Selasa, 08 Februari 2011

Kembalilah tuk Menimba Semangat Baru

Yogyakarta aku kembali- di kolong jembatan Janti aku berdiri di shelter ‘trans-Jogja’ (TJ). Aku menanti cukup lama bus 1B yang akan membawaku ke shelter Samsat. Sebenarnya aku nggak tahu jalur mana saja yang diambil untuk sampai ke shelter Kentungan. Aku coba tanyakan pada mas-mas yang menjual tiket sewaktu membeli tiket. “Nanti ambil jurusan 1B, turun di Samsat, lalu naik 3 B” bilang dia. Ku patuhi saja penjelasan tadi. Maklum saja aku nggak tahu dan jarang naik bus TJ. Bus-bus jurusan lain mampir, hingga 20 menit berlalu aku masih sabar menunggu. Untungnya, aku dapat duduk di bus 1B.
Penumpang hampir memenuhi bus itu, semua duduk dengan rapi. Termasuk kondektur bus TJ yang waktu itu adalah seorang ibu hamil. Kadang dia berdiri untuk menginformasikan shelter mana yang dituju. Senyum sejuk selalu terpancar saat mempersilahkan penumpang masuk dan turun. Tubuhku yang sudah mulai loyo karena jam 9 pagi di atas bus dan sesampai di Jogja naik bus lagi, cukup terobati dengan senyuman ibu kondektur itu. Selain punya senyuman yang manis, dia juga sangat hafal dimana bus akan berhenti dan menginformasikan jalur bus bagi penumpang yang akan menuju ke beberapa tempat penting. Ketika aku tanya apakah bus ini akan berhenti di depan Samsat, dia menjawab lengkap dengan perkiraan berapa menit lagi akan sampai sana. ‘kurang lebih 12 menit lagi’.
Seandainya ibu kondektur berumur lebih muda dari aku, tentu saja aku terpikat. Entah kenapa aku sungguh kagum, lebih sekadar kecantikan yang dimilikinya. Ibu itu membuatku kagum pada kegigihan dan pengorbanannya karena tetap bekerja dalam keadaan hamil tua. Aku sering menganggap wanita itu lemah dari emosional dan fisiknya. Dan, aku yang pria merasa lebih kuat dan terkadang melindungi wanita secara berlebihan. Ternyata wanita juga bisa sekuat pria dengan tetap bekerja dalam kondisi yang berat dan melelahkan. Ibu itu mungkin lelah, tetapi berhasil menutupinya dengan senyuman sejuknya. Orang lain termasuk aku, pasti berpikir lebih baik dia istirahat di rumah untuk menjaga janinnya. Semampu tenaganya. Dia memilih bekerja sepeti biasa, karena dia tentu butuh uang untuk membeli susu dan biaya kelahiran anaknya kelak. Dia sungguh mengagumkan saat mempersembahkan cinta pada janinnya dengan lelah fisiknya, sejuk senyumnya, serta tekad pengorbanannya.
Terpikat oleh kecantikan, berubah pada kekaguman akan kegigihan meneruskan hidup yang sulit dan berat. Dia memancarkan ‘kecantikan’ sejati yang didapat dari perjuangannya-bekerja sebagai kondektur dalam kondisi hamil. Pekerjaan kondektur adalah hal biasa untuk kaum lelaki dan jauh dari dunia wanita. Hanya karena tuntutan zaman dan kebutuhan masing-masing orang, seorang ibu rela melakoni ketakwajaran ini. Aku merefleksikan bahwa ketakwajaran bisa menjadi lumrah, biasa, bahkan luar biasa karena semangat cinta disampaikan lewat pengorbanan, pelayanan, dan kepasrahan. Kehidupan sekarang dan mendatang aku sadari sebagai buah tanggungjawab dari orang yang mau bersyukur, berjuang, dan terus berharap.