Senin, 23 Mei 2016

KOMUNI PERTAMA : MERAYAKAN RELASI ILLAHI DAN MENDIDIK HATI


Pengantar
Dewasa ini ada banyak anak-anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak-anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, “Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ”
Ungkapan ini adalah suatu ironi, namun menyiratkan keputusasaan orang tua atau penyesalan bahwa segala sesuatunya sudah terlanjur. Kita harus mengusahakan sedapat mungkin agar jangan sampai anak-anak kita bertumbuh menjadi semaunya dan ‘tak terkendali’, lalu kita hanya dapat menyesalinya. Selalu ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah hal- hal yang buruk terjadi pada anak- anak kita, dan kita dapat memulainya dengan langkah sederhana: yaitu dengan setia menanamkan iman kepada anak- anak kita sejak mereka masih kecil. Harapannya ialah, setelah mereka tumbuh remaja dan dewasa, mereka dapat menjadi pribadi- pribadi yang utuh, beriman dan bertanggungjawab.
A.    Merayakan Relasi Illahi
Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih sorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. (Yoh 15:11-12)
Keluarga dikenal dan dipahami sebagai ecclesia domestica (Gereja Rumah tangga) karena dipersatukan oleh Allah dalam ikatan cintakasih yang abadi antar anggota keluarga. Setiap hari Minggu umat katolik yang merayakan ekaristi melestarikan tradisi iman yang diwariskan sejak jaman Gereja perdana. Hari Minggu yang tadinya hanya dimengerti sebagai 'hari Sang Surya' yakni nama Romawi bagi hari itu, telah direfleksikan bahwa umat mengarahkan perayaan hari kepada Kristus. Umat yang berkumpul pada hari itu memaknai secara baru bahwa Kristus itu terang dunia dan "Sang Surya" bagi umat manusia. Umat Kristiani mengenang keselamatan yang dianugerahkan kepada mereka dalam baptis dan yang membaharui mereka dalam Kristus. Persis, bahwa perintah Allah untuk menguduskan hari Tuhan terwujud ketika kita merayakan Ekaristi minimal setiap hari Minggu.
Apa itu Perayaan Ekaristi ? PE adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis. Bagi setiap orang beriman dimanapun mereka berada, perayaan Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristen. Kita semua ingin mengenangkan karya dan misteri penebusan Allah melalui Ekaristi. Perayaan Ekaristi menghadirkan puncak karya Allah yang menguduskan dunia, dan puncak karya manusia yang memuliakan Bapa, lewat Kristus, Putera Allah, dalam Roh Kudus. Seluruh perayaan hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga umat yang hadir dapat berpartisipasi secara sadar, aktif dan penuh yakni berpartisipasi jiwa dan raganya dan dikobarkan dengan iman, harapan, dan kasih.
Keluarga merupakan sekolah kehidupan bagi anak-anaknya sehingga orangtua bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai orang beriman. Hari Minggu umumnya digunakan untuk weekend dengan mengadakan aktivitas budaya, politik atau olahraga. Umat diminta bijaksana dalam menggunakan hari Minggu sebagai kesempatan menguduskan Hari Tuhan tidak hanya dimengerti sebagai waktu beristirahat dan berlibur semata-mata. Karena itu, orangtua wajib mengajari anak-anak mereka untuk ikut serta menghadiri Misa hari Minggu. Mereka (orangtua dibantu para katekes) perlu memberikan pemahaman yang mendasari kewajiban akan ekaristi. Disarankan pula, perayaan Misa bagi anak-anak dengan mengikuti norma-norma liturgi yang tersedia. Beberapa anak yang sudah dapat menerima komuni sebaiknya perlu dilibatkan pula pada tugas-tugas liturgi seperti Misdinar (pelayan altar), lektor, dan petugas pembawa persembahan. Kesempatan bertugas liturgi akan memupuk iman mereka untuk datang mensyukuri kebaikan Tuhan melalui pelayanan.
Keluarga merupakan sekolah kehidupan bagi anak-anaknya sehingga orangtua bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai orang beriman. Upaya menguduskan keluarga tidak hanya saat Ekaristi saja, tetapi setiap keluarga hendaknya mengembangkan kebiasaan doa bersama di rumah. Paus Fransiskus menyampaikan pesan pastoral kepada segenap keluarga Kristiani di hari Komunikasi Sedunia ke-49. Beliau mengajak para orangtua untuk mengerti bahwa doa adalah bentuk komunikasi yang paling dasar. Ketika para orangtua menidurkan anak-anak mereka yang baru lahir, mereka seringkali mempercayakan anak-anak itu kepada Tuhan seraya memohon agar Ia menjaga mereka. Ketika anak-anak itu bertambah usia, para orangtua membantu mereka mendaraskan doa-doa sederhana, seraya mengenangkan kasih sayang semua orang dan semua orang yang membutuhkan pertolongan Tuhan.
B.      Mendidik Hati
“Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti... Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Matius  7:9;11
Setiap manusia akan melalui proses hidupnya yang ditandai dan diawali dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Anak yang baru saja dilahirkan sangat membutuhkan bantuan lebih-lebih dari orangtuanya agar dapat menumbuhkembangkan kemampuan jasmani dan rohani. Di samping itu, kasih sayang orangtua adalah sesuatu yang mutlak perlu didapat dan dirasakan oleh setiap anak. Proses tumbuh dan berkembang anak akan berjalan baik jika anak sungguh merasakan perhatian, kesabaran dan kebijaksanaan dari orangtua sebagai konkretisasi kasih sayang tersebut. Relasi masing-masing orangtua dan anak sangat mungkin berbeda intensitas dan frekwensi perjumpaan mereka. Namun, itu bukan berarti orangtua boleh melalaikan bahkan mungkin menyepelekan kehadiran mereka dalam kehidupan anak-anaknya. Di tengah kesibukan pekerjaan dan aktivitas, Gereja mengingatkan bahwa keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan.
Dalam suratnya pada para orangtua, Paus Yohanes Paulus II menekankan dua poin, yakni: (1) bahwa manusia dipanggil untuk hidup dalam kebenaran dan kasih, (2) bahwa manusia dipanggil untuk menemukan pemenuhan melalui pemberian diri. Selanjutnya, Paus berharap para orangtua melatihkan nilai-nilai hakiki hidup manusia, .. anak-anak harus menjadi besar dan dewasa dengan sikap bebas yang tepat terhadap barang-barang jasmani, menghormati martabat pribadi tiap-tiap individu, kepedulian yang tulus ikhlas teristimewa pada orang-orang yang paling miskin... Pemberian diri yang menjiwai cinta kasih suami dan istri satu sama lain,... persatuan dan bagi rasa yang menjadi bagian hidup sehari-hari dalam rumah pada saat gembira dan pada saat sukar adalah pedagogi.
Di tengah perkembangan zaman yang penuh dengan pengaruh negatif, empat hal penting yang menjadi inti pola pengasuhan positif yaitu bagaimana anak memiliki kehidupan yang sehat, cerdas, dan memiliki mimpi-mimpi besar, baik hati dan perhatian pada lingkungan serta memiliki kesantunan dan budi pekerti, sangat efektif ditanamkan sampai anak-anak menjelang pra remaja (12-13 tahun). Setiap anak mendambakan untuk memiliki hati yang baik dan pribadi menarik. Rintangan dari dalam diri manusia berupa sifat-sifat jelek. Ada tujuh sifat jelek yang tinggal di dalam hati dan sering mau menghancurkan hati manusia, yakni hati yang jahat, kesombongan, tamak, iri, rakus, malas, dan marah. 
Ungkapan hati Paus Fransiskus ingin menggugah hati para orangtua “Saya membayangkan tentang kekuatan iman yang teguh dari para ibu yang mencurahkan perhatiannya anak-anaknya yang sakit yang walaupun mungkin tidak sangat akrab dengan rumusan iman, namun setia menekuni doa rosario; atau pada mereka semua yang harapannyatercurah pada sebuah lilin bernyala di rumahnya yang sederhana dengan sebuah doa permohonan pertolongan dari Maria atau pada tatapan wajah penuh kelembutan kasih yang terarah pada Kristus yang tersalib. (Evangelii Gaudium- EG art. 125). Orangtua menidurkan anaknya yang baru lahir seraya mendoakan dan mempercayakannya pada Tuhan agar menjaga anak-anaknya. Anak-2 : mengajarkan untuk mendaraskan doa-doa sederhana seraya mengenangkan kebaikan sanak saudara, orang-orang yang sakit dan membutuhkan pertolongan Tuhan. Belajar untuk mendengarkan orang lain, berbicara dengan hormat, mengungkapkan pandangannya tanpa menolak saran orang lain. Belajar bagaimana memahami ekspresi orang lain, saling berbagi dan saling mendukung, Menerima adanya kekurangan dan keterbatasan kita. Belajar untuk mengampuni.










Senin, 22 Desember 2014

HARAPAN di SEHELAI KAIN BATIK




Ini hari kelima yang kami lalui, bekerja sebagai buruh batik. Sebuah perusahaan batik “rumah tangga” menjadi sekolah kehidupan kami selama seminggu. Kesempatan ini bukanlah iseng-iseng atau sekedar memenuhi tuntutan tugas dari fakultas kami. Saat itu, saya hanya berniat untuk mendengarkan pengalaman buruh batik yang ada di situ dan belajar memaknainya. Aku tersentak ketika seorang buruh yang aku ajak ngobrol mengungkapkan “yang membuat batik itu lebih bekerja keras dibanding yang menjual batik di toko-toko”. Aku enggan berkomentar dan hanya menganggukkan kepala.
Mungkin buruh batik itu sudah mulai jenuh dengan pekerjaannya dan kesal karena bahan makanan pokok sedang mahal-mahalnya tetapi upah mereka tidak naik. Mungkin kerja sebagai penjual batik di toko lebih nyaman dan sejuk karena ruangannya ber-AC. Ruang kerja kami sungguh berkesan karena atap dan dindingnya terbuat dari seng. “Hiihh, panasnya minta ampun, sudah kayak di neraka saja”. Aku tak ingin larut dengan suasana tempat kerja yang tidak mengenakkan ini. Aku mencoba menghibur diri dengan rasa bangga bahwa kain batik ini akan dijahit dan menjadi pakaian yang berguna bagi orang lain. 
 Pemerintah selalu mengkampanyekan batik sebagai warisan budaya asli Indonesia. Mungkin itulah ekspresi kebanggaan mereka. Namun, apakah pemerintah tahu kehidupan macam apa yang dialami oleh para buruh? Apakah mereka mau menyejahterakan hidup para buruh? Banyak orang telah meraup keuntungan berlipat dari bisnis batik. Sementara, para buruh batik hanya seperti semut-semut yang mengerubung remah-remah gula yang tercecer. Seandainya aku nanti menjadi buruh batik, apakah aku akan protes pada para pengusaha dan pemerintah yang menjajah orang sebangsanya? Yang jelas, batik tetap akan menjadi kebanggaan rakyat di negri Indonesia.
Walaupun banyak kisah perjuangan dan penderitaan yang terekam dalam kehidupan para buruh, aku berterima kasih pada mereka yang masih mau mengenakan baju batik. Pakaianku adalah identitasku. Kerja-kerasku adalah tanggung jawabku. Harapanmu adalah perjuanganku.

Selasa, 18 November 2014

INDAHNYA KEMATIAN : 40 HARI PERINGATAN ARWAH RM. ANT. HARI KUSTONO:




Tiap kali mengikuti misa requiem, tirakatan jenazah, dan rangkaian peringatan yang ditujukan untuk mendoakan arwah, aku sering mengenang kembali moment penting bersama orang yang meninggal itu. Hanya saja kalau aku tidak mengenal orang yang meninggal itu, aku hanya berdoa semoga Allah menyambutnya dalam rengkuhan kerahiman dan belas kasihanNya. Kehidupan dan kematian setiap orang sangatlah berbeda peristiwa dan sikap batin. Kadangkala kematian terjadi begitu mendadak sehingga orang itu sendiri tidak sungguh siap dan tidak mengira. Meskipun kita tak sepenuhnya tahu apa rencana Tuhan dalam kehidupan kita, bagiku kehidupan adalah proses menuju indahnya kematian. Gambaran indahnya kematian tidak hanya orang sudah bisa berpasrah pada kehendak Tuhan dan kematiannya tak merepotkan saudara dan kerabat-kerabatnya. Bagiku, mereka yang mengalami indahnya kematian adalah mereka yang selama hidupnya berusaha untuk mendekatkan kita pada Sang Cinta walaupun mereka sendiri merasakan banyak penderitaan dan pengorbanan. 
Sesawi.net


Indahnya kematiaan mungkin tak seindah kehidupan yang dijalaninya. Perjuangan Musa yang tak langsung didukung oleh bangsaNya padahal Allah bermaksud memberikan kehidupan yang baik di tanah terjanji. Kekecewaan, kecemasan, kejengkelan dan kebosanan telah menjadi realita kehidupan yang buruk dan tidak kita inginkan. Musa dan Yesus merasakan itu semua padahal ucapan dan perbuatan mereka mendekatkan dan mendorong kita untuk mencintai Allah. Musa sudah menghantar, menemani dan memimpin bangsa Israel tetapi tidak sampai masuk ke tanah terjanji. Musa mati dalam penderitaan. Berkali-kali dalam kisah dikatakan, “Engkau tidak akan melihat, engkau tidak akan masuk”. Namun, dia masih sempat berpesan pada bangsanya “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau dan tidak akan meninggalkan engkau”. Sementara Yesus, sebelum Ia naik ke Surga dan meninggalkan para muridNya, berpesan “Ketahuilah, Aku akan menyertai kamu sampai akhir zaman” (Mat 28: 20).
Pict: Humble Bundle Melbourne
Kematian adalah akhir dari segala-galanya, akhir dari impian, harapan, persahabatan dan kemungkinan untuk hidup. Kita mungkin bertanya ada apa setelah kematian? Banyak orang mengira orang mati akan menuju Surga dan Neraka. Paolo Coelho mencoba memaknai Surga dan Neraka secara spiritual..,” Neraka adalah saat kita menoleh ke belakang dalam waktu sepersekian detik itu dan menyadari bahwa kita telah membuang kesempatan  untuk menghargai mukjizat kehidupan. Surga adalah ketika kita mampu berkata pada saat itu:”Aku membuat banyak kesalahan, tapi aku bukan pengecut. Aku menjalani hidupku dan melakukan apa yang perlu kulakukan”. Entah bagaimana menyimpulkan permenungan ini, aku berharap hidup kita sungguh merupakan proses menuju indahnya kematiaan. Karena itu, kita menjalani hidup untuk mendekatkan sesama pada Sang Cinta sejati.

Senin, 17 November 2014

Kabar Bahagia: Memperbaiki yang Sudah Baik




Rasaku ketika mendengar dan coba memahami beragam masalah yang terjadi sekarang ini adalah nelangsa dan nggrantes (tak berdaya dan tak tahu mesti bagaimana). Masalah demi masalah muncul silih berganti seakan aku terjebak dalam labirin dan frustasi mencari dimana jalan keluarnya. Salah satu hal yang ingin aku soroti adalah modernitas menciptakan adanya kompetisi. Mungkin sejak orang berani secara bebas mengungkapkan pemikirannya sebagai alternatif kebenaran yang telah sekian lama dipegang oleh Kitab Suci dan doktrin-doktrin teologis.
Kemampuan akal budi atau rasio manusia mampu membawa perubahan budaya dan cara berpikir manusia. Karena itu, banyak orang berjuang keras untuk mempelajari, menemukan dan mengatasi keterbatasan kemampuan manusia. Mereka menciptakan mesin transportasi, komunikasi, dan industri untuk memudahkan cara kerja manusia. Dari situlah muncul pasar, ada yang berperan sebagai produsen, distributor dan konsumen. Apa yang diciptakan awalnya hanya sebagai sarana untuk mengatasi kebutuhan manusia, sekarang ini justru barang sengaja dibuat tidak lagi sekedar untuk menciptakan kebutuhan yang utama (primer), tapi sekunder-tersier.
Ketika modernitas justru mengarah pada terciptanya kompetisi yang tidak sehat, banyak orang akan saling menjatuhkan kawan sendiri, melegalkan cara-cara yang sebenarnya tidak legal dan membiarkan mereka yang kalah bersaing. Mereka yang “menang” mungkin bangga dan merasa bahagia dengan segala kehebatan yang telah dimiliki dan dicapainya. Hanya saja, aku pikir di sini ada gradasi kebahagiaan yang diakibatkan karena budaya kompetisi yang tidak sehat. Kebahagiaan diukur dari apa yang dia punya, status sosialnya, prestasi-prestasinya. Kebahagiaan semacam ini hanyalah kebahagiaan yang egois. Memang tidak salah orang mengejar impiannya untuk bisa terwujud dan mendapat ini dan itu, tetapi pertanyaannya adalah apakah yang kita lakukan pada mereka yang belum bisa mengalami keberhasilan dan kebahagiaan ?
Evangelium Gaudium mendorong kita untuk berpihak dan memperjuangkan nasib orang-orang yang belum bisa mengalami kebahagiaan jasmani dan rohani. Modernitas sebenarnya membuka peluang kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam perawatan kesehatan, pendidikan dan komunikasi. EG menginspirasiku bahwa Gereja mengajak kita menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang mewujud pada sikap solidaritas, belarasa, empati, menghargai perbedaan, pelayanan dlsb. Gereja sudah memiliki prinsip tegas bahwa bekerjama dengan siapapun (pemerintah, komunitas agama lainnya, LSM) mereka yang berkehendak baik dan siap berhadapan dengan pribadi, institusi, kelompok yang materialistis, diskriminatif dan otoriter.  
            Semoga arti dari Evangelium Gaudium sungguh-sungguh dipahami sebagai kebahagiaan mewartakan Injil (kabar gembira). Di zaman yang serba modern ini, pewartaan Injil mau tidak mau harus memanfaatkan kemajuan zaman agar siapapun dapat mengalami kehadiran Allah yang menyentuh kita dan merasakan Allah hadir melalui SMS, BBM, FB, tweet, dlsb.  So, Pewartaan adalah kesaksian iman bukan pertama-tama sebagaimana iman terungkapkan dalam doa dan ajaran, melainkan sebagaimana iman terlaksana dalam usaha orang setiap hari, secara praktis tanpa kata-kata suci (Kamu Adalah Saksiku, art. 107).

Minggu, 16 November 2014

BELAJAR UNTUK MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN




·         Allah menyerahkannya kepada bangsanya; ia menyerahkan dirinya sendiri kepada bangsanya, dan  bangsanya membuatnya menderita.
·         Menjadi nabi dan hamba Injil tidak berarti mampu berjalan maju dengan riang gembira dan penuh semangat. Sebaliknya menjadi nabi dan hamba berarti mengalami kecemasan-kecemasan yang ditimbulkan oleh keadaan yang seringkali tidak ada jalan keluarnya.
·         Tuhan tidak menjanjikan kepada kita kesempurnaan. Ia juga tidak membebaskan kita dari akibat-akibat kesalahan yang kita buat. Yang Ia janjikan adalah pengampunan dan belas kasihan.


