Selasa, 18 November 2014

INDAHNYA KEMATIAN : 40 HARI PERINGATAN ARWAH RM. ANT. HARI KUSTONO:




Tiap kali mengikuti misa requiem, tirakatan jenazah, dan rangkaian peringatan yang ditujukan untuk mendoakan arwah, aku sering mengenang kembali moment penting bersama orang yang meninggal itu. Hanya saja kalau aku tidak mengenal orang yang meninggal itu, aku hanya berdoa semoga Allah menyambutnya dalam rengkuhan kerahiman dan belas kasihanNya. Kehidupan dan kematian setiap orang sangatlah berbeda peristiwa dan sikap batin. Kadangkala kematian terjadi begitu mendadak sehingga orang itu sendiri tidak sungguh siap dan tidak mengira. Meskipun kita tak sepenuhnya tahu apa rencana Tuhan dalam kehidupan kita, bagiku kehidupan adalah proses menuju indahnya kematian. Gambaran indahnya kematian tidak hanya orang sudah bisa berpasrah pada kehendak Tuhan dan kematiannya tak merepotkan saudara dan kerabat-kerabatnya. Bagiku, mereka yang mengalami indahnya kematian adalah mereka yang selama hidupnya berusaha untuk mendekatkan kita pada Sang Cinta walaupun mereka sendiri merasakan banyak penderitaan dan pengorbanan. 
Sesawi.net


Indahnya kematiaan mungkin tak seindah kehidupan yang dijalaninya. Perjuangan Musa yang tak langsung didukung oleh bangsaNya padahal Allah bermaksud memberikan kehidupan yang baik di tanah terjanji. Kekecewaan, kecemasan, kejengkelan dan kebosanan telah menjadi realita kehidupan yang buruk dan tidak kita inginkan. Musa dan Yesus merasakan itu semua padahal ucapan dan perbuatan mereka mendekatkan dan mendorong kita untuk mencintai Allah. Musa sudah menghantar, menemani dan memimpin bangsa Israel tetapi tidak sampai masuk ke tanah terjanji. Musa mati dalam penderitaan. Berkali-kali dalam kisah dikatakan, “Engkau tidak akan melihat, engkau tidak akan masuk”. Namun, dia masih sempat berpesan pada bangsanya “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau dan tidak akan meninggalkan engkau”. Sementara Yesus, sebelum Ia naik ke Surga dan meninggalkan para muridNya, berpesan “Ketahuilah, Aku akan menyertai kamu sampai akhir zaman” (Mat 28: 20).
Pict: Humble Bundle Melbourne
Kematian adalah akhir dari segala-galanya, akhir dari impian, harapan, persahabatan dan kemungkinan untuk hidup. Kita mungkin bertanya ada apa setelah kematian? Banyak orang mengira orang mati akan menuju Surga dan Neraka. Paolo Coelho mencoba memaknai Surga dan Neraka secara spiritual..,” Neraka adalah saat kita menoleh ke belakang dalam waktu sepersekian detik itu dan menyadari bahwa kita telah membuang kesempatan  untuk menghargai mukjizat kehidupan. Surga adalah ketika kita mampu berkata pada saat itu:”Aku membuat banyak kesalahan, tapi aku bukan pengecut. Aku menjalani hidupku dan melakukan apa yang perlu kulakukan”. Entah bagaimana menyimpulkan permenungan ini, aku berharap hidup kita sungguh merupakan proses menuju indahnya kematiaan. Karena itu, kita menjalani hidup untuk mendekatkan sesama pada Sang Cinta sejati.

