawa pembebasan.
Terminologi ‘Gereja Diaspora’ mengungkap gambaran kondisi
umat Katolik di Indonesia dengan pelbagai latar belakang sosial, politik, dan
ekonomi yang berbeda. Dulu umat Katolik menampilkan homogenitas profesi dalam
sebuah paroki sehingga upaya mengkoordinasi umat untuk berkumpul tidak
mengalami kesulitan. Namun, situasi sungguh berubah karena paroki menjadi wadah
umat katolik dengan beragam profesi, penghayatan nilai hidup, dan mobilitas
yang relatif tinggi. Karena umat katolik sebagai minoritas hidup tersebar
tetapi mereka tetap membangun komunitas seperti wilayah dan kring, inilah
realita yang menjadi medan perjuangan Gereja Diaspora.
KV II
memaknai Gereja tidak hanya sebatas organisasi tetapi berupa sekumpulan
organisme yang hidup dan saling terkait. Gagasan ‘Gereja Diaspora’ mau
menampilkan pola pelayanan imam dan kaum awam sebagai organisme yang saling
menumbuhkembangkan iman dalam kehidupan beragama dan bernegara. Relasi imam dan
awam tidak mutlak mencerminkan Gereja piramida atau hierarkis dengan menentukan
batasan kewenangan mereka dalam fungsinya. Model pelayanan imam dan kaum awam
Gereja piramida bisa kita amati dalam dewan paroki. Namun, persoalan yang
seringkali terjadi bahwa pastor dan
dewan paroki kurang dapat menyentuh atau belum bertindak proaktif terhadap
kesulitan dan keprihatinan umat.
Ecclesia
semper reformanda, ungkapan ini mendorong
Gereja untuk senantiasa berkembang dan berbenah. Gereja perlu menyikapi arus
perubahan zaman dengan membaca tanda-tanda zaman (see), merefleksikan situasi
ini dengan kacamata iman dan moral kristiani (judge), dan berusaha mencari
peluang-peluang pastoral (act). Begitu juga, Gereja teritorial yang mampu
berdiri dan bertahan lama karena imam dan awam saling berpartisipasi. Perkembangan
ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat mampu menyumbangkan manfaatnya bagi
kehidupan manusia dan dunia. Kaum awam telah menggunakan kesempatan ini dengan
mempelajari pengetahuan yang aktual seperti halnya tekhnologi komunikasi,
psikologi, dan ekonomi. Bidang-bidang itu tidak berkaitan langsung dengan
pelayanan rohani di Gereja. Namun, kemampuan umat dalam menggunakan
pengetahuannya bisa dipadukan secara kreatif. Misalnya, beberapa paroki sudah
membuat website paroki yang bisanya
dikelola oleh seksi KOMSOS. Di bidang ekonomi, mereka membentuk koperasi yang
lazim disebut Credit Union (CU).
Mereka hendak mewujudkan kesejahteraan jasmani dalm hidup rumah tangga karena
menyadari akan kebersamaan hidup dan berbagi rahmat dan berkah untuk saudara
mereka yang membutuhkan bantuan.
D. Meneropong
wajah dunia kita
Kita bisa memakai spiritualitas kesatuan ini
untuk meneropong wajah masyarakat dunia. Pelbagai bangsa, suku dan budaya menggambarkan
wajah dunia dan ikut menghiasi pesona kehidupan alam semesta yang diciptakan
oleh Sang Pencipta agung. Waktu yang terus berjalan menampakkan bermacam-macam ekspresi
wajah dunia. Kiranya, spiritualitas kesatuan dapat kita maknai sebagai teropong
kehidupan. Terjadinya perang, bencana alam, pertikaian, wabah penyakit adalah
kejadian-kejadian yang menggoreskan warna-warna marah, benci, dan duka pada
mereka yang mengalaminya. Chiara memandang penderitaan dan permusuhan yang
dialami manusia dengan ‘teropong’ spiritualitas kesatuan. Kini, ‘teropong’
spiritualitas kesatuan bisa digunakan siapapun dari latar belakang apapun.
Mereka akan menemukan indahnya kedamaian dan cinta yang terlihat di balik lensa
‘teropong’ itu. Dia meyakini bahwa spiritualitas kesatuan dapat mendorong
setiap manusia, agama, dan bangsa untuk membangun dan menggambar wajah dunia
yang penuh cinta dan damai.
Melihat dunia melalui ‘teropong’ itu, bisa
diibaratkan dengan usahanya untuk berdialog dengan umat beragama lain. Perbedaan
agama dan budaya bukanlah hambatan untuk mereka yang mengharapkan adanya
kedamaian di dunia ini. Individu yang sadar bahwa Tuhan yang mahaesa menaungi
seluruh suku, agama, golongan sosial mewujudkan dirinya sebagai manusia beriman
“homo religius”. Berkembangnya rasa
religiositas diperluas ketika orang mau membuka dialog iman dan dialog
kemanusiaan bersama siapa saja. Setiap orang diajak untuk mencari makna dialog
dalam relasinya antar manusia sekaligus mereka berkomunikasi batin bersama Yang
Esa. Ketika dialog kehidupan sudah berjalan dengan lancar maupun banyak
tantangan dan hambatan, kita semakin mengimani agama dan punya harapan besar
untuk selalu mengasihi sesama dan Tuhan. Kita bisa membagikan pengalaman
menghayati agama dengan teman agama lain asalkan saling memaklumi perbedaan.
Motivasi yang dituju dari dialog ini adalah kebersamaan bukan perbedaan,
artinya kita menggali kesamaan nilai hayat dan bersama-sama memperjuangkannya.
Daftar
Pustaka
1.
Budi
Hardiman F. Filsafat Modern, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
3.
Lubich
C. Essential Writings, New City
Press, London, 2007.
4.
Konferensi
Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta:Kanisius dan Jakarta:Obor, 1996.
Artikel:
1. Lubich C., “An Experience of Dialogue among the
Religions in India in the light of Novo Millenio Inuente”, Pro Dialogo, Buletin
107,2001/2, 238.
Data Internet