Kita tahu ada berbagai macam penderitaan yang dialami oleh orang-orang beriman dan seakan itu menjadi rumusan bahwa orang beriman pasti pernah mengalami penderitaan yang berat. Sabda Yesus menggambarkan bahwa orang yang mau mengikuti Dia harus menyangkal diri dan memikul salib. Ajakan ini tentu tidak mudah diiyakan apalagi dijalankan oleh banyak orang sekalipun dia percaya pada Allah. Mungkin aku sendiri berhitung ketika aku memilih menjalankan kegiatan rohani dan melayani orang-orang yang hanya memberikanku kegembiraan. Segala alasan bisa dilontarkan untuk membenarkan pilihan sikapku ini sehingga tanpa sadar aku telah menyalahgunakan kebebasan untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan keinginanku.
Untuk merenungkan lebih jauh mengenai penderitaan, aku mencoba untuk memaknai tiga keutamaan yakni kebebasan, kasih dan kebahagiaan. Yang perlu disadari pula bahwa penderitaan tidak semata-mata penyakit/virus yang harus diobati atau diberantas. Dalam konteks iman, buku ini memberikan gambaran penderitaan yang dialami oleh Musa dan juga Yesus- Allah menyerahkannya kepada bangsanya; ia menyerahkan dirinya sendiri kepada bangsanya, dan  bangsanya membuatnya menderita. Aku tidak mengerti apakah Allah sengaja membuat Musa menderita karena menyerahkan dia kepada bangsanya yang membuatnya menderita. Kata teman saya, Allah itu tidak hanya mahakasih tetapi Allah  mahatega. Namun, menurutku Allah tetap memberikan kita suatu kebebasan yang mana kita dapat mengungkapkan cinta kasih melalui kata-kata dan perbuatan. Karena kita sungguh-sungguh mengasihi sesama kita, apapun yang kita terima sebagai kesulitan dan penderitaan tidak menyurutkan semangat kita untuk menghadirkan kebahagiaan.
Sampai di tahap ini, aku mencoba untuk menghadirkan kebahagiaan untuk siapapun. Awalnya memang tidak mudah ketika aku menyanggupi untuk mengisi renungan bagi kelompok doa. Aku berusaha untuk menyiapkan dengan sebaik mungkin. Ketika tiba saatnya, sebelum doa dimulai saya sempat ngobrol dengan beberapa anggota kelompok doa. Salah satu anggota berkomentar bahwa kemungkinan yang datang dalam persekutuan doa tidak banyak karena yang memberi hanya seorang frater. Rasanya mangkel karena aku disepelekan padahal aku sudah bersusah payah menyiapkan. Aku berdoa agar perasaan mangkel ini tidak terbawa saat aku memberikan renungan. Bahan permenungan telah aku sampaikan dengan dialog, film  singkat inspritif dan cerita humor. Aku bersyukur bahwa memang benar yang datang tidak terlalu banyak dan mereka cukup bisa menanggkap keprihatinan dan apa yang diharapkan sebagai orang beriman. Aku bersyukur pula secara tidak sengaja seorang bapak mendatangiku dan mengatakan bahwa dia punya tiga semboyan hidup 3 B- Bekerja, Berdoa dan Bahagia. Dari pengalaman ini, aku belajar untuk tegar menghadapi penerimaan negatif dari orang yang kita layani karena Allah menjanjikan kita akan kasihNya yang membahagiakan. Tuhan tidak menjanjikan kepada kita kesempurnaan. Ia juga tidak membebaskan kita dari akibat-akibat kesalahan yang kita buat. Yang Ia janjikan adalah pengampunan dan belas kasihan.