Kata kunci yang menjadi pokok permenunganku adalah
kedamaian. Hidup damai mengandaikan adanya relasi yang saling mengasihi antar
mahkluk hidup. Sering kali, kita hanya pintar mendefinisikan kedamaian tetapi
untuk mewujudkannya amatlah utopis. Rasa iri, marah, dan egois yang terungkap
dalam kata dan perbuatan semakin menyulitkan kita mengusahakan kedamaian. Ketika
aku menganggap temanku itu musuh, rasa marah dan iri menyelimuti hatiku. Rasa
marah dan iri pada seseorang melahirkan kebencian.
Tuhan Yesus ingin membantu kita berdamai dengan orang
yang kita benci. Dia mengkoreksi Tradisi Yahudi yang mengajarkan “Kasihilah
sesamamu dan bencilah musuhmu”. Yesus justru mengajak kita untuk mengasihi
musuh dan mendoakan mereka. Dia menggambarkan bahwa kasih itu bagaikan hujan
turun bagi orang benar dan tidak benar dan sinar matahari yang menerangi
sahabat dan musuh kita.
Untuk menemukan dan menciptakan kedamaian, aku menyadari
bahwa aku perlu belajar mengasihi siapapun terutama orang yang kubenci.
Bukanlah tindakan yang mudah untuk mengasihi orang yang kita benci apalagi aku
sudah pernah disakiti. Ketika aku sudah mengecap beberapa orang adalah musuh,
aku sulit melihat kebaikan dan selalu membicarakan kekurangan atau mengelukan
sifat-sifat buruk yang ada pada orang itu. Rasaku, aku perlu mengendalikan
perasaan benciku dengan introspeksi diri, tidak mengumbar kejelekan orang yang
kubenci, sekaligus mendoakan relasi kami.
Ku berharap niatku untuk mengasihi dan mendoakan
orang-orang yang kubenci menjadi partisipasiku dalam membangun kedamaian di
dunia. Think Globaly, Act Localy...