Senin, 21 Oktober 2013

PENGHARAPAN: PERTOLONGAN TUHAN MELALUI SESAMA




Aku sebagai mahasiswa teologi

  Proyek teologi harapan bukan pertama kali proyek atau studi lapangan yang kuikuti. Pengabdian sosial, kerja sebagai buruh, kerja sebagai petani adalah kesempatanku belajar melihat realita manusia yang mencari kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan. Tak bisa dipungkiri pencarian itu harus dilalui dengan beragam duka dan derita. Saat ini, aku merasakan dinamika pengalaman manusia yang menderita karena dia sakit. Aku datang dan berjumpa dengan para pasien bukan sebagai dokter dan perawat. Tak ada keahlian dan pengetahuan yang bisa kupakai untuk merawat dan mengobati pasien. Apa yang bisa aku berikan pada mereka?

  Berulang kali ketika aku berkunjung dan memperkenalkan diri, aku mengaku sebagai mahasiswa psikologi. Aku malu mengenalkan identitasku sebagai mahasiswa teologi. Ada dua alasan: teologi pasti merupakan kata-kata asing untuk para pasien muslim; teologi sendiri tak ada sangkut pautnya secara langsung dengan dunia medis. Sejujurnya, aku tak nyaman dengan statusku ini. Memang aku memaksa diriku untuk mencoba ramah dan mendengarkan keluhan para pasien. Tetapi, aku merasa tak berdaya melihat pasien yang sulit bernafas, menahan rasa sakit, sementara aku tak dapat menolong mereka. Ilmu teologi yang kudapatkan tak pernah mengajarkan aku untuk membuat mukjizat penyembuhan bagi mereka yang sakit. Apa yang bisa aku berikan pada mereka?

  Live in yang kualami selama belajar teologi mengajakku untuk terlibat di dalam karya sosial untuk membantu setiap orang menemukan kasih Tuhan. Dalam situasi penderitaan karena ketidakadilan dan ketidakberdayaan, apakah kita masih bisa merasakan sentuhan Tuhan? Penderitaan mau tak mau akan dirasakan siapapun, tetapi aku tak dapat menemukan cara untuk menghindar atau mencegah dari penderitaan.

  Sampai detik ini, aku memaknai penderitaan adalah kenyataan hidup manusia yang ingin ikut merasakan bagaimana rasanya memanggul salib kehidupan. Kita memanggul salib untuk merasakan kasihNya. Ketika kita sehat dan dapat sembuh, mungkin kita merasa Tuhan sungguh mengasihi kita. Tetapi, bagaimana ketika kita sakit masihkah kita dapat percaya bahwa Tuhan mengasihi kita? Sakit yang kita alami adalah kesempatan kita untuk mengenal kasihNya secara nyata. Harapan terindah yang bisa kita alami adalah bahwa kita dapat merasakan dikasihi Tuhan melalui orang-orang di dekat kita dan mengasihi siapapun dan apapun.

  Relasi kasih kita dengan Tuhan selalu terjalin dalam doa syukur dan permohonan pada pertolongan Tuhan. Kesempatan menghirup nafas dan mendapat perhatian serta perawatan di Rumah Sakit perlu kita syukuri di tengah rasa sakit yang merongrong tubuh kita. Berdoalah memohon pertolongan Tuhan supaya kita tidak hanya disembuhkan tetapi mohon agar kita semakin percaya bahwa Tuhan adalah juru selamat kita. Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi kita, melebihi dari apa yang kita harapkan. Datanglah padaNya dengan sikap berpasrah untuk bersyukur dan memohon agar selalu bisa merasakan kasihNya melalui sesama (keluarga, dokter, perawat). Dia hadir mencurahkan kekuatan penyembuhanNya melalui tangan dan hati mereka yang menemani kita yang sedang menderita sakit.

 

Sakit bukanlah hukuman tapi anugerah

  Banyak orang berpikir dan menyangka bahwa sakit adalah akibat dari pola hidup yang tidak sehat bahkan hukuman atas dosa kita selama ini. Itu bisa jadi benar tetapi bukankah sakit adalah bagian dari pengalaman hidup kita. Kita hidup bukan untuk sakit atau sehat. Apa yang kita cari dari hidup ini adalah suatu keyakinan bahwa hidup ini indah karena ada kasih dan pengharapan. Kalau toh kita harus menderita karena sakit, itua adalah anugerah bukan semata-mata hukuman. Kita perlu menyadari sisi kelemahan kita sebagai manusia, tak selamanya kita itu sehat atau bertindak baik. Sisi lain kemanusiaan kita adalah kekuatan dalam diri kita yakni hidup kita sendiri.

  Kita hidup bersama orang-orang lain dan untuk sesama kita. Tuhan menciptakan kita baik adanya yang mencakup segala kelebihan dan kekurangan kita. Saat kita menjadi pasien, kita datang pada mereka yang kita percaya dapat membantu kita untuk sembuh. Dokter dan para perawat hadir untuk melengkapi kelemahan manusiawi kita. Kemampuan dan kehendak baik mereka memungkinkan kita untuk melihat sakit adalah anugerah bukan hukuman. Karena itu, para dokter dan perawat yang sungguh-sungguh menolong para pasiennya tidak hanya menyembuhkan tetapi mewujudkan kehidupan yang semestinya indah dan baik adanya. Sekali lagi, sakit bukanlah hukuman tetapi bagaimana kita dapat mengalami buah-buah kehidupan yang dianugerahkan dan dibagikan pada sesama kita yang menderita. 

Sabtu, 05 Oktober 2013

NYANYIAN HARAPAN GEMBALA DAN DOMBANYA


Hai kawan, sadarilah hidup ini adalah perjuangan
untuk menjawab sebuah panggilan.
Yakinlah kita bisa menghadapi segala rintangan
karena Dia bersama kita
  Ku buka lembaran baru hidupku
  kan ku wujudkan s'gala niatku
  Tak lupa ku bersyukur padaNya
  yang telah beriku semangat
  Ku kan berjanji untuk setia
  Mengasihi, layani sesama
  Jadi garam dan terang bagi dunia
Inilah saatnya tuk buka mata dan hati kita
rasakan derita sahabat kita
Bagikan perhatian, saling tolong dengan ketulusan
untuk menggapai kebahagiaan
 
          Biaya hidup frater di Seminari, sejauh yang aku tahu berkisar 3-3,5 juta/ bulan. Situasi kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya juga berpengaruh pada kenaikan biaya hidup ini tiap tahunnya. Karena kemurahan umat Gereja, para frater sepenuhnya tidak ditarik biaya karena kebutuhan kami sudah ditanggung oleh keuskupan kami masing-masing. Dari urusan makan, kuliah, kursus ini-itu bahkan uang saku kamidiberi. Bagiku, itu semuanya lebih dari cukup. Lalu, dalam hati aku menggugat diriku "apa yang sebenarnya umat harapkan dari kami para calon imam ini ketika mereka rela menyumbang untuk Seminari ?"
          Kalau aku bisa makan tiga kali sehari, apakah aku tahu siapa umat yang cemas- besok bisa makan atau tidak? Kalau sekarang aku bisa meraih gelar S-1 dan melanjutkan kuliah S-2, apakah aku tahu siapa saja yang harus putus sekolah dan menjadi pekerja kasar bahkan masih menganggur? Kalau setiap bulan aku mendapat uang saku, apakah aku tahu banyak umat yang di awal bulan harus menyetor cicilan utangnya. Nampaknya, hidup di Seminari sungguh istimewa bahkan tak perlu berjuang-banting tulang dan putar otak.  
          Kami memang digadang-gadang menjadi gembala bagi umat. Aku menyadari bahwa tak semua umat adalah domba yang gemuk, justru kebanyakan mereka adalah domba yang kurus. Untuk dapat membuat domba yang kurus tetap sehat, aku perlu belajar mengerti penyebabnya dan berusaha domba itu bisa bertumbuh baik jasmani maupun imannya. Sangat ironis, ketika banyak gembala hanya peduli pada domba gemuk yang memberikan banyak keuntungan padanya. Aku berharap setelah dididik di Seminari aku menjadi gembala yang mau hidup sederhana dan memperhatikan nasib domba-domba yang masih kurus. 
       
"Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2 Kor 9:7)