Senin, 17 November 2014

Kabar Bahagia: Memperbaiki yang Sudah Baik




Rasaku ketika mendengar dan coba memahami beragam masalah yang terjadi sekarang ini adalah nelangsa dan nggrantes (tak berdaya dan tak tahu mesti bagaimana). Masalah demi masalah muncul silih berganti seakan aku terjebak dalam labirin dan frustasi mencari dimana jalan keluarnya. Salah satu hal yang ingin aku soroti adalah modernitas menciptakan adanya kompetisi. Mungkin sejak orang berani secara bebas mengungkapkan pemikirannya sebagai alternatif kebenaran yang telah sekian lama dipegang oleh Kitab Suci dan doktrin-doktrin teologis.
Kemampuan akal budi atau rasio manusia mampu membawa perubahan budaya dan cara berpikir manusia. Karena itu, banyak orang berjuang keras untuk mempelajari, menemukan dan mengatasi keterbatasan kemampuan manusia. Mereka menciptakan mesin transportasi, komunikasi, dan industri untuk memudahkan cara kerja manusia. Dari situlah muncul pasar, ada yang berperan sebagai produsen, distributor dan konsumen. Apa yang diciptakan awalnya hanya sebagai sarana untuk mengatasi kebutuhan manusia, sekarang ini justru barang sengaja dibuat tidak lagi sekedar untuk menciptakan kebutuhan yang utama (primer), tapi sekunder-tersier.
Ketika modernitas justru mengarah pada terciptanya kompetisi yang tidak sehat, banyak orang akan saling menjatuhkan kawan sendiri, melegalkan cara-cara yang sebenarnya tidak legal dan membiarkan mereka yang kalah bersaing. Mereka yang “menang” mungkin bangga dan merasa bahagia dengan segala kehebatan yang telah dimiliki dan dicapainya. Hanya saja, aku pikir di sini ada gradasi kebahagiaan yang diakibatkan karena budaya kompetisi yang tidak sehat. Kebahagiaan diukur dari apa yang dia punya, status sosialnya, prestasi-prestasinya. Kebahagiaan semacam ini hanyalah kebahagiaan yang egois. Memang tidak salah orang mengejar impiannya untuk bisa terwujud dan mendapat ini dan itu, tetapi pertanyaannya adalah apakah yang kita lakukan pada mereka yang belum bisa mengalami keberhasilan dan kebahagiaan ?
Evangelium Gaudium mendorong kita untuk berpihak dan memperjuangkan nasib orang-orang yang belum bisa mengalami kebahagiaan jasmani dan rohani. Modernitas sebenarnya membuka peluang kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam perawatan kesehatan, pendidikan dan komunikasi. EG menginspirasiku bahwa Gereja mengajak kita menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang mewujud pada sikap solidaritas, belarasa, empati, menghargai perbedaan, pelayanan dlsb. Gereja sudah memiliki prinsip tegas bahwa bekerjama dengan siapapun (pemerintah, komunitas agama lainnya, LSM) mereka yang berkehendak baik dan siap berhadapan dengan pribadi, institusi, kelompok yang materialistis, diskriminatif dan otoriter.  
            Semoga arti dari Evangelium Gaudium sungguh-sungguh dipahami sebagai kebahagiaan mewartakan Injil (kabar gembira). Di zaman yang serba modern ini, pewartaan Injil mau tidak mau harus memanfaatkan kemajuan zaman agar siapapun dapat mengalami kehadiran Allah yang menyentuh kita dan merasakan Allah hadir melalui SMS, BBM, FB, tweet, dlsb.  So, Pewartaan adalah kesaksian iman bukan pertama-tama sebagaimana iman terungkapkan dalam doa dan ajaran, melainkan sebagaimana iman terlaksana dalam usaha orang setiap hari, secara praktis tanpa kata-kata suci (Kamu Adalah Saksiku, art. 107).

Minggu, 16 November 2014

BELAJAR UNTUK MENGHADIRKAN KEBAHAGIAAN




·         Allah menyerahkannya kepada bangsanya; ia menyerahkan dirinya sendiri kepada bangsanya, dan  bangsanya membuatnya menderita.
·         Menjadi nabi dan hamba Injil tidak berarti mampu berjalan maju dengan riang gembira dan penuh semangat. Sebaliknya menjadi nabi dan hamba berarti mengalami kecemasan-kecemasan yang ditimbulkan oleh keadaan yang seringkali tidak ada jalan keluarnya.
·         Tuhan tidak menjanjikan kepada kita kesempurnaan. Ia juga tidak membebaskan kita dari akibat-akibat kesalahan yang kita buat. Yang Ia janjikan adalah pengampunan dan belas kasihan.


Kita tahu ada berbagai macam penderitaan yang dialami oleh orang-orang beriman dan seakan itu menjadi rumusan bahwa orang beriman pasti pernah mengalami penderitaan yang berat. Sabda Yesus menggambarkan bahwa orang yang mau mengikuti Dia harus menyangkal diri dan memikul salib. Ajakan ini tentu tidak mudah diiyakan apalagi dijalankan oleh banyak orang sekalipun dia percaya pada Allah. Mungkin aku sendiri berhitung ketika aku memilih menjalankan kegiatan rohani dan melayani orang-orang yang hanya memberikanku kegembiraan. Segala alasan bisa dilontarkan untuk membenarkan pilihan sikapku ini sehingga tanpa sadar aku telah menyalahgunakan kebebasan untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan keinginanku.
Untuk merenungkan lebih jauh mengenai penderitaan, aku mencoba untuk memaknai tiga keutamaan yakni kebebasan, kasih dan kebahagiaan. Yang perlu disadari pula bahwa penderitaan tidak semata-mata penyakit/virus yang harus diobati atau diberantas. Dalam konteks iman, buku ini memberikan gambaran penderitaan yang dialami oleh Musa dan juga Yesus- Allah menyerahkannya kepada bangsanya; ia menyerahkan dirinya sendiri kepada bangsanya, dan  bangsanya membuatnya menderita. Aku tidak mengerti apakah Allah sengaja membuat Musa menderita karena menyerahkan dia kepada bangsanya yang membuatnya menderita. Kata teman saya, Allah itu tidak hanya mahakasih tetapi Allah  mahatega. Namun, menurutku Allah tetap memberikan kita suatu kebebasan yang mana kita dapat mengungkapkan cinta kasih melalui kata-kata dan perbuatan. Karena kita sungguh-sungguh mengasihi sesama kita, apapun yang kita terima sebagai kesulitan dan penderitaan tidak menyurutkan semangat kita untuk menghadirkan kebahagiaan.
Sampai di tahap ini, aku mencoba untuk menghadirkan kebahagiaan untuk siapapun. Awalnya memang tidak mudah ketika aku menyanggupi untuk mengisi renungan bagi kelompok doa. Aku berusaha untuk menyiapkan dengan sebaik mungkin. Ketika tiba saatnya, sebelum doa dimulai saya sempat ngobrol dengan beberapa anggota kelompok doa. Salah satu anggota berkomentar bahwa kemungkinan yang datang dalam persekutuan doa tidak banyak karena yang memberi hanya seorang frater. Rasanya mangkel karena aku disepelekan padahal aku sudah bersusah payah menyiapkan. Aku berdoa agar perasaan mangkel ini tidak terbawa saat aku memberikan renungan. Bahan permenungan telah aku sampaikan dengan dialog, film  singkat inspritif dan cerita humor. Aku bersyukur bahwa memang benar yang datang tidak terlalu banyak dan mereka cukup bisa menanggkap keprihatinan dan apa yang diharapkan sebagai orang beriman. Aku bersyukur pula secara tidak sengaja seorang bapak mendatangiku dan mengatakan bahwa dia punya tiga semboyan hidup 3 B- Bekerja, Berdoa dan Bahagia. Dari pengalaman ini, aku belajar untuk tegar menghadapi penerimaan negatif dari orang yang kita layani karena Allah menjanjikan kita akan kasihNya yang membahagiakan. Tuhan tidak menjanjikan kepada kita kesempurnaan. Ia juga tidak membebaskan kita dari akibat-akibat kesalahan yang kita buat. Yang Ia janjikan adalah pengampunan dan belas kasihan.