Rasaku
ketika mendengar dan coba memahami beragam masalah yang terjadi sekarang ini
adalah nelangsa dan nggrantes (tak berdaya dan tak tahu
mesti bagaimana). Masalah demi masalah muncul silih berganti seakan aku
terjebak dalam labirin dan frustasi mencari dimana jalan keluarnya. Salah satu
hal yang ingin aku soroti adalah modernitas menciptakan adanya kompetisi.
Mungkin sejak orang berani secara bebas mengungkapkan pemikirannya sebagai
alternatif kebenaran yang telah sekian lama dipegang oleh Kitab Suci dan
doktrin-doktrin teologis.
Kemampuan
akal budi atau rasio manusia mampu membawa perubahan budaya dan cara berpikir
manusia. Karena itu, banyak orang berjuang keras untuk mempelajari, menemukan
dan mengatasi keterbatasan kemampuan manusia. Mereka menciptakan mesin
transportasi, komunikasi, dan industri untuk memudahkan cara kerja manusia.
Dari situlah muncul pasar, ada yang berperan sebagai produsen, distributor dan
konsumen. Apa yang diciptakan awalnya hanya sebagai sarana untuk mengatasi
kebutuhan manusia, sekarang ini justru barang sengaja dibuat tidak lagi sekedar
untuk menciptakan kebutuhan yang utama (primer), tapi sekunder-tersier.
Ketika
modernitas justru mengarah pada terciptanya kompetisi yang tidak sehat, banyak
orang akan saling menjatuhkan kawan sendiri, melegalkan cara-cara yang
sebenarnya tidak legal dan membiarkan mereka yang kalah bersaing. Mereka yang
“menang” mungkin bangga dan merasa bahagia dengan segala kehebatan yang telah
dimiliki dan dicapainya. Hanya saja, aku pikir di sini ada gradasi kebahagiaan
yang diakibatkan karena budaya kompetisi yang tidak sehat. Kebahagiaan diukur
dari apa yang dia punya, status sosialnya, prestasi-prestasinya. Kebahagiaan
semacam ini hanyalah kebahagiaan yang egois. Memang tidak salah orang mengejar
impiannya untuk bisa terwujud dan mendapat ini dan itu, tetapi pertanyaannya
adalah apakah yang kita lakukan pada mereka yang belum bisa mengalami
keberhasilan dan kebahagiaan ?
Evangelium Gaudium mendorong
kita untuk berpihak dan memperjuangkan nasib orang-orang yang belum bisa
mengalami kebahagiaan jasmani dan rohani. Modernitas sebenarnya membuka peluang
kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam perawatan kesehatan,
pendidikan dan komunikasi. EG menginspirasiku bahwa Gereja mengajak kita
menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang mewujud pada sikap solidaritas,
belarasa, empati, menghargai perbedaan, pelayanan dlsb. Gereja sudah memiliki
prinsip tegas bahwa bekerjama dengan siapapun (pemerintah, komunitas agama
lainnya, LSM) mereka yang berkehendak baik dan siap berhadapan dengan pribadi,
institusi, kelompok yang materialistis, diskriminatif dan otoriter.
Semoga arti dari Evangelium
Gaudium sungguh-sungguh dipahami sebagai kebahagiaan mewartakan Injil
(kabar gembira). Di zaman yang serba modern ini, pewartaan Injil mau tidak mau
harus memanfaatkan kemajuan zaman agar siapapun dapat mengalami kehadiran Allah
yang menyentuh kita dan merasakan Allah hadir melalui SMS, BBM, FB, tweet,
dlsb. So, Pewartaan adalah kesaksian
iman bukan pertama-tama sebagaimana iman terungkapkan dalam doa dan ajaran,
melainkan sebagaimana iman terlaksana dalam usaha orang setiap hari, secara
praktis tanpa kata-kata suci (Kamu Adalah Saksiku, art. 107).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar