Sabtu, 22 Maret 2014

SAATNYA NYATAKAN CINTA pada GEREJA



  Seorang anak kecil menirukan gaya orang sholat ketika sedang mengikuti misa bersama orangtuanya, siapakah dia? Itulah aku. Aku tak ingat persis berapa umurku waktu itu. Mungkin aku masih berumur 9 tahun dan ketika itu memang aku sangat dekat dengan pembantu di rumahku. Saking dekatnya, sampai-sampai aku sering menemani dia sholat di kamarnya. Aku hanya tahu sholat adalah cara orang Islam berdoa. Dan, karena kepolosanku, aku ikut-ikutan sholat waktu sedang misa. Saat itu, orangtuaku tidak menegur atau memarahiku. Mungkin mereka memaklumi tingkah anak kecil yang serba spontan. Aku pun tak menyadari apakah itu dosa atau tidak?; masak sholat di gereja? Aku pun tak tahu malu karena umat lain pastinya melihat aksi spontanku. 

  Bagiku, inilah pengalaman yang menjadi benih awal panggilanku. Sebelum aku memutuskan untuk bersekolah di Seminari dan tentunya menjadi imam, aku hanyalah umat biasa yang hidup dengan kehangatan dan kasih sayang orang-orang di dekatku. Gereja St. Petrus Pekalongan adalah rumah dan sekolah kedua bagiku. Setiap minggu kami sekeluarga berangkat ke gereja dan berusaha duduk bersama. Keluarga kami cukup dekat berelasi dengan para Romo yang bertugas di paroki Pekalongan. Setelah misa, kami biasanya bersalaman dan bercanda sebentar dengan Romo yang bertugas saat itu.

Menyiapkan bekal untuk perjalanan

  Aku tetap sebagai umat biasa dan sedikit istimewa karena aku ikut dalam misdinar. Hampir tiap pagi, aku selalu diingatkan ibuku untuk ikut misa harian dan bertugas. Kami mengusahakan untuk mengikuti misa harian tetapi bapakku kadang tidak bisa karena mungkin masih lelah. Rutinitas bangun pagi, pergi misa dan menjadi misdinar sudah mulai menjadi kebiasaanku sejak aku kelas 5 SD. Mungkin saat itu aku dikenal oleh para Romo sebagai misdinar yang rajin bertugas. Maaf, kalau sedikit sombong.

  Apakah dengan melakukan itu semua, aku tertarik menjadi Romo? YA. Sampai saat ini, aku menyadari bahwa keinginanku untuk menjadi Romo bukanlah karena ajakan dari seorang Romo, suster atau frater. Mereka tidak pernah menyuruhku untuk masuk Seminari dan menjadi Romo. Bahkan, kedua orangtuaku pun tidak mendorong aku untuk bercita-cita menjadi romo. Walaupun begitu, mungkin saja mereka mendoakan semoga aku terpanggil untuk mengikuti jejak mereka. Aku sendiri merasa senang ketika bisa bersahabat lebih dekat dengan Romo, suster dan frater yang kujumpai di gereja. Mulailah muncul perasaan yang tersimpan dalam hati- aku ingin seperti mereka (para romo).

  Rangkaian pengalaman dari aku kecil hingga sebelum masuk Seminari sampai sekarang masih terasa aneh. Biarlah suatu keanehan ini mungkin mengalir sapaan Allah. Aku pernah (bergaya) sholat di gereja karena aku dekat dengan pembantuku yang muslim. Setelah aku ikut misdinar, relasiku dengan para romo, suster dan frater semakin dekat. Kesempatan ikut misa, bertugas atau hanya sekedar main di gereja- ku jalani itu semua dengan hati yang gembira. Aku menemukan sahabat-sahabat yang mau memberikan senyum, salam dan sapa. Para romo yang ku kenal adalah figur sahabat yang penuh kehangatan dengan keramahan dan perhatiannya pada umat-umatnya. Bagiku, semua pengalaman ini yang membekali diriku untuk mengambil langkah menuju Seminari.

  Ketika tiba waktunya untuk mendaftar ke Seminari, aku tidak berpikir panjang tentang segala konsekuensi dan resiko ke depan. Setidaknya, aku tahu motivasiku bersekolah di Seminari untuk menjalani pendidikan sebagai Romo bukan sekedar mencari sekolah. Aku dinyatakan lulus pada test intelektualitas dan melanjutkan ke test wawancara. Ketika diwawancarai, pertanyaan yang sama selalu diajukan adalah mengapa kamu mau menjadi Romo. Jujur saja aku tak ingat lagi persisnya jawaban apa yang kuberikan saat itu. Yang aku ingat adalah aku dihantar berangkat dan pulang dengan mobil pastoran yang disetiri Rm. Ferdinan Agus Pramana Aji (alm.).

Terus melangkah walau penuh resiko

   Selama 10 tahun, aku mengambil jalan hidupku di Seminari yang membantu untuk menghidupi nilai-nilai. Seminari memberikan banyak kegiatan dan tugas yang dijalankan baik pribadi maupun bersama-sama. Di situlah, aku diminta selalu menyadari nilai-nilai  yang aku temukan dari apa yang aku lakukan. Aku terkadang merasakan bahwa tugas yang aku terima begitu berat. Bagaimanapun aku harus berjuang menyelesaikan tugas demi tugas, doa selalu menguatkan aku dan berharap Tuhan selalu membantu melalui orang-orang di dekatku. Aku bersyukur keluarga dan teman-teman selalu mencoba memahami kecemasan dan keraguanku. Aku menyadari bahwa aku belum bisa memberikan yang terbaik tetapi aku sudah berjuang untuk menemukan nilai-nilai hidup dari tugas dan tantangan: kesediaan diri, kebebasan dan tanggung jawab.

  Walaupun aku hidup di kelilingi tembok Seminari, aku merasakan adanya resiko di luar tembok seminari. Kalau aku bisa makan tiga kali sehari, apakah aku tahu siapa umat yang cemas- besok bisa makan atau tidak? Kalau sekarang aku bisa meraih gelar S-1 dan melanjutkan kuliah S-2, apakah aku tahu siapa saja yang harus putus sekolah dan menjadi pekerja kasar bahkan masih menganggur? Kalau setiap bulan aku mendapat uang saku, apakah aku tahu banyak umat yang di awal bulan harus menyetor cicilan utangnya. Nampaknya, hidup di Seminari sungguh istimewa bahkan tak perlu berjuang-banting tulang dan putar otak.  

  Kami digadang-gadang memang menjadi gembala bagi umat. Aku menyadari bahwa tak semua umat adalah domba yang gemuk, justru kebanyakan mereka adalah domba yang kurus. Untuk dapat membuat domba yang kurus tetap sehat, aku perlu belajar mengerti penyebabnya dan berusaha domba itu bisa bertumbuh baik jasmani maupun imannya. Sangat ironis, ketika banyak gembala hanya peduli pada domba gemuk yang memberikan banyak keuntungan padanya. Aku berharap setelah dididik di Seminari aku menjadi gembala yang mau hidup sederhana dan memperhatikan nasib domba-domba yang masih kurus. 

  Sampai kapanpun, kita akan selalu menghadapi resiko dari sebuah pilihan yang kita ambil. Aku memandang resiko ini sebagai pelajaran yang semakin menegaskan siapa diriku sebenarnya. Karena itu, segala resiko yang pernah dan belum aku alami meneguhkan aku bahwa panggilan ini adalah sebuah pelayanan yang mengalir dari persahabatan dengan Allah dan sesama ciptaanNya. Panggilan imam sebagai "pelayan" bagi siapapun tumbuh dari kedekatanku dengan pembantu di rumah. Relasiku dengan para romo, suster dan frater menyadarkanku bahwa seorang imam adalah sahabat Allah dan sesama.

 

"Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (Kol 9:7)