Rabu, 30 November 2011

Bersyukur:Mencecap Kebaikan Allah



“Kota batik di Pekalongan, bukanJogja, eh bukan Solo”. SepenggallagudariSlankinimengiringilangkahkumenujutempatindustrirumahtangga di daerahSimbangKulon, Pekalongan.Rasa herandankagumketikamenyusuri gang-gang di daerahini.Begitubanyakkain-kain batik dijemur di pekaranganrumah, bahkan di lapangan bola. Mungkin saat ini tidak banyak orang tertarik untuk bertani. Sampailahaku di industripembuatankain batik ‘Apel’.Akudankelimatemankuakanmerasakanhidupbersamaparaburuh batik selamaseminggu.Untukpertamakalinya, kami belajarbagaimana membuat batik. Kami dikenalkan ‘dapur’nyaparapembatikoleh Pak Karto, pemilikhome industry batik ‘Jeruk’. Di sini membatik masih mempertahanakan alat dan cara yang tradisional, walau memang ada pembutan batik dengan printing.Diamenjelaskansecara singkat tigatahapuntukmembuatkain batik. Prosesnya adalah pengecapan, pengerekan (pewarnaan), dan penglorotan (menghilangkan malam). Di home industry initerdapat lebih kurang tujuh buruh batik dan mereka semua merupakan buruh lepas. Mereka mengerjakan orderan batik yang diterima Pak Karto dari sang Tuan Saudagar. Dua Tuan  itu akan membeli kain batik jadi seharga 750 ribu rupiah per kodi.  Aku dengar bahwa kain-kain batik ini, nantinya akan diekspor ke Thailand.
Nah, kami bekerja di bagian ngerek, nglorot, dan penjemuran kain batik. Ada dua buruh ngerekdan nglorot, kadang juga tiga. Yang berat dari pekerjaan ngerek adalah kami harus berdiri kurang lebih lima jam dan berulang kali membungkuk.Bapak-bapaknya lebih senang melepas kaos karena ruangan di situ panas. Beberapa kali, kami bergantian menggelontorkan air putih ke tenggorokan kami. Keringat sudah membasahi kaos kami dan bau asamnya sudah berbaur dengan kepulan asap di tungku drum penglorotan.  Kulihat tubuh-tubuh ramping membungkus tulang-tulang mereka yang kokoh. Mungkin mereka jarang memakan ayam dan daging sehingga tubuh mereka tidak menimbun lemak. Selain itu, untuk bisa makan ayam goreng atau opor adalah sesuatu yang istimewa bagi mereka yang hidup bersama istri dan anak-anaknya.
Setelah beberapa menit terdengar adzan dzuhur mereka mengajak kami istirahat. Istri dari Pak Karto mempersilahkan kami makan di ruang makan keluarga dan bapak-bapak itu makan di ‘dapurnya’. Rasanya kurang sreg dengan pembedaan ini. Setelah dua kali makan siang di tempat itu, kami baru tahu bu Karto menyediakan lauk yang berbeda. Tiga hari berturut-turut, kami disuguhi sayur lodeh nangka. “Bu, sesuk yen dimasake jangan lodeh nangka meneh, sisan sing akeh” (Bu, kalau besok masak sayur nangka lagi, sekalian yang banyak) sindir Pak Imron. Aku merasakan banyak tenaga pegawai terkuras setiap hari sementara rasa lapar dan capai mereka hanya dipulihkan dengan tempe dan sayur nangka.
Biasanya selepas makan, mereka pergi sholat di Masjid di area Pondok Pesantren yang berjarak kurang lebih hanya lima puluh meter. Bagi orang-orang kecil seperti mereka, beribadah adalah sesuatu yang tidak bisa dinomorduakan. Lingkungan tempat kerja kami memang nuansa religiusnya kuat karena dekat dengan pondok pesantren dan beberapa taman pendidikan al-Quran. Untuk sejenak mereka dapat mencritrakan pahit dan susahnya sekaligus mengiba pada Tuhan.
Salah satu buruh ngerekyang kukenal adalah Pak Ipul. Tubuh mungil Pak Ipul yang kutaksir tingginya 1,5 meter dan beratnya mungkin sekitar 50 kg mewakili gambaran wong cilik (orang tak berdaya), apalagi sangatlah kecil penghasilannya.Dengan status kerja sebagai buruh lepas  yang digaji Rp 27.000/hari, dia membutuhkan pekerjaan sampingan.  Setelah pulang dari ngerek setiap sore dia menjadi guru bahasa Arab.  “Lumayanlah, buat tambah-tambah” katanya. Ternyata upah hariannya sebagai buruh ngerek hanya digaji dua puluh tujuh ribu. Tentu,  tak cukup untuk biaya hidup dengan satu anak dan istri. “Syukurlah, istri saya membantu bekerja karena dia bisa jahit” imbuhnya.
Dia bercerita bahwa baru seminggu yang lalu istrinya melahirkan. Aku spontan berkomentar dalam hati (pengeluaran hariannya akan bertambah dengan kelahiran anak pertamanya. Tetapi, rasanya belum ada kekhawatiran untuk itu)/“Bagaimana rasanya punya anak?” tanyaku. “Rasanya ya senang sekali karena saya sudah menunggu selama lima tahun untuk bisa punya anak”, jawabnya dengan senyuman lebar. Dia sangat bersyukur karena istrinya yang mau melahirkan sempat mengalami pendarahan dan akhirnya dioperasi.  Untuk membiayai operasi itu, dia mendapat keringanan dari jaminan kesehatan ibu hamil. Upahnya ngerek tak mungkin mencukupi biaya operasi kehamilan. Impiannya untuk mendapat momongan sudah terwujud. Sekarang apa impian selanjutnya. Dia menceritakan bahwa dia sedang mengumpulkan uang. Tembok rumahnya belum ditutup dengan semen. Paling tidak dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan keluarga.