Minggu, 01 Desember 2013

THE ART OF LIFE By PAOLO COELHO- BRIDA



  • Teks tanpa nama dalam Tradisi berkata bahwa, dalam hidup setiap orang bisa mengambil satu dari dua sikap: membangun atau menanam. Para pembangun mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun menyelesaikan pekerjaan mereka, tapi suatu hari mereka menyelesaikan apa yang mereka lakukan. Kemudia mereka sadar bahwa mereka terkurung oleh tembok-tembok mereka sendiri. Hidup kehilangan maknanya ketika pembangunan berhenti.

  • Lalu ada pula mereka yang menanam. Mereka bertahan melewati banyak badai dan segala perubahan musim, dan mereka jarang bisa beristirahat. Tapi, tidak seperti bangunan, kebun tak pernah berhenti tumbuh. Dan selagi kebun itu membutuhkan perhatian penuh tukang kebun, kebun itu juga membuat hidup sang tukang kebun menjadi petualangan besar. Para tukang kebun selalu salng mengenali satu sama lain, karena mereka tahu bahwa dalam sejarah tiap-tiap tumbuhan. Dunia ikut berkembang.

  • Orang yang belajar harus percaya pada kemampuan dirinya untuk mengajari diri sendiri. (23).

  • Kau harus memiliki keberanian yang cukup untuk melakukan kesalahan. Kekecewaan, kekalahan dan keputusasaan adalah alat-alat yang digunakan Tuhan untuk menunjukkan jalan pada kita. (23)

  • Keseluruhan hidup manusia di muka Bumi dapat disimpulkan dalam upaya menemukan Pasangan Jiwa ini. Ia bisa saja berpura-pura mengejar kebijaksanaan, uang atau kekuasaan, tapi tak satu pun dari hal-hal itu yang berarti. Apa pun yang ia capai tidak akan lengkap jika ia gagal menemukan Pasangan Jiwa-nya... Seluruh umat manusia hanya bisa mencapai Persatuan dengan Tuhan jika, pada satu titik, pada suatu saat dalam kehidupan mereka, mereka berhasil bersekutu dengan Pasangan Jiwa mereka. Pada Masa Kekelaman, ketika kita terpisah, satu bagian terisi dengan pengetahuan untuk merawat dan mempertahankan;pria. Ia lalu belajar memahami cara bercocok tanam, alam dan pergerakan bintang-bintang di angkasa. Pengetahuan tetap berada di tempatnya dan bintang-bintang berputar pada orbitnya. Ituah kemuliaan seorang pria-untuk merawat dan mempertahankan pengetahuan. Dan karena itulah seluruh umat manusia bisa bertahan hidup. Kepada wanita diberikan sesuatu yang jauh lebih tak kentara dan rapuh, tapi yang tanpanya pengetahuan menjadi sama sekali tidak berarti, dan hal itu adalah transformasi. Para pria meninggalkan tanah dalam keadaan subur, kita menabur benih, dan tanah bertransformasi pepohonan dan tanaman. Tanah memerlukan bibit, dan bibit membutuhkan tanah. Yang satu hanya bisa memiliki arti jika bersama yang lainnya. Demikian juga dengan manusia. Ketia pengetahuan pria bersatu dengan transformasi wanita, maka persatuan magis yang besa pun ercipta dan namanya adalah Kebijakan. Kebijakan berarti mengetahui dan mentransformasi (60).

  • Kita semua tuan dari nasib kita sendiri. Kita bisa dengan amat mudah membuat kesalahan yang sama berulang-ulang. Kita bisa dengan mudah melarikan diri dari semua yang kita dambakan dan dengan murah hati telah diletakkan oleh hidup di depan kita. Pilihan lainnya, kita bisa menyerahkan diri kepada Tuntunan Ilahi, mengambil tangan Tuhan, dan berjuang demi impian-impian kita, percaya bahwa mereka selalu tiba pada saat yang tepat. 

  • "Karena dia mengetahuinya dengan menggunakan hatinya. Jika dia betul-betul yakin, misinya akan menjadi tak bermakna, karena itu berarti dia bukan manusia sungguhan. Menjadi manusia berarti memiliki keraguan tapi tetap melanjutkan berjalan di jalanmu." (191)

  • Tuhan, kami semua ada di dunia untuk menghadapi resiko-resiko Malam Kelam. Aku tkut akan kematian, tetapi lebih takut untuk menyia-nyiakan hidupku. Aku takut akan cinta, karena cinta melibatkan banyak hal yang berada di luar pemahaan kita; cinta mencurahkan terang yang mengagumkan, teapi bayangan yang muncul darinya membuatku takut. (192)

  • Jawabannya ada di depan Brida, pada lelaki yang tersalib. Lelaki itu telah memainkan peran-Nya dan menunjukkan pada dunia bahwa jika semua orang memainkan peran mereka, tidak ada yang harus menderita, karena Ia telah menjalani derita untuk semua orang yang memiliki keberanian untuk memperjuangkan mimpi mereka. (192)

  • Dunia sudah menguji mereka dengan segala cara yang mungkin dan mereka layak mendapatkan yan sudah mereka raih. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan terus memiliki kelemahan biasa dan penyesalan mereka, melakukan tindakan kebaikan dan kekejamana kecil. Kesakitan dan kesenangan akan terus berlanjut, seperti itu berlanjut kepada semua orang yang menjadi bagian dari dunia dalam kondisi fluks yang konstan. Akan tetapi, pada waktu yang ditentukan, mereka akan memahami bahwa setiap manusia membawa sesuatu yang lebih penting daripada diri mereka sendiri, yaitu, Bakat dalam setiap mansia, instrumen yang Ia gunakan untuk megungkapkan diri-Nya apda dunia dan untuk menjadi pelayan-Nya di bumi. (213)

  • "Ini yang diajarkan hutan kepadaku. Bahwa kau tidak akan pernah menjadi milikku dan karena itulah aku tidak akan pernah kehilanganmu. Kau adalah harapanku pada momen kesepianku, kecemasanku pada momen keragu-raguan, kepastianku pada momen keyakinan." 

  • "Aku akan selalu ingat bahwa cinta itu kebebasan. Itu adalah pelajaran yang butuh waktu bertahun-tahun untuk kupahami. Itu adalah pelajaran yang mengirimku ke pengasingan dan sekarang membebaskanku lagi." (229)

Senin, 21 Oktober 2013

PENGHARAPAN: PERTOLONGAN TUHAN MELALUI SESAMA




Aku sebagai mahasiswa teologi

  Proyek teologi harapan bukan pertama kali proyek atau studi lapangan yang kuikuti. Pengabdian sosial, kerja sebagai buruh, kerja sebagai petani adalah kesempatanku belajar melihat realita manusia yang mencari kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan. Tak bisa dipungkiri pencarian itu harus dilalui dengan beragam duka dan derita. Saat ini, aku merasakan dinamika pengalaman manusia yang menderita karena dia sakit. Aku datang dan berjumpa dengan para pasien bukan sebagai dokter dan perawat. Tak ada keahlian dan pengetahuan yang bisa kupakai untuk merawat dan mengobati pasien. Apa yang bisa aku berikan pada mereka?

  Berulang kali ketika aku berkunjung dan memperkenalkan diri, aku mengaku sebagai mahasiswa psikologi. Aku malu mengenalkan identitasku sebagai mahasiswa teologi. Ada dua alasan: teologi pasti merupakan kata-kata asing untuk para pasien muslim; teologi sendiri tak ada sangkut pautnya secara langsung dengan dunia medis. Sejujurnya, aku tak nyaman dengan statusku ini. Memang aku memaksa diriku untuk mencoba ramah dan mendengarkan keluhan para pasien. Tetapi, aku merasa tak berdaya melihat pasien yang sulit bernafas, menahan rasa sakit, sementara aku tak dapat menolong mereka. Ilmu teologi yang kudapatkan tak pernah mengajarkan aku untuk membuat mukjizat penyembuhan bagi mereka yang sakit. Apa yang bisa aku berikan pada mereka?

  Live in yang kualami selama belajar teologi mengajakku untuk terlibat di dalam karya sosial untuk membantu setiap orang menemukan kasih Tuhan. Dalam situasi penderitaan karena ketidakadilan dan ketidakberdayaan, apakah kita masih bisa merasakan sentuhan Tuhan? Penderitaan mau tak mau akan dirasakan siapapun, tetapi aku tak dapat menemukan cara untuk menghindar atau mencegah dari penderitaan.

  Sampai detik ini, aku memaknai penderitaan adalah kenyataan hidup manusia yang ingin ikut merasakan bagaimana rasanya memanggul salib kehidupan. Kita memanggul salib untuk merasakan kasihNya. Ketika kita sehat dan dapat sembuh, mungkin kita merasa Tuhan sungguh mengasihi kita. Tetapi, bagaimana ketika kita sakit masihkah kita dapat percaya bahwa Tuhan mengasihi kita? Sakit yang kita alami adalah kesempatan kita untuk mengenal kasihNya secara nyata. Harapan terindah yang bisa kita alami adalah bahwa kita dapat merasakan dikasihi Tuhan melalui orang-orang di dekat kita dan mengasihi siapapun dan apapun.

  Relasi kasih kita dengan Tuhan selalu terjalin dalam doa syukur dan permohonan pada pertolongan Tuhan. Kesempatan menghirup nafas dan mendapat perhatian serta perawatan di Rumah Sakit perlu kita syukuri di tengah rasa sakit yang merongrong tubuh kita. Berdoalah memohon pertolongan Tuhan supaya kita tidak hanya disembuhkan tetapi mohon agar kita semakin percaya bahwa Tuhan adalah juru selamat kita. Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi kita, melebihi dari apa yang kita harapkan. Datanglah padaNya dengan sikap berpasrah untuk bersyukur dan memohon agar selalu bisa merasakan kasihNya melalui sesama (keluarga, dokter, perawat). Dia hadir mencurahkan kekuatan penyembuhanNya melalui tangan dan hati mereka yang menemani kita yang sedang menderita sakit.

 

Sakit bukanlah hukuman tapi anugerah

  Banyak orang berpikir dan menyangka bahwa sakit adalah akibat dari pola hidup yang tidak sehat bahkan hukuman atas dosa kita selama ini. Itu bisa jadi benar tetapi bukankah sakit adalah bagian dari pengalaman hidup kita. Kita hidup bukan untuk sakit atau sehat. Apa yang kita cari dari hidup ini adalah suatu keyakinan bahwa hidup ini indah karena ada kasih dan pengharapan. Kalau toh kita harus menderita karena sakit, itua adalah anugerah bukan semata-mata hukuman. Kita perlu menyadari sisi kelemahan kita sebagai manusia, tak selamanya kita itu sehat atau bertindak baik. Sisi lain kemanusiaan kita adalah kekuatan dalam diri kita yakni hidup kita sendiri.

  Kita hidup bersama orang-orang lain dan untuk sesama kita. Tuhan menciptakan kita baik adanya yang mencakup segala kelebihan dan kekurangan kita. Saat kita menjadi pasien, kita datang pada mereka yang kita percaya dapat membantu kita untuk sembuh. Dokter dan para perawat hadir untuk melengkapi kelemahan manusiawi kita. Kemampuan dan kehendak baik mereka memungkinkan kita untuk melihat sakit adalah anugerah bukan hukuman. Karena itu, para dokter dan perawat yang sungguh-sungguh menolong para pasiennya tidak hanya menyembuhkan tetapi mewujudkan kehidupan yang semestinya indah dan baik adanya. Sekali lagi, sakit bukanlah hukuman tetapi bagaimana kita dapat mengalami buah-buah kehidupan yang dianugerahkan dan dibagikan pada sesama kita yang menderita. 

Sabtu, 05 Oktober 2013

NYANYIAN HARAPAN GEMBALA DAN DOMBANYA


Hai kawan, sadarilah hidup ini adalah perjuangan
untuk menjawab sebuah panggilan.
Yakinlah kita bisa menghadapi segala rintangan
karena Dia bersama kita
  Ku buka lembaran baru hidupku
  kan ku wujudkan s'gala niatku
  Tak lupa ku bersyukur padaNya
  yang telah beriku semangat
  Ku kan berjanji untuk setia
  Mengasihi, layani sesama
  Jadi garam dan terang bagi dunia
Inilah saatnya tuk buka mata dan hati kita
rasakan derita sahabat kita
Bagikan perhatian, saling tolong dengan ketulusan
untuk menggapai kebahagiaan
 
          Biaya hidup frater di Seminari, sejauh yang aku tahu berkisar 3-3,5 juta/ bulan. Situasi kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya juga berpengaruh pada kenaikan biaya hidup ini tiap tahunnya. Karena kemurahan umat Gereja, para frater sepenuhnya tidak ditarik biaya karena kebutuhan kami sudah ditanggung oleh keuskupan kami masing-masing. Dari urusan makan, kuliah, kursus ini-itu bahkan uang saku kamidiberi. Bagiku, itu semuanya lebih dari cukup. Lalu, dalam hati aku menggugat diriku "apa yang sebenarnya umat harapkan dari kami para calon imam ini ketika mereka rela menyumbang untuk Seminari ?"
          Kalau aku bisa makan tiga kali sehari, apakah aku tahu siapa umat yang cemas- besok bisa makan atau tidak? Kalau sekarang aku bisa meraih gelar S-1 dan melanjutkan kuliah S-2, apakah aku tahu siapa saja yang harus putus sekolah dan menjadi pekerja kasar bahkan masih menganggur? Kalau setiap bulan aku mendapat uang saku, apakah aku tahu banyak umat yang di awal bulan harus menyetor cicilan utangnya. Nampaknya, hidup di Seminari sungguh istimewa bahkan tak perlu berjuang-banting tulang dan putar otak.  
          Kami memang digadang-gadang menjadi gembala bagi umat. Aku menyadari bahwa tak semua umat adalah domba yang gemuk, justru kebanyakan mereka adalah domba yang kurus. Untuk dapat membuat domba yang kurus tetap sehat, aku perlu belajar mengerti penyebabnya dan berusaha domba itu bisa bertumbuh baik jasmani maupun imannya. Sangat ironis, ketika banyak gembala hanya peduli pada domba gemuk yang memberikan banyak keuntungan padanya. Aku berharap setelah dididik di Seminari aku menjadi gembala yang mau hidup sederhana dan memperhatikan nasib domba-domba yang masih kurus. 
       
"Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2 Kor 9:7)




Kamis, 26 September 2013

Kesedihan Berselimutkan Harapan


  "Wanita dijajah pria sejak dulu", syair lagu yang melukiskan penderitaan para wanita dari dulu bahkan masih sampai sekarang. Kita seringkali mendengar kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan para suami kepada isteri atau anak-anaknya. Suatu saat, aku tidak lagi mendengar cerita KDRT dari mulut orang kedua, ketiga, keempat, dst. Tiga minggu yang lalu aku diajak berkunjung ke rumah Janda yang terpaksa berpisah. Sebut saja ibu itu bernama ibu Asih. Dari ngobrol dengan ibu ini, mengalirlah cerita masa lalu yang kelam bersama suaminya. Sampai akhirnya dia harus berpisah karena suaminya meminta bercerai. Perceraian ini hanya pintu untuk suaminya yang ingin menikah lagi.

  Mungkin pasangan suami istri akan mendapat kepenuhan kebahagiaan berumah tangga karena hadirnya buah hati yakni anak-anak mereka. Ibu Asih dan suaminya dikaruniai oleh Tuhan, 6 anak perempuan. Kebahagiaan hanyalah angan-angan karena ibu Asih dan enam anak perempuannya tak pernah merasakan figur ayah dan suami yang baik. Suaminya sering pergi petang dan pulang pagi dini hari. Dia sudah kecanduan minum dan bermain judi. Ketidakberesan ini sudah dirasakan bu Asih sejak menginjak bulan pertama pernikahan mereka. Suaminya yang baru saja menerima gaji menghamburkan uangnya untuk bermain judi nomer (semacam togel). 

  Bu Asih mencoba bertahan dengan ulah suaminya yang tak bertanggung jawab sebagai seorang kepala rumah tangga. Lebih parah lagi, dia sering pulang dari bermain judi kartu dalam keadaan mabuk dan ibu Asih sudah bersiap untuk menerima tamparan dan caci-maki dari suaminya. "Apakah sikap kasarnya ini karena pekerjaan si suami adalah tentara?" tanyaku. Ternyata ibu Asih tidak melihat karena alasan itu. "Tidak semua tentara bisa sekasar itu, itu mungkin karena sifatnya dia saja", sanggah ibu Asih. Anak-anak yang semakin bertambah besar, mau tidak mau melihat kebrutalan ayahnya. Tamparan dan cacian suaminya bagaikan makanan harian bu Asih dan anak-anaknya.

  Kejadian yang tidak bisa lupakan olehnya adalah ketika si Suami jengkel pada anak pertamanya. Dia sudah mengasah celurit. Lalu, terjadi kejar-kejaran antara bapak dan anak. Ibu Asih tak tahan. Sambil dia memegangi kaki suaminya dia berucap terus menerus "Pa, jangan bunuh anakmu. Bunuh saja aku". Anak pertamanya berhasil kabur untuk sementara waktu. Dan, jerit istrinya itu meredamkan amarahnya. Kenangan pahit ini masih membekas hingga sekarang. "Saya tidak ingin anak saya mati, karena mereka itu titipan Tuhan", begitu dia memaknai. 

Keputusan perceraian yang sepihak

  Suatu sore, suaminya pulang kerja. Tak ada angin, tak ada mendung, tiba-tiba suaminya berkata, "Ma, kita cerai. Nanti akan ada waktunya buat sidang". Ibu ini termangu sejenak, seakan jarum jam berhenti berputar. "Pa, kalau cerai, Anak-anak mau makan apa?". Pertanyaan ini tidak dijawab oleh suaminya. Ibu Asih semakin sedih mendengar kabar itu. Saat itu anaknya yang keenam sedang berumur kurang dari setahun dan yang paling besar masih SMA. Tak lama kemudian, ibu Asih menderita penyakit aneh karena tiba-tiba lehernya membengkak. Setelah dia periksa ke dokter di RS Sardjito dan meminum obat, ternyata bengkak di lehernya tak kunjung sembuh. Kemudian, dokternya menyarankan "Bu, maaf kalau ibu saya rujuk ke dokter jiwa. Karena menurut saya, penyakit ibu bukan sekedar penyakit fisik". Bu Asih mengikuti saran dokter itu walau ada yang mengganjal di perasaannya. Apakah rentetan ketidakharmonisan dengan suaminya ini dan hari-hari mengikuti proses persidangan cerai, membuat dia harus sakit baik raga dan jiwa. 

  Bu Asih menceritakan segala yang dialami bersama suaminya. Sebenarnya bu Asih sudah tak tahan dengan penderitaanya dan merencanakan ingin bunuh diri. Tetapi, dia kembali ingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa kalau perceraian itu sungguh terjadi. Waktu itu, dokter itu menawarkan beberapa kemungkinan. Dia mengambil keputusan untuk mengiyakan kemungkinan bahwa dia harus bercerai dan merawat anak-anaknya. Ini mungkin keputusan terbaik dari beberapa kemungkinan yang terburuk. Kalau tidak bercerai, mungkin saja dia dan anak-anaknya akan mendapatkan penganiayaan terus menerus. Bisa jadi, dia kembali frustasi dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. 

  Gugatan perceraian menyudutkan ibu Asih karena suaminya merasa tidak ada kecocokan. Alasan ini digunakan untuk menutupi keinginannya untuk menikah lagi. Sementara itu, dihadapan istrinya-dia menutupinya bahwa pernikahannya ini tidak bisa memberikan anak laki-laki. Persidangan cerai berakhir dengan tekanan suaminya yang memaksa hakim untuk segera memutuskan perceraian. Suaminya mendesak hakim karena beralasan akan segera pindah tugas ke Bandung. Dihadapkan pada hal itu, hakim segera memutuskan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan istri dan suami diwajibkan memberi biaya pendidikan untuk keenam anaknya. Ibu Asih harus menghadapi kenyataan bahwa dia harus membiayai hidup untuk keenam anaknya. Setelah hakim mengetuk palu, si Suami mendekati bu Asih. "Saya tak akan mau membiayai pendidikan anak-anakmu". Ibu Asih mencoba menentang dengan keputusan surat perjanjian yang sudah ditandatangani mereka berdua. Tapi, suaminya tak mau tahu dengan surat itu.

  Memang dari pihak keluarga suami, tak ada yang membela bu Asih. Suaminya sering menceritakan kejelekan istrinya pada saudara-saudaranya. Alasan tak logis bahwa pernikahannya ini tak bisa memberikan anak laki-laki hanyalah kedok semata. Suaminya mengambil anak keduanya untuk diasuhnya. Ini dilakukan karena anaknya ini akan dijadikan sebagai penyangga kalau dia sudah pensiun. 

Berperan sebagai single parent

  Malamnya, ibu Asih memandang anak-anaknya yang tidur bersama-sama. Beruntung bahwa suaminya masih meninggalkan rumahnya. Sambil melihat anak-anaknya yang tertidur, ibu Asih berkata dalam hati "semoga dia tidak dikaruniai anak kalau dia jad menikah lagi". Menyesali segala yang terjadi tak akan menyelesaikan masalah. Dia harus memikirkan bagaimana menuntut tanggungjawab suaminya untuk membiayai pendidikan dan dia juga harus mulai mencari nafkah untuk anak-anaknya. 

Ibu Asih mencoba menemui hakim perceraiannya dan menceritakan sikap suaminya yang menolak surat perjanjian itu. Hakim itu kemudian memberi surat pengantar ke departemen keuangan. Di situlah nasibnya dipertaruhkan. Setelah berhasil untuk bertemu dengan kepala departemen keuangan, dia mendapat kepastiaan bahwa tuntutan biaya pendidikan akan diberikan dengan memotong gaji suaminya. Ibu Asih cukup merasa lega dan bersyukur karena masih ada orang baik yang menolong kehidupannya. 

  Satu tugas lagi bahwa dia harus mencari nafkah untuk hidup anak-anaknya. Dia mencoba berjualan kue dari hasil bikinannya. Beberapa teman dan kenalannya membantu anak-anaknya untuk bisa kuliah sampai selesai. Anak-anak mereka pun tak menyia-nyiakan kebaikan orang, mereka serius belajar menimba ilmu. Syukurlah, sampai anaknya keenam masih bisa menyelesaikan kuliah dengan beasiswa. 
  
  Seiring berjalannya waktu, ibu Asih mendengar bahwa istri kedua suaminya sering mengeluh kalau suaminya masih sering bermain judi dan mabuk. Cerita ini didengar dari anaknya yang pertama yang sering berkontak dengan istri kedua. Pernikahan kedua suaminya tidak dikaruniai anak, padahal dulu suaminya mengharapkan dia mempunyai anak laki-laki. Tapi, itu tak terwujud. Kehidupan suaminya semakin kacau balau. Dia pun bercerai dengan istri keduanya. Di usia yang semakin senja suaminya menuai derita dari perbuatan. Dia dihukum oleh waktu yang berpihak pada mereka yang berjuang untuk berbuat baik.
  
  Ibu Asih melihat itu semua sudah menjadi rencana Tuhan. Suaminya yang dulu menyakitnya harus menanggung derita di masa tuanya. Suaminya mencoba mengais-ngais belas kasih dari anak-anaknya. Tetapi, mereka tak ada yang mau. Anak-anaknya lebih menyayangi ibunya karena ayahnya dulu tega meninggalkan mereka dalam keadaan yang sulit. Sekarang, ibu Asih sudah bisa merasakan kebahagiaan yang dulu diharapkannya. Kesedihannya di masa lalu masih membekas dan dia menyelimuti kesediahannya dengan harapan yang tiada henti. Dia menyadari bahwa Tuhan selalu hadir menyertai di saat dia harus menjadi ayah sekaligus ibu untuk anak-anaknya. 
  
    

Jumat, 30 Agustus 2013

BELAKANG RUMAH, MASA DEPANKU


Untuk kedua kalinya, Seminari mengirim para fraternya untuk kursus pertanian di KPTT. Sebelumnya, aku tak pernah membayangkan untuk mengikuti kursus ini. Walaupun belakang rumahku terhampar sawah yang cukup luas, aku kurang berminat mendalami bidang pertanian. Bahkan setiap hari aku selalu melihat para petani menggarap sawah itu dengan bercucuran keringat. Apa yang kulihat dulu, akan kualami di KPTT. Entah apa hasilnya dan perubahannya, mungkin saja setelah dari kursus ini aku menyenangi tanam-menanam. Sebuah harapan yang kuungkapkan di hadapan bruder dan teman-teman adalah semoga aku bisa menggunakan bekal pelatihan di sini untuk pelayanan kepada umat.
Ada kecemasan yang cukup mengusik hatiku. Beberapa hari yang lalu, aku menjalani fisio-therapy karena aku menderita sakit punggung alias boyoken. Dokter menyarakanku agar jangan mengangkat benda-benda yang berat dulu. Fisio-therapy yang baru berjalan 3 kali itu harus kutunda dahulu karena aku harus berangkat ke KPTT. Seminari mengutusku ke tempat itu dan modal utamaku adalah kenekadan yang didasari ketaatan. Tentu saja, aku perlu mengontrol seberapa keras aku harus bekerja di tempat itu. Aku berharap sakitku tidak akan menjadi semakin parah karena di sini aku belajar mencangkul dan menyirami tanaman dengan gembor yang berukuran besar. Aku sudah mengutarakan keadaan kondisi fisikku kepada bruder agar setidaknya dia memberi pekerjaan yang sesuai porsiku. Kalau toh harus membuat bedeng dan mencangkul, aku tak mau terlalu ngoyo. Asal aku serius melakukan tugas pekerjaan di kursus pertanian ini. 
Risiko, harapan, dan niat menyatu dalam pengalaman keseharianku di KPTT. Rasa lelah, pegal, dan bosan sempat singgah untuk sementara waktu. Selain itu, banyak pengalaman indah yang kudapat selama di tempat ini. Tanaman dan hewan yang dirawat dan dipelihara menyapaku dengan keramahannya. Hijaunya dedaunan segar yang bergoyang-goyang di bawah terik matahari menghiburku di kala siang hari aku bekerja. Sapi, babi, dan ayam merasa nyaman saat aku beri makan. Saat itu, aku sadari bahwa Tuhan begitu baik memelihara dan mencukupi ciptaanNya dengan saling membagikan kasih dan kebahagiaan. 
Mungkin inilah kebahagiaan yang dialami oleh para petani di belakang rumahku. Mereka selalu tampak bersemangat dalam bekerja dan memasrahkan hidupnya pada kebaikan alam dan Sang Illahi. Siapa yang menanam, dia yang akan menuai, siapa yang berusaha, dia yang akan bahagia. Kuayunkan cangkulku kembali, sambil bernyanyi "di sini senang, di sana senang, dimana-mana hatiku senang"
Were saving our own lives
Its true well make a better day
Just you and me
(kutipan "We are the World'', Michael Jackson)

Kamis, 04 April 2013

SEKITAR KITA



Krakatau – Sekitar Kita


Intro : Bb   Dm   Eb   F   (3X)  Eb    F
G             Bm           C          D
Selama dunia masih berputar
G        Bm     C                 D
Perbedaan tak pernah pudar
G         Bm               C              Em         
Terbawa keangkuhan manusia
D               Am
Tak ingin membagi rasa

Bukalah mata hati kita
Bayangkan masa depan dunia
Bersatu rasa untuk melangkah
Demi meraih harapan

Ref:
Eb        F            Bb               Eb       F             Gm
Bayangkanlah kita semua berjalan bersama
Eb      F        Bb              C           F
Menuju hidup damai sejahtera
Eb         F             Bb                   Eb       F       Gm
Sempatkanlah untuk melihat di sekitar kita
Eb              F           B                    C    
Ada kesenjangan antar manusia
F
Lihat sekitar kita

Interlude
        Bb   B  
        E   G#m   A    B    E   G#m    D/F#
        G   Bm    C    Bm   Am   D

Jumat, 08 Februari 2013

Tentang Pelajaran Mewarnai

               Kalau ada yang bertanya padaku, apa itu cinta (kasih), aku akan menjawab cinta itu warna. Itulah cinta nggak sebatas 12 warna dalam kotak pensil warna Luna.  Mungkin jumlahnya bisa beratus atau ribuan warna. Kita semua tahu bahwa ada tiga warna pokok yaitu biru, merah, dan kuning. Warna merah dan kuning kalau digabungkan akan berubah menjadi warna jingga. Sedangkan, ketika warna merah dan biru dicampurkan akan menjadi warna ungu. Singkatnya, warna-warna ini akan berubah ketika kita bertemu dengan seseorang yang kita kenal. Warna apa yang akan kita berikan dan kita terima dari orang lain.

              Baiklah, untuk memperjelas mengapa cinta itu warna, tiga warna pokok itu tadi merupakan keutamaan yang menurutku mendasar dalam hidup ini. “Merah” adalah keyakinan, “Biru” adalah harapan, dan “kuning” ialah komitmen. Bagaimana ketiga warna ini terangkum, mari kita sadari saat kita berada dalam kandungan ibu kita. Ibu menggoreskan warna “merah” yang meyakinkan kita bahwa selamanya kita akan dikasihi. “Biru” menyapu kisah hidup kita, dengan suatu harapan dimana kita dilahirkan untuk berbagi kebahagiaan. Saatnya, Ibu mencampurkan “kuning” yang bagi kita adalah komitmen dari apa yang kita pilih dan perjuangkan.

            Siapapun ibu kita, aku yakin mereka telah menggoreskan ketiga “warna” di kehidupan kita. Saat ini, kita seperti sedang belajar mewarnai dengan ibu kita masing-masing. Di tengah realita kehidupan yang sarat dengan tantangan ini, kita boleh mewarnai kertas hidup kita dengan keyakinan, harapan, dan komitmen. Rasanya, tidaklah keliru kalau kita menyaksikan siapapun saling mengasihi, berbagi kebahagiaan, dan berjuang untuk melawan kesombongan dan ketakutan.