“Kota
batik di Pekalongan, bukanJogja, eh bukan
Solo”.
SepenggallagudariSlankinimengiringilangkahkumenujutempatindustrirumahtangga di
daerahSimbangKulon, Pekalongan.Rasa herandankagumketikamenyusuri gang-gang di daerahini.Begitubanyakkain-kain
batik dijemur di pekaranganrumah, bahkan di lapangan bola. Mungkin saat ini tidak banyak orang tertarik untuk
bertani. Sampailahaku
di industripembuatankain batik
‘Apel’.Akudankelimatemankuakanmerasakanhidupbersamaparaburuh batik
selamaseminggu.Untukpertamakalinya, kami belajarbagaimana
membuat
batik. Kami dikenalkan ‘dapur’nyaparapembatikoleh Pak Karto, pemilikhome industry batik
‘Jeruk’. Di sini membatik
masih mempertahanakan alat dan cara yang tradisional, walau memang ada pembutan
batik dengan printing.Diamenjelaskansecara singkat tigatahapuntukmembuatkain batik. Prosesnya adalah pengecapan, pengerekan
(pewarnaan), dan penglorotan (menghilangkan malam). Di home industry initerdapat lebih kurang tujuh buruh batik dan mereka
semua merupakan buruh lepas. Mereka mengerjakan orderan batik yang diterima Pak
Karto dari sang Tuan Saudagar. Dua Tuan
itu akan membeli kain batik jadi seharga 750 ribu rupiah per kodi. Aku dengar bahwa kain-kain batik ini,
nantinya akan diekspor ke Thailand.
Nah, kami bekerja di bagian ngerek, nglorot, dan
penjemuran kain batik. Ada dua buruh ngerekdan nglorot, kadang juga tiga. Yang berat dari pekerjaan ngerek adalah kami harus berdiri kurang
lebih lima jam dan berulang kali membungkuk.Bapak-bapaknya lebih senang melepas
kaos karena ruangan di situ panas. Beberapa kali, kami bergantian
menggelontorkan air putih ke tenggorokan kami. Keringat sudah membasahi kaos kami
dan bau asamnya sudah berbaur dengan kepulan asap di tungku drum
penglorotan. Kulihat tubuh-tubuh ramping
membungkus tulang-tulang mereka yang kokoh. Mungkin mereka jarang memakan ayam
dan daging sehingga tubuh mereka tidak menimbun lemak. Selain itu, untuk bisa
makan ayam goreng atau opor adalah sesuatu yang istimewa bagi mereka yang hidup
bersama istri dan anak-anaknya.
Setelah beberapa menit terdengar adzan dzuhur mereka
mengajak kami istirahat. Istri dari Pak Karto mempersilahkan kami makan di
ruang makan keluarga dan bapak-bapak itu makan di ‘dapurnya’. Rasanya kurang sreg dengan pembedaan ini. Setelah dua
kali makan siang di tempat itu, kami baru tahu bu Karto menyediakan lauk yang
berbeda. Tiga hari berturut-turut, kami disuguhi sayur lodeh nangka. “Bu, sesuk yen dimasake jangan lodeh
nangka meneh, sisan sing akeh” (Bu, kalau besok masak sayur nangka lagi,
sekalian yang banyak) sindir Pak Imron. Aku merasakan banyak tenaga pegawai
terkuras setiap hari sementara rasa lapar dan capai mereka hanya dipulihkan
dengan tempe dan sayur nangka.
Biasanya selepas makan, mereka pergi sholat di Masjid di
area Pondok Pesantren yang berjarak kurang lebih hanya lima puluh meter. Bagi
orang-orang kecil seperti mereka, beribadah adalah sesuatu yang tidak bisa
dinomorduakan. Lingkungan tempat kerja kami memang nuansa religiusnya kuat
karena dekat dengan pondok pesantren dan beberapa taman pendidikan al-Quran.
Untuk sejenak mereka dapat mencritrakan pahit dan susahnya sekaligus mengiba
pada Tuhan.
Salah satu buruh ngerekyang
kukenal adalah Pak Ipul. Tubuh mungil Pak Ipul yang kutaksir tingginya 1,5
meter dan beratnya mungkin sekitar 50 kg mewakili gambaran wong cilik (orang tak berdaya), apalagi sangatlah kecil
penghasilannya.Dengan status kerja sebagai buruh lepas yang digaji Rp 27.000/hari, dia membutuhkan
pekerjaan sampingan. Setelah pulang dari
ngerek setiap sore dia menjadi guru
bahasa Arab. “Lumayanlah, buat
tambah-tambah” katanya. Ternyata upah hariannya sebagai buruh ngerek hanya digaji dua puluh tujuh
ribu. Tentu, tak cukup untuk biaya hidup
dengan satu anak dan istri. “Syukurlah, istri saya membantu bekerja karena dia
bisa jahit” imbuhnya.
Dia bercerita bahwa baru seminggu yang lalu istrinya
melahirkan. Aku spontan berkomentar dalam hati (pengeluaran hariannya akan
bertambah dengan kelahiran anak pertamanya. Tetapi, rasanya belum ada
kekhawatiran untuk itu)/“Bagaimana
rasanya punya anak?” tanyaku. “Rasanya
ya senang sekali karena saya sudah menunggu selama lima tahun untuk bisa punya
anak”, jawabnya dengan senyuman lebar. Dia sangat bersyukur karena istrinya
yang mau melahirkan sempat mengalami pendarahan dan akhirnya dioperasi. Untuk membiayai operasi itu, dia mendapat
keringanan dari jaminan kesehatan ibu hamil. Upahnya ngerek tak mungkin mencukupi biaya operasi kehamilan. Impiannya
untuk mendapat momongan sudah terwujud. Sekarang apa impian selanjutnya. Dia
menceritakan bahwa dia sedang mengumpulkan uang. Tembok rumahnya belum ditutup
dengan semen. Paling tidak dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.