Kamis, 26 September 2013

Kesedihan Berselimutkan Harapan


  "Wanita dijajah pria sejak dulu", syair lagu yang melukiskan penderitaan para wanita dari dulu bahkan masih sampai sekarang. Kita seringkali mendengar kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan para suami kepada isteri atau anak-anaknya. Suatu saat, aku tidak lagi mendengar cerita KDRT dari mulut orang kedua, ketiga, keempat, dst. Tiga minggu yang lalu aku diajak berkunjung ke rumah Janda yang terpaksa berpisah. Sebut saja ibu itu bernama ibu Asih. Dari ngobrol dengan ibu ini, mengalirlah cerita masa lalu yang kelam bersama suaminya. Sampai akhirnya dia harus berpisah karena suaminya meminta bercerai. Perceraian ini hanya pintu untuk suaminya yang ingin menikah lagi.

  Mungkin pasangan suami istri akan mendapat kepenuhan kebahagiaan berumah tangga karena hadirnya buah hati yakni anak-anak mereka. Ibu Asih dan suaminya dikaruniai oleh Tuhan, 6 anak perempuan. Kebahagiaan hanyalah angan-angan karena ibu Asih dan enam anak perempuannya tak pernah merasakan figur ayah dan suami yang baik. Suaminya sering pergi petang dan pulang pagi dini hari. Dia sudah kecanduan minum dan bermain judi. Ketidakberesan ini sudah dirasakan bu Asih sejak menginjak bulan pertama pernikahan mereka. Suaminya yang baru saja menerima gaji menghamburkan uangnya untuk bermain judi nomer (semacam togel). 

  Bu Asih mencoba bertahan dengan ulah suaminya yang tak bertanggung jawab sebagai seorang kepala rumah tangga. Lebih parah lagi, dia sering pulang dari bermain judi kartu dalam keadaan mabuk dan ibu Asih sudah bersiap untuk menerima tamparan dan caci-maki dari suaminya. "Apakah sikap kasarnya ini karena pekerjaan si suami adalah tentara?" tanyaku. Ternyata ibu Asih tidak melihat karena alasan itu. "Tidak semua tentara bisa sekasar itu, itu mungkin karena sifatnya dia saja", sanggah ibu Asih. Anak-anak yang semakin bertambah besar, mau tidak mau melihat kebrutalan ayahnya. Tamparan dan cacian suaminya bagaikan makanan harian bu Asih dan anak-anaknya.

  Kejadian yang tidak bisa lupakan olehnya adalah ketika si Suami jengkel pada anak pertamanya. Dia sudah mengasah celurit. Lalu, terjadi kejar-kejaran antara bapak dan anak. Ibu Asih tak tahan. Sambil dia memegangi kaki suaminya dia berucap terus menerus "Pa, jangan bunuh anakmu. Bunuh saja aku". Anak pertamanya berhasil kabur untuk sementara waktu. Dan, jerit istrinya itu meredamkan amarahnya. Kenangan pahit ini masih membekas hingga sekarang. "Saya tidak ingin anak saya mati, karena mereka itu titipan Tuhan", begitu dia memaknai. 

Keputusan perceraian yang sepihak

  Suatu sore, suaminya pulang kerja. Tak ada angin, tak ada mendung, tiba-tiba suaminya berkata, "Ma, kita cerai. Nanti akan ada waktunya buat sidang". Ibu ini termangu sejenak, seakan jarum jam berhenti berputar. "Pa, kalau cerai, Anak-anak mau makan apa?". Pertanyaan ini tidak dijawab oleh suaminya. Ibu Asih semakin sedih mendengar kabar itu. Saat itu anaknya yang keenam sedang berumur kurang dari setahun dan yang paling besar masih SMA. Tak lama kemudian, ibu Asih menderita penyakit aneh karena tiba-tiba lehernya membengkak. Setelah dia periksa ke dokter di RS Sardjito dan meminum obat, ternyata bengkak di lehernya tak kunjung sembuh. Kemudian, dokternya menyarankan "Bu, maaf kalau ibu saya rujuk ke dokter jiwa. Karena menurut saya, penyakit ibu bukan sekedar penyakit fisik". Bu Asih mengikuti saran dokter itu walau ada yang mengganjal di perasaannya. Apakah rentetan ketidakharmonisan dengan suaminya ini dan hari-hari mengikuti proses persidangan cerai, membuat dia harus sakit baik raga dan jiwa. 

  Bu Asih menceritakan segala yang dialami bersama suaminya. Sebenarnya bu Asih sudah tak tahan dengan penderitaanya dan merencanakan ingin bunuh diri. Tetapi, dia kembali ingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa kalau perceraian itu sungguh terjadi. Waktu itu, dokter itu menawarkan beberapa kemungkinan. Dia mengambil keputusan untuk mengiyakan kemungkinan bahwa dia harus bercerai dan merawat anak-anaknya. Ini mungkin keputusan terbaik dari beberapa kemungkinan yang terburuk. Kalau tidak bercerai, mungkin saja dia dan anak-anaknya akan mendapatkan penganiayaan terus menerus. Bisa jadi, dia kembali frustasi dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. 

  Gugatan perceraian menyudutkan ibu Asih karena suaminya merasa tidak ada kecocokan. Alasan ini digunakan untuk menutupi keinginannya untuk menikah lagi. Sementara itu, dihadapan istrinya-dia menutupinya bahwa pernikahannya ini tidak bisa memberikan anak laki-laki. Persidangan cerai berakhir dengan tekanan suaminya yang memaksa hakim untuk segera memutuskan perceraian. Suaminya mendesak hakim karena beralasan akan segera pindah tugas ke Bandung. Dihadapkan pada hal itu, hakim segera memutuskan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan istri dan suami diwajibkan memberi biaya pendidikan untuk keenam anaknya. Ibu Asih harus menghadapi kenyataan bahwa dia harus membiayai hidup untuk keenam anaknya. Setelah hakim mengetuk palu, si Suami mendekati bu Asih. "Saya tak akan mau membiayai pendidikan anak-anakmu". Ibu Asih mencoba menentang dengan keputusan surat perjanjian yang sudah ditandatangani mereka berdua. Tapi, suaminya tak mau tahu dengan surat itu.

  Memang dari pihak keluarga suami, tak ada yang membela bu Asih. Suaminya sering menceritakan kejelekan istrinya pada saudara-saudaranya. Alasan tak logis bahwa pernikahannya ini tak bisa memberikan anak laki-laki hanyalah kedok semata. Suaminya mengambil anak keduanya untuk diasuhnya. Ini dilakukan karena anaknya ini akan dijadikan sebagai penyangga kalau dia sudah pensiun. 

Berperan sebagai single parent

  Malamnya, ibu Asih memandang anak-anaknya yang tidur bersama-sama. Beruntung bahwa suaminya masih meninggalkan rumahnya. Sambil melihat anak-anaknya yang tertidur, ibu Asih berkata dalam hati "semoga dia tidak dikaruniai anak kalau dia jad menikah lagi". Menyesali segala yang terjadi tak akan menyelesaikan masalah. Dia harus memikirkan bagaimana menuntut tanggungjawab suaminya untuk membiayai pendidikan dan dia juga harus mulai mencari nafkah untuk anak-anaknya. 

Ibu Asih mencoba menemui hakim perceraiannya dan menceritakan sikap suaminya yang menolak surat perjanjian itu. Hakim itu kemudian memberi surat pengantar ke departemen keuangan. Di situlah nasibnya dipertaruhkan. Setelah berhasil untuk bertemu dengan kepala departemen keuangan, dia mendapat kepastiaan bahwa tuntutan biaya pendidikan akan diberikan dengan memotong gaji suaminya. Ibu Asih cukup merasa lega dan bersyukur karena masih ada orang baik yang menolong kehidupannya. 

  Satu tugas lagi bahwa dia harus mencari nafkah untuk hidup anak-anaknya. Dia mencoba berjualan kue dari hasil bikinannya. Beberapa teman dan kenalannya membantu anak-anaknya untuk bisa kuliah sampai selesai. Anak-anak mereka pun tak menyia-nyiakan kebaikan orang, mereka serius belajar menimba ilmu. Syukurlah, sampai anaknya keenam masih bisa menyelesaikan kuliah dengan beasiswa. 
  
  Seiring berjalannya waktu, ibu Asih mendengar bahwa istri kedua suaminya sering mengeluh kalau suaminya masih sering bermain judi dan mabuk. Cerita ini didengar dari anaknya yang pertama yang sering berkontak dengan istri kedua. Pernikahan kedua suaminya tidak dikaruniai anak, padahal dulu suaminya mengharapkan dia mempunyai anak laki-laki. Tapi, itu tak terwujud. Kehidupan suaminya semakin kacau balau. Dia pun bercerai dengan istri keduanya. Di usia yang semakin senja suaminya menuai derita dari perbuatan. Dia dihukum oleh waktu yang berpihak pada mereka yang berjuang untuk berbuat baik.
  
  Ibu Asih melihat itu semua sudah menjadi rencana Tuhan. Suaminya yang dulu menyakitnya harus menanggung derita di masa tuanya. Suaminya mencoba mengais-ngais belas kasih dari anak-anaknya. Tetapi, mereka tak ada yang mau. Anak-anaknya lebih menyayangi ibunya karena ayahnya dulu tega meninggalkan mereka dalam keadaan yang sulit. Sekarang, ibu Asih sudah bisa merasakan kebahagiaan yang dulu diharapkannya. Kesedihannya di masa lalu masih membekas dan dia menyelimuti kesediahannya dengan harapan yang tiada henti. Dia menyadari bahwa Tuhan selalu hadir menyertai di saat dia harus menjadi ayah sekaligus ibu untuk anak-anaknya.