Senin, 17 November 2014

Kabar Bahagia: Memperbaiki yang Sudah Baik




Rasaku ketika mendengar dan coba memahami beragam masalah yang terjadi sekarang ini adalah nelangsa dan nggrantes (tak berdaya dan tak tahu mesti bagaimana). Masalah demi masalah muncul silih berganti seakan aku terjebak dalam labirin dan frustasi mencari dimana jalan keluarnya. Salah satu hal yang ingin aku soroti adalah modernitas menciptakan adanya kompetisi. Mungkin sejak orang berani secara bebas mengungkapkan pemikirannya sebagai alternatif kebenaran yang telah sekian lama dipegang oleh Kitab Suci dan doktrin-doktrin teologis.
Kemampuan akal budi atau rasio manusia mampu membawa perubahan budaya dan cara berpikir manusia. Karena itu, banyak orang berjuang keras untuk mempelajari, menemukan dan mengatasi keterbatasan kemampuan manusia. Mereka menciptakan mesin transportasi, komunikasi, dan industri untuk memudahkan cara kerja manusia. Dari situlah muncul pasar, ada yang berperan sebagai produsen, distributor dan konsumen. Apa yang diciptakan awalnya hanya sebagai sarana untuk mengatasi kebutuhan manusia, sekarang ini justru barang sengaja dibuat tidak lagi sekedar untuk menciptakan kebutuhan yang utama (primer), tapi sekunder-tersier.
Ketika modernitas justru mengarah pada terciptanya kompetisi yang tidak sehat, banyak orang akan saling menjatuhkan kawan sendiri, melegalkan cara-cara yang sebenarnya tidak legal dan membiarkan mereka yang kalah bersaing. Mereka yang “menang” mungkin bangga dan merasa bahagia dengan segala kehebatan yang telah dimiliki dan dicapainya. Hanya saja, aku pikir di sini ada gradasi kebahagiaan yang diakibatkan karena budaya kompetisi yang tidak sehat. Kebahagiaan diukur dari apa yang dia punya, status sosialnya, prestasi-prestasinya. Kebahagiaan semacam ini hanyalah kebahagiaan yang egois. Memang tidak salah orang mengejar impiannya untuk bisa terwujud dan mendapat ini dan itu, tetapi pertanyaannya adalah apakah yang kita lakukan pada mereka yang belum bisa mengalami keberhasilan dan kebahagiaan ?
Evangelium Gaudium mendorong kita untuk berpihak dan memperjuangkan nasib orang-orang yang belum bisa mengalami kebahagiaan jasmani dan rohani. Modernitas sebenarnya membuka peluang kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam perawatan kesehatan, pendidikan dan komunikasi. EG menginspirasiku bahwa Gereja mengajak kita menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang mewujud pada sikap solidaritas, belarasa, empati, menghargai perbedaan, pelayanan dlsb. Gereja sudah memiliki prinsip tegas bahwa bekerjama dengan siapapun (pemerintah, komunitas agama lainnya, LSM) mereka yang berkehendak baik dan siap berhadapan dengan pribadi, institusi, kelompok yang materialistis, diskriminatif dan otoriter.  
            Semoga arti dari Evangelium Gaudium sungguh-sungguh dipahami sebagai kebahagiaan mewartakan Injil (kabar gembira). Di zaman yang serba modern ini, pewartaan Injil mau tidak mau harus memanfaatkan kemajuan zaman agar siapapun dapat mengalami kehadiran Allah yang menyentuh kita dan merasakan Allah hadir melalui SMS, BBM, FB, tweet, dlsb.  So, Pewartaan adalah kesaksian iman bukan pertama-tama sebagaimana iman terungkapkan dalam doa dan ajaran, melainkan sebagaimana iman terlaksana dalam usaha orang setiap hari, secara praktis tanpa kata-kata suci (Kamu Adalah Saksiku, art. 107).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar