Mendengar
kata pondok pesantren, spontan yang terbesit di pikiranku adalah sekolah asrama
yang tidak jauh berbeda dengan Seminari. Saat itulah aku merasa penasaran dan excited dengan tawaran live-in di pondok
pesantren. Kami berdelapan datang berkunjung ke pesantren mahasiswa (PesMa)
An-Najaah. Pengasuh PesMa An-Najaah mengumpulkan para santrinya di masjid
mereka untuk mengadakan acara penyambutan. Bagiku, ini kesempatan istimewa yang
mengesan di awal kami live in. kehangatan dan keramahan mereka senantiasa
singgah di hatiku yang selalu bersemangat mengikuti dinamika kegiatan PesMa.
Setelah live ini aku merasa bahagia karena menemukan sahabat dan guru yang
penuh kasih pada siapapun tanpa memandang apa agamanya.
Barulah
jam demi jam berlalu, aku tersentuh oleh suasana kekeluargaan yang begitu cair
antar santri, pak ustad, dan pak kyai. Dalam acara shalat berjamaah, mengaji,
bermain, dan belajar mereka sungguh membangun kekeluargaan. Mereka mengadakan
shalat dan dzikir bersama setiap pagi di Masjid. Inilah yang kusadari dan
kurefleksikan bahwa doa dan karya merupakan fondasi untuk membangun kepedulian,
perhatian, kerjasama dalam satu kelurga. Shalat, mengaji dan belajar memang
rutinitas para santri dan alangkah indahnya mereka saling mengupayakan
kehidupan yang suci dan baik itu.
Niat mereka untuk bangun dan shalat subuh menunjukkan suatu semangat
yang mau dipupuk sedari awal. Mereka memulai hari baru dengan menyapa Allah
dengan bersyukur dan memohon rizki dari-Nya. Bagiku, ini mungkin bekal rohani
yang dapat berdaya guna saat mereka munanaikan tugas dan tanggung jawab mereka
sehari-hari. Kehidupan yang selalu bersandar pada Tuhan ini diungkapkan dengan
ibadah yang tak hanya rohani tetapi juga sisi profan. Mereka meyakini Allah
yang mencintai dan menyayangi mereka dan kebaikan Allah ini yang mereka bagikan
pada kami. Situasi PesMa yang kualami memang persis yang dikatakan oleh Pak
Kyai Roqib. PesMa ini mengusung pendidikan yang modern dan kultural. Berbagai
alat modern dan informasi lewat internet maupun buku-buku bias diakses dengan
mudah. Mereka diminta bijak menggunakan alat-alat komunikasi itu bahkan ada
beberapa aturan yang harus mereka perhatikan. Anehnya, mereka kadang terlalu
asyik dengan hape mereka hingga pagi buta. Aku amati beberapa santri menjadi
sulit bangun di pagi hari untuk sholat subuh. Di sini terjadi ketegangan antara
terbukanya kesempatan bagi santri memiliki dan menggunakan hape tetapi di sisi
lain mereka cenderung kurang menghayati shalat subuh.
Para santri yang mengikuti
kegiatan mengaji mengulas beberapa ajaran fiqh atau pedoman hidup beragama Islam.
Ada beberapa aturan Al-Quran yang ditafsirkan seturut konteks dan lingkup
social. Bagiku, mereka mendapat beragam penafsiran dari aturan-aturan itu dan
mereka berhak memilih mana yang baik buat kehidupan mereka pribadi dan
orang-orang di sekitar mereka. Hanya saja aturan yang kulihat sangat banyak dan
mungkin saja tidak membuat mereka sepenuhnya hafal dan menjalankan
aturan-aturan itu. Setidaknya mereka mungkin perlu melihat dan menyadari esensi
dari setiap aturan itu dibuat dan tujuan yang ingin dicapai dari aturan itu.
Para santri PesMa An-Najaah
sangat welcome dengan kehadiran kami. Mereka banyak bertanya tentang status
kami sebagai frater dan agama katolik. Jika diamati dari pertanyaan mereka,
nampaknya mereka belum begitu mengenal agama katolik karena mereka masih
menyamakan katolik dengan Kristen protestan. Rasa saya, para santri perlu lebih
mengembangkan dialog dan kerjasama dengan orang muda dari berbagai agama di
Indonesia. Sikap mereka memang sudah terbuka dengan kami yang berlainan iman
dan itu akan lebih optimal ketika mereka mendapat pengenalan ajaran agama.
Harapannya mereka dapat menginternalisasi nilai dari agama lain ke dalam cara
penghayatan iman Islam. Proses ini memang tidak mudah mengingat mereka masih
perlu mendalami ajaran-ajaran Islam yang tak sedikit. Aku merasa yakin bahwa
mereka dapat menjadi agent of peace.
***
Pertanyaan yang masih mengganjal
Pluralisme
yang dijunjung tinggi di aliran Islam NU memang mengagumkan, mengapa masih
sering dipandang negative oleh kelompok islam garis keras?
Sejauh
mana Gereja Katolik mengikis stigma kristenisasi yang sering diisukan oleh
mereka yang curiga dengan sikap kooperatif dengan umat beragama lain?