Senin, 19 Desember 2011
Little Wing
Ketika dia
berjalan melintasi awan
imajinasi muncul di pikirannya
Kupu-kupu dan zebra
serta sinar bulan dan dongeng
Itu semua yang ada di pikirannya
seolah berkendara dengan angin ^^
Ketika aku sedih, dia datang kepadaku
Dengan seribu senyuman, dia membuatku merasa bebas lepas
dia berkata bahwa semuanya baik-baik saja
Ambil apapun yang kamu inginkan dariku
apa saja ^^
imajinasi muncul di pikirannya
Kupu-kupu dan zebra
serta sinar bulan dan dongeng
Itu semua yang ada di pikirannya
seolah berkendara dengan angin ^^
Ketika aku sedih, dia datang kepadaku
Dengan seribu senyuman, dia membuatku merasa bebas lepas
dia berkata bahwa semuanya baik-baik saja
Ambil apapun yang kamu inginkan dariku
apa saja ^^
Jumat, 09 Desember 2011
Teruskan Mengecap Wajah-Nya
Tangannya
begitu cekatan, mengayun dan menekan alat cap batik yang ukurannya sebesar
setrika. Lilin (malam) yang dipanaskan meleleh di atas wajan pipih berkarat.
Entah sudah berapa kali, si bapak mengecap motif bunga-bunga di ribuan lembar
kain putih itu. Yang terlihat modern dari alat batik di sana hanyalah kompor
gas mini yang didapat dari subsidi pemerintah dan tabung gas tiga kg untuk
mengganti kompor minyak karena harga minyak tanah yang selangit.
Dia berdiri di belakang meja dan di
sampingnya persis kompor gas dan wajan pipih yang setia menemani 7 jam sehari
selama tujuh tahun. “Mas sebelumnya saya
punya usaha kecil-kecilan, jual beli emas di pasar. Lumayanlah hasilnya bisa
untuk menyekolahkan dua anak sampai lulus SMP”, kisahnya. Dia melanjutkan
ceritanya bahwa dua anaknya merantau di Jakarta dan Bandung. “Alhamdulilah, mereka bisa cari makan
sendiri untuk keluarga mereka. Anak yang di Jakarta jualan bahan bangunan dan
yang kedua berjualan roti, sudah punya lima gerobak”. Pak Syaiful yang
sudah semakin uzur ini seharusnya tidak usah repot-repot bekerja lagi.
Anak-anaknya toh akan mengiririmkan uang tiap bulan untuk dia.
“Mas,
saya bekerja seperti ini hanya untuk olahraga, menjaga kondisi badan saya”. Kami
berdua tertawa karena dia berhasil menebak keraguanku. Dari ceritanya, sewaktu
masih muda dia ikut merantau ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Dia termasuk
ikut andil membangun istora senayan. Kenangan masa lalunya yang semakin
mengkristal ini terlihat dari rasa bangga bercampur syukur. Hanya saja dia tak
menceritakan laku puasanya setiap senin dan kamis. Mas Fat-temannya yang
mengecap batik di sebelahnya- memuji pak Syaiful ketika bercerita tentang efek
positif dari puasa. Walau sedang berpuasa, dia masih bisa bekerja optimal untuk
menafkahi keluarganya dan tak lupa untuk memberikan nafkah batin untuk
istrinya. Entah, apakah ini cuma guyonan dari temannya Pak Syaiful. Kalau
memang benar bahwa dia masih berpuasa sampai sekarang, aku sendiri merasa malu
karena jarang melakukan laku rohani dengan berpuasa.
Aku sadar bahwa kedatanganku ke sana
untuk menggali penderitaan para buruh dan merefleksikan pengalaman ini dalam
terang kebaikan Allah. Belajar teologi sosial ternyata tidak hanya dari dosen
saja, tetapi para buruh adalah guru sejati dari mata kuliah ini. Pak Syaiful
mengajarkan untuk terus berjuang dan tak mudah mengeluh dengan kondisi yang
serba prihatin ini. Dia juga tak menyalahkan Tuhan bahkan setiap waktu sholat
dia menyempatkan pergi ke Masjid. Di balik sikap tenangnya ini, aku mendengar
bisikannya ‘Gusti mboten sare, le’ (Tuhan
tak pernah tidur, nak). Aku pun semakin yakin bahwa Tuhan sungguh hadir di hati
manusia. Dia berjalan bersama menemani pak Syaiful dan kawan-kawannya yang papa-miskin sembari menyadarkan para
majikan yang berbuat semena-mena.
Hidupnya yang bersahaja dan serba
apa adanya semakin indah dihiasnya
dengan berpuasa senin dan kamis. Untuk apa dia sampai melakukan puasa? Sepintas
pikirku yang mencoba mencari jawab dengan merasionalisasikan-Mungkin dia sedang
menghayati hidup prihatin atau justru puasa adalah cara menyiasati terbatasnya
penghasilan. Aku menghargai apa yang dia lakukan ini sungguh sebuah ketulusan
dan kesetian untuk mengikuti Tuhan. Dua sikap iman yang ditanamnya yaitu
kesetiaan dan ketulusan telah menginsprisikan anak-anaknya termasuk aku juga.
Padahal sudah menjadi barang langka, kita berbicara ketulusan dan kesetiaan.
Dua sikap ini memang “mahal harganya” karena tak seorangpun dapat dengan mudah
memiliki dan melakukannya. Bagi pak Syaiful, ketulusan dan kesetiaan ini sudah
dia miliki dan dibagikan ini dalam keteladanan yang tak lekang oleh zaman.
Salah
satu pertanyaan yang masih belum terjawab olehku, siapakah Allah di mata pak
Syaiful yang telah berjuang hidup untuk keluarganya. Bersama teman-temanku yang
ikut menjadi buruh batik, kami membicarakan ini dan merenungkan pertanyaan besar
ini “Siapakah Allah bagi mereka”. Setiap hari jam 12.00 siang, setelah makan
dan membersihkan diri sebisanya dari cairan malam yang membeku dan pewarna
batik, Mas Fat, Pak Nur, Pak Syaiful, dan Pak Arifin bergegas pergi ke masjid
untuk sholat. Tak satupun dari mereka yang terlihat absen ke masjid. Kami tak melihat wajah keterpaksaan pada diri para
buruh tersebut. Sholat nampak sebagai aktivitas yang dirindukan. Bisa jadi
mereka ingin mengadu kepada Allah atas kerasnya hidup. Sholat menjadi jalan
bertemu dengan Allah secara personal. Allah menjadi tempat pengungsian para
buruh batik yang menyadari diri sebagai korban. Di dalam pribadi para buruh
lepas di rumah batik Pak Makmur, kami justru memperoleh penegasan bahwa Allah
bukanlah candu yang digunakan untuk “menjinakkan” buruh. Allah justru menjadi
pengungsian dan tempat peraduan orang-orang tertindas. Kami melihat wajah Allah
yang menjaga asa dan menguatkan para buruh untuk terus bekerja sambil berharap
adanya keadilan untuk ditegakkan.
Sholat menjadi salah satu wujud
perjumpaan buruh dengan Allah sebagai teman seperjalanan hidup. Allah tidak
menempatkan diri sebagai pribadi yang menuntut untuk disembah seolah-olah masih
perlu untuk menambah kemuliannya. Ia menempatkan diri sebagai sahabat bagi para
buruh yang menyediakan tempat untuk meletakkan beban-beban hidup. Kami merasa
bahwa gambaran Allah seperti itulah yang benar-benar kami alami melalui
perjumpaan dengan para buruh tertindas. Dalam wajah mereka tidak terlihat sama
sekali rasa keterpaksaan demi memenuhi kewajiban bagi seorang muslim untuk
sholat. Para buruh sholat sebagai ungkapan kerinduan akan Allah yang berjalan
berjuang dan berjalan bersama dengan mereka.
Kamis, 01 Desember 2011
Dia (tak) Tahu yang Tuhan Mau
Celana pendek
dan kaos batik yang dikenakan oleh Pak Kurnia tak nampak bahwa dia adalah
pemilik Industri batik cap jeruk. Dia menjabat tangan kami sambil tersenyum
memamerkan kumisnya yang setebal bajak laut. Perkenalan singkat itu
meninggalkan kesan ada keramahan yang membuka persahabatan kami. Sebenarnya
kami sudah datang kemarin, tetapi dia kebetulan tak ada di rumah. “Mas, kemarin
maaf ya saya lagi mainan doro,
biasanya hari libur saya mainan itu di sawah”. Aku mengangguk-angguk dan
memaklumi bahwa dia pasti membutuhkan refreshing.
Dari basa-basi singkat tentang dunia burung, kami segera dijelaskan proses
membatik. Kulihat rokok masih terjepit di jari tengahnya dan sekarang dia mulai
mengajariku ngerek (pewarnaan) dan nglorot (menghilangkan malam).
Selama beberapa
menit dia ikut ngerek dan nglorot, padahal sudah ada buruhnya. Sambil bekerja,
aku menanyakan proses pemasaran dan penjualan batik ini. Yang mengagumkan bahwa
batik cap yang sedang aku buat ini akan diekspor ke Thailand, Malaysia, dan
Singapura. Di sini pak Kurnia dan buruhnya hanya menjalankan proses produksinya
dan setiap kamis dia akan menyetor batik-batik ini ke dua juragan Arab dan Cina
Pekalongan. Kain batik jadi ini akan dijual seharga Rp. 750.000,-/ Kodi kepada
dua juragan. Karena itu, pak Kurnia harus memastikan kain batik yang dijual itu
harus berkualitas. Untuk satu kodinya, dibutuhkan biaya produksi sebesar Rp.
175.000,-. Itu berarti pendapatan bersih pak Kurnia sangat besar.
Dari usaha home industri-nya ini, pak Kurnia bisa
membeli mobil KIA. Biasanya mobil itu dipakai untuk mengantar kain batik jadi.
Selain itu, seringkali mobil itu hanya diparkir di garasi sehingga tampak
kontras dengan sepeda jepang yang diparkir para buruh. Ketika setiap kali
melewati garasi itu, aku bertanya-tanya apakah mobil KIA dan dua motor honda
ini didapat dari keuletannya atau karena kelihaiannya mengeruk keuntungan.
Mobil ini menunjukan status sosial pemiliknya yang tak mungkin disamai oleh
buruh-buruhnya. Upah buruh sengaja ditekan supaya majikannya mampu membeli
kemewahan dan rasa gengsi. Para buruh tak mengenal dua kata itu dalam kamus
mereka. Kemewahan hanya bisa dilihat tetapi kesederhanaan sudah
mendarah-daging. Rasa prihatin merupakan keharusan bagi mereka untuk mematikan
rasa gengsi bekerja di tempat yang kotor dan panas ini.
Realitas
ketimpangan seolah-olah sengaja ditutup-tutupi majikan dari para buruhnya lewat
aneka macam pembiusan. Dalam sharingnya pada hari terakhir kerja kami di
industri ini, pak Kurnia menceritakan bahwa jika sedang banyak orderan (karena mereka bekerja sesuai order) para karyawan tidak diliburkan
pada hari Jumat seperti biasanya. Mereka bekerja dari pagi sampai sore. Namun
ia mengatakan bahwa menu makanan hari itu pun berubah, lebih istimewa. Para
buruh boleh minta dibelikan makanan apa saja yang berbeda dari hari biasanya.
Kami mencurigai kata-kata pak Kurnia ini dan sempat bertanya, Bukankah ini
adalah cara pak Kurnia membungkam dan sekedar ‘ambil hati’ para buruh agar dia
lebih enak bermain demi kantongnya
sendiri? Meskipun demikian, para buruh tahu realitas yang ada. Mereka tahu, Pak
Kurnia jarang turun langsung di dapur pabrik batik, jarang menghirup asap
tungku selama delapan jam, jarang kena pewarna kain, namun ia memperoleh hasil
paling banyak. Mereka juga tahu kalau pak Kurnia baru saja membeli Honda Scoopy baru untuk
putrinya meskipun ia tahu sang putri tak mau memakainya. Dan mereka bahkan
tidak menyangkal kalau pak Kurnia secara cerdas ‘bermain’ seputar upah mereka
yang sedemikian rendah dan mungkin takkan pernah mengalami peningkatan untuk
selamanya.
Rasa hati ingin berontak namun tidak ada yang
bisa diandalkan. Harta? Jelas tidak punya. Pendidikan apalagi. Buruh kalah
karena ia tidak punya apapun yang bisa diandalkan kecuali keterampilan dan
kerja fisik mereka. Prinsip para buruh adalah bekerja untuk bisa makan. Tidak
kerja berarti tidak makan. Mereka tahu bahwa upah seharipun tidak akan bisa
membeli selembar kain yang mereka hasilkan sendiri. Mereka harus menghidupi
istri dan anak-anak mereka dengan lelah dan payah. Sungguh merupakan sebuah
perjuangan yang tidak mudah.
Apa gunanya
menyalahkan kelakuan pak Kurnia yang semena-mena menggaji para buruhnya? Namun,
secercah cahaya menuntunku berjalan di lorong kelam dunia ini. Cahaya ini
menyadarkan bahwa manusia yang berlimpah harta bisa jadi sangat ‘miskin’ di
hadapan Allah. Seorang kaya dan saleh ingin menjadi murid Yesus tetapi dia
merasa berat hati ketika Yesus memintanya untuk memberikan setengah hartanya
untuk orang miskin. Dia takut kehilangan hartanya dan masih ingin mencari
kekayaan yang tak pernah membuatnya puas. Aku yakin bahwa Tuhan justru
menghendaki orang itu menjadi sungguh kaya karena mau bersolider dan membantu
mereka yang miskin. ‘Janda miskin’ telah memberikan persembahan bukan dari
kecukupannya tetapi kekurangannya.
Langganan:
Postingan (Atom)