Senin, 19 September 2011

Spritualitas Imam Diosesan: Rekan Uskup dan Murid Yesus

Seminari adalah tempat perutusanku belajar dan aku seminaris Keuskupan Purwokerto yang ditipkan di KAS. Aku menyadari dua keuskupan yang kualami sekarang ini punya fokus pastoral yang berbeda. KAS sedang gencar menyuarakan Gereja yang signifikan dan relevan dan mengembangkan Adorasi Ekaristi untuk memperdalam iman akan Allah yang mencintai. Jujur saja dua hal yang sedang diperjuangkan KAS dengan jati diri Gereja dan gerakan Adorasi itu jarang disinggung di keuskupanku. Aku percaya para uskup punya gagasan refleksif untuk menyuburkan iman umat. Aku pun berupaya memahami dan menghidupi cita-cita Uskup KAS ini. Gereja signifikan dan relevan dan gerakan adorasi merupakan harapan yang ingin dicapai untuk membangun Kerajaan Allah di dunia.
Berangkat dari eksistensi jati diriku (calon Imam K. Pwkt) dan medan hidupku di Seminari Agung St. Paulus, aku hendak merefleksikan spiritualitas Imam Diosesan (SID). Informasi akan arti dan makna SID pernah kudapat sewaktu Tahun Rohani. Rm. Parjono mengutarakan imam diosesan menghidupi spiritualitas dari kharisma uskupnya. Spritualitas ini terwujud dalam gerak visi-misi keuskupan dari buah permenungan Uskup. Para imam dan umat di keuskupan itu memperjuangkan dan menggulirkan dalam karya pastoral mereka.
Saat ini, aku mencoba menghidupkan api spiritualitas dari Uskup KAS dan K. Pwkt. Dua gembala Gereja ini bermaksud membimbing domba-dombanya ke sumber air kehidupan. Semboyan “Fiat Voluntas Tua” dan “Duc in Altum” sungguh merasuk dalam pengalaman formatioku dan membantuku melihat karya Allah dalam diri Uskup dan Gereja. Aku kagum dengan para uskup yang mampu membangun relasi yang mesra dengan Allah. Hidup rohani yang mendalam sungguh dicapai dengan neng, ning, nung, mirip syahdunya bunyi gamelan yang ditabuh. Neng-meneng, ning-wening, nung-dunung, pesan dari Mgr Narka ketika merasakan kehadiran Allah dalam doanya. Ketika beradorasi, aku pun belajar untuk meneng, wening, dan dunung. Dia memerintahkan bertolaklah ke tempat yang lebih dalam, niscaya yang kucari akan ditemukan. Perintah-Mu ini mau kulaksanakan dan dengan mantap aku berseru “Fiat Voluntas Tua”.
Pernak-pernik hidup panggilan calon imam seperti tugas, kuliah, berkomunitas, pastoral akan diterangi dan disemangati oleh api spiritualitas uskup yang dihembusi oleh Roh kudus.

Salib Menyatu dalam Head, Heart, Hand

Hidup manusia tak bisa dilepaskan dari derita dan bahagia. Penderitaan Yesus dalam salib ini menjadi realitas seluruh derita manusia. Sampai saat ini, aku masih merasakan salib kristus juga dipikul oleh tiap manusia. Awalnya, yang terlintas ketika mendengar kata ‘salib’ adalah penderitaan. Memikul salib itu lebih bernilai karena menjadi jalan bagaimana kita mengasihi dan mewujudkan harapan. Maka, inti dari salib Kristus tidak lain adalah solidaritas Allah untuk merasakan penderitaan manusia yang hina dan penuh dosa. Solidaritas Allah dimaksudkan untuk menyelamatkan manusia.
Refleksiku di atas merupakan hasil proses belajar soteriologi. Lalu, aku tergugah ketika memaknai salib ini sungguh menyatu dalam Head (pikiran), Heart (hati), Hand (Fisik, jasmani). Tanda salib menunjuk pada tiga titik yang merangkai segala kesulitan dan penderitaan. Head-pikiran kualami ketika mengerjakan paper-paper dan persiapan ujian. Heart-hati, rasa sungguh diaduk-aduk ketika aku mencintai teman perempuan tanpa harus mengungkapkannya. Hand-jasmani, saat aku merasa sakit atau capek dengan kepanitiaan ini-itu. Inilah kenyataan-kenyataan pahit dan getirnya salib hidupku yang dipikul dengan pikiran, hati, dan jasmani.
Dan, Yesus mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersemangat ketika memikul salib. Aku berulangkali mencoba meletakan salib yang membebani hidupku ini, rasanya salib ini selalu datang dengan wujud yang berbeda. Aku hanya bisa meminta bantuan Tuhan untuk memberi energi kasih-Nya sehingga aku bisa menangkap apa yang dikehendaki dari segala penderitaanku ini. Walau salib membuatku menderita dengan pikiran, hati, dan jasmaniku, aku ingin terus melangkahkan jejakku bersama Yesus yang mengasihiku.

Ketaatan, di antara Harapan dan Komitmen

Suatu kali dalam kesempatan bimbingan rohani, aku menceritakan kondisi panggilanku yang sedang disolasi. Aku merasa lelah menghadapi tugas kuliah dan asrama yang datang silih berganti. Konsentrasi pikiranku mengarah pada tuntasnya tugas-tugas itu. Aku sering menabrak waktu hening untuk gladi rohani. Ketika berdoa, aku pun merasa kering dan munculah keluh kesah dan penatku pada kondisiku. Dalam disolasi yang disebabkan oleh keringnya doa dan energi untuk menyelesaikan tugas itu, aku menyadari bahwa hidupku sedang tak punya arah alias disorientasi.
Setelah aku bersharing tentang hidup doa dan studiku yang ‘ngalor-ngidul’, aku diajak untuk memulai membuat jadwal kegiatan rohani. Nampaknya, usulan atau tawaran ini harus dipenuhi. Sebenarnya aku sulit untuk menerimanya. Pertama, aku tidak terbiasa dengan jadwal mungkin karena pembawaan diriku termasuk orang type perceiving (test MBTI). Sudah cukup bagiku untuk menjalankan doa dan meditasi oleh dorongan batin tanpa perlu dijadwal. Namun, pertimbanganku kedua adalah kenapa hidupku sekarang justru menuju disorientasi, padahal aku sudah berjuang memenuhi tugas di sini. Muncul penolakan batin, aku dianggap seperti anak kecil yang masih manut jadwal sekolah.
Yah, dari situlah aku mencoba mulai mendata gladi rohani (rosario, brevir, examen, refleksi, lectio divina). Semua kegiatan rohani itu coba kuusahakan dengan bantuan jadwal rohani mingguan. Aku mengerti bahwa pembimbingku bermaksud baik untuk pengembangan integritas panggilanku. Membuat dan melaksanakan jadwal rohani itu bukanlah semata-mata aku mengikuti tawaran pembimbing. Aku makin menyadari bahwa hidupku lebih terarah pada jati diriku sebagai calon imam yang berdoa dan berkarya.
Pengalamanku dalam menghidupi nasehat injil “ketaatan” merupakan kesadaran dan tekadku untuk menjadi murid Kristus Yesus. Dia mengajarkan siapa yang mau mengikut aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari dan mengikut aku (Luk 9:23). Aku ingin mengikuti Yesus karena itu aku merasakan penyangkalan diri yaitu diriku yang tidak terbiasa dengan jadwal. Kemauanku untuk menjalankan gladi rohani setiap hari merupakan perjuanganku untuk memikul salib dalam doa dan tugas studi-asrama.
Kiranya, aku terlalu hina dan tak pantas untuk mengupas makna ketaatan dalam panggilan hidup karena aku kadang masih lalai menjalankan jadwal itu. Aku hanya punya harapan bahwa semakin aku berkomitmen dengan waktu rohani di seminari, aku semakin mempertegas orientasi panggilan imamatku sebagai murid Yesus. (Greg. Agung Bramanthya P./ II)

Kamis, 08 September 2011

Balas Cinta bagi Sesama

Tiada yang sempurna di dunia.
Semua akan musnah tak berharga.
Akankah ulang lagi sgala nikmat dunia
Tlah kucari, namun tak kudapati.

Terasa amat berat tinggalkan semua.
Segala kumiliki di dunia
Tetapi tak kurasa bahagia di jiwa
Aku rindu kau di sampingku.

Reff: Sejak Engkau sertaku, ku mengenal cinta
Ku rasa bahagia di jiwa di dalam kasih-Mu
Ku siap Tuhanku jadi pelayan-Mu
kan kubalas cinta bagi sesama

Kudengar bisikan-Mu sembuhkan luka
namamu kan kuukir dalam kalbu
jadikan ku alat pewarta sukacita
ini aku utuslah